Pikiran Rakyat, 1 Agustus 2017
Peringkat daya
saing Indonesia yang dirilis World
Economic Forum (WEF) memperlihatkan
posisi Indonesia yang menurun. Alih-alih naik, indeks daya saing Indonesia
merosot dari peringkat ke-37 menjadi ke-41 dari 138 negara pada tahun 2016. Isu
daya saing semakin menguat seiring berlakunya era MEA di Indonesia. Hal
tersebut menunjukkan penguatan daya saing daerah semakin urgent untuk dilakukan.
Cara
meningkatkannya bagaimana? Tentunya kita harus mengetahui apa yang menjadi
indikator dalam pemeringkatan daya saing WEF. Dalam laporannya WEF menyatakan
12 pilar yang diasumsikan menjadi faktor penggerak dan faktor efisiensi iklim
usaha ekonomi suatu negara. Pilar-pilar tersebut meliputi : (1) kelembagaan negara
bersangkutan, (2) infrastruktur, (3) stabilitas makroekonomi, (4) tingkat
kesehatan dan pendidikan dasar, (5) pendidikan tinggi serta intensitas
pelatihan-pelatihan, (6) efisiensi dalam usaha perdagangan, (7) pasar tenaga
kerja, (8) keunggulan pasar keuangan, (9) ketersediaan teknologi, (10)
keterjangkauan pasar, (11) kecanggihan berbisnis, dan (12) kemampuan inovasi.
Meningkatkan
kinerja ke-12 pilar tersebut tentu bukan pekerjaan mudah. Perlu komitmen kuat
dari stakeholders dalam upaya meningkatkan
kinerja daya saing bangsa. Tentu saja peta daya saing melalui peta 12 pilar
tersebut perlu dimiliki. Diperlukan basis data agar perencanaan dan penentuan
target kegiatan dapat tepat sasaran.
Beberapa
waktu lalu Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat me-launching hasil Sensus Ekonomi 2016
(SE2016). Hasil SE2016 menunjukkan jumlah usaha/perusahaan nonpertanian di
Provinsi Jawa Barat mencapai 4,63 juta usaha/perusahaan, meningkat 9,96 persen
dibandingkan sensus ekonomi 2006 lalu. Adapun total penyerapan tenaga kerja
mencapai 11,37 juta orang, dibandingkan sensus ekonomi 2006 lalu meningkat
18,53 persen. Perkembangan bisnis modern
seperti bisnis online memberikan
andil dalam peningkatan jumlah aktivitas ekonomi beberapa tahun belakangan ini.
.
Secara kuantitas sebanyak 79,18
persen usaha/perusahaan di Jawa Barat bergerak dalam kategori lapangan usaha Perdagangan Besar Dan Eceran; Reparasi Dan
Perawatan Mobil Dan Sepeda Motor (kategori G), Penyediaan Akomodasi dan
Penyediaan Makan Minum (kategori I) serta Industri Pengolahan (kategori C).
Ketiga lapangan usaha ini mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 72,45 persen
dari seluruh tenaga kerja nonpertanian.
Sebaran usaha dan tenaga kerja di
Jawa Barat sebagian besar berada pada skala usaha mikro kecil (UMK). Sebanyak 98,49
persen usaha nonpertanian di Jawa Barat adalah UMK dengan penyerapan tenaga
kerja sebanyak 74,63 persen. Sementara Usaha Menengah Besar (UMB) hanya 1,51
persen total usaha nonpertanian dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 25,37
persen tenaga kerja nonpertanian.
Besarnya potensi UMK di Jawa Barat
bisa menjadi peluang dan tantangan tersendiri bagi Pemerintah Provinsi Jawa
Barat. Bagaimana tidak, beberapa kejadian krisis ekonomi di Indonesia
menunjukkan UMK adalah usaha yang tangguh menghadapi krisis. UMK memiliki kemampuan untuk bertahan dalam krisis ekonomi, fleksibel
terhadap kondisi pasar, serta inovasi dan pengembangan produk dapat dilakukan
dengan mudah. Kegiatan ekonomi skala UMK memiliki peranan signifikan dalam menyokong
perekonomian Jawa Barat. Bagi Provinsi Jawa Barat, UMK merupakan tumpuan
perekonomian.
Meningkatkan perekonomian UMK
ternyata tidak semata-mata hanya meningkatkan sisi pendapatan/keuangan pelaku
UMK. Hasil penilaian WEF pun menunjukkan walaupun dari sisi keuangan
menunjukkan peningkatan, namun dari aspek pendidikan dan kesehatan dasar
mengalami penurunan, dimana Indonesia anjlok sebanyak 20 peringkat. Kiranya
kedua hal ini yang perlu menjadi fokus perhatian, termasuk di Jawa Barat. Peningkatan
kulitas sumber daya manusia (SDM) perlu mendapat perhatian agar dapat bersaing
dan berdaya saing di era pasar bebas. Pembangunan manusia, dengan komponen
pembangunan dasar bidang kesehatan, pendidikan, dan ekonomi tentu perlu menjadi
salah satu titik masuk untuk melakukan penguatan daya saing daerah. Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Barat tahun 2016 mencapai 70,05 dengan status
tinggi. Namun perlu akselerasi pada dimensi pendidikan dimana rata-rata lama
sekolah masih mencapai 7,95 tahun, jauh dari target wajib pendidikan dasar 9
tahun bahkan 12 tahun.
Meningkatkan status pembangunan
manusia masyarakat Jawa Barat, akan mampu meningkatkan daya saing UMK. Bagi UMK
peningkatan daya saing diantaranya bagaimana menjadikannya mampu naik kelas
atau bertahan lama dalam menjalankan aktivitas usahanya. Pada akhirnya akselerasi
penguatan daya saing daerah bukan hanya menjadi tugas pemerintah atau pelaku
usaha sendiri. Perlu sinergitas dari berbagai pihak. Bagi Jawa Barat, perlu
sinergitas bagaimana meningkatkan dan menguatkan daya saing 4,63 juta pelaku
usaha dan 11,37 juta tenaga kerja, terutama yang terlibat dalam usaha mikro
kecil.
Sekali lagi, dalam mengukur kinerja
daya saing suatu daerah perlu adanya peta dan basis data. Data terkait
indikator (12 pilar) yang diasumsikan sebagai faktor pengerak peningkatan daya
saing tentunya menjadi urgent.
Terkait dengan hal ini, mulai tanggal 1 Agustus 2017 hingga 30 September 2017
Badan Pusat Statistik (BPS) seluruh Indonesia akan menyelenggarakan Pendataan
UMK dan UMB Sensus Ekonomi 2016. Pendataan ini bertujuan diantaranya untuk :
(1) Mengetahui profil dan karakteristik
usaha; (2).
Memberi gambaran tentang level dan struktur ekonomi; (3).
Mengetahui daya saing bisnis; (4).
Mendapatkan gambaran permodalan, prospek dan kendala usaha/perusahaan; (5).
Memperoleh data rinci usaha/perusahaan sebagai bahan perencanaan pembangunan,
baik mikro maupun makro. Dalam pendataan ini akan ditanyakan informasi
terkait 12 pilar penguatan daya saing. Harapannya, dari pendataan ini akan
diperoleh basis data untuk penguatan daya saing di Indonesia di masa mendatang.
Dukungan berbagai pihak sangat penting dalam mendukung keberhasilan kegiatan
pendataan ini. Pelaku usaha, ayo dukung Pendataan UMK dan UMB Sensus Ekonomi
2016 untuk penguatan daya saing bangsa!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar