Tahun politik
2018 hanya dalam hitungan hari. Hiruk pikuk pesta demokrasi mulai terasa. Pilkada
serentak 2018 dan Pilpres 2019 mulai menyita perhatian. Setiap hari media
mewartakannya. Lembaga survei dan partai politik mengkaji elektabilitas.
Strategi pemenangan calon pun sudah dirancang.
Ada hal menarik
ketika rangkaian demokrasi terjadi di negeri ini. Data statistik menjadi
primadona. Dengan berbagai sudut pandang, semua calon langsung akrab dengan
data dan indikator. Seolah semua paling paham dengan kondisi dan data statistik
wilayah.
Yang menyedihkan
dan menyakitkan ketika makna data tersebut dibelokan. Data diinterpretasikan
tidak sebagaimana mestinya. Yang penting bagaimana makna data menguntungkan bagi kubunya. Ini bahaya.
Bagaimana tidak, interpetasi itulah yang akhirnya akan digunakan sebagai
pijakan, ketika mereka terpilih.
Ada beberapa
indikator utama yang sering dipakai bahan kampanye. Dalam penyampaian target,
maupun capaian keberhasilan atau kegagalan pimpinan sebelumnya. Pertumbuhan
ekonomi, kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran sering diulas. Akhir-akhir
ini indikator “daya beli” hilir mudik di media. Dengan beragam interpretasi
tentunya.
Pertumbuhan
Ekonomi
Banyak isu
terkait pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi naik atau turun? Lebih tinggi mana? Ekonomi tumbuh untuk siapa? Siapa
yang menikmati? Menuntut angka pertumbuhan ekonomi tidak sekedar “angka”. Tidak
hanya memacu angka pertumbuhan yang tinggi. Namun harus dirasakan oleh seluruh rakyat.
Sesuai tema kebijakan fiskal Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) 2018 mendatang.
Mengakselerasi
pertumbuhan yang berkeadilan. Tema kebijakan fiskal tahun 2018, disampaikan Menteri
Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers tentang
APBN 2018 di Kementerian Keuangan beberapa waktu lalu. Harapannya kebijakan
fiskal yang disusun dapat mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi yang
berkeadilan. Sasaran akhirnya adalah pemerataan pertumbuhan ekonomi. Berkaca
pada kondisi beberapa tahun belakangan, ketika ekonomi tumbuh tinggi,
yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Tidak semua menikmati
pertumbuhan. Di sisi lain memacu tingginya pertumbuhan ekonomi menciptakan
berbagai masalah sumber daya alam dan kerusakan lingkungan.
Kita
lihat bahwa penggerak pertumbuhan ekonomi nasional adalah industri manufaktur
dan perdagangan. Kedua kategori ini merupakan penopang ekonomi nasional.
Kontribusi keduanya terhadap PDB triwulan III 2017 mencapai 32,91 persen. Kedua
kategori ini pun mampu menyerap lebih dari 50 persen tenaga kerja non pertanian
di Indonesia (hasil listing Sensus Ekonomi 2016). Dibandingkan triwulan III
2016, pada triwulan III 2017 pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,06 persen.
Industri dan perdagangan menyumbang sumber pertumbuhan ekonomi sebesar 1,79
persen.
Laju
pertumbuhan ekonomi (LPE) tahun 2016 mencapai 5,02 persen. Naik dari capaian
2015 sebesar 4,88 persen. Jika dilihat series LPE 2015 lebih rendah dari 2014.
LPE 2014 sebesar 5,01 persen. Istilahnya LPE 2015 ”melambat” dibandingkan 2014.
Kondisi ini seringkali memunculkan kesalahan interpretasi. Ekonomi mengalami “perlambatan”,
bukan “penurunan”. Perlambatan diartikan sebagai ekonomi tumbuh namun tidak setinggi
periode sebelumnya. Penurunan jika secara nominal perekonomian lebih rendah
dibanding periode sebelumnya. Persepsi masih beragam dalam memahami hal ini.
Ditambah lagi akhir-akhir ini muncul hal baru dalam ekonomi, seperti
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, pertumbuhan berkualitas dan terakhir
pertumbuhan berkeadilan.
LPE tinggi saja tidak cukup. Apakah LPE tinggi sampai pada
seluruh masyarakat? Apakah tingginya LPE mengurangi penduduk dan pengangguran? Karena pertumbuhan ekonomi yang berkualitas terjadi ketika pertumbuhan
itu menciptakan pemerataan pendapatan,
pengentasan kemiskinan dan membuka kesempatan kerja yang luas..
Disadari
bersama bahwa sebagian besar masyarakat kita “baru” menikmati sebagian kecil
saja porsi kue pendapatan (PDB). Kontribusi UMKM terhadap PDB pada periode
2009-2013 baru mencapai 57,6 persen (Warta KUMKM Vol 5 No 1 tahun 2016,
Bappenas). Padahal usaha mikro kecil adalah usaha terbanyak di Indonesia, yaitu
26,71 juta usaha (hasil listing Sensus Ekonomi 2016, BPS).
Ketimpangan
pun masih terjadi. Gini Rasio sebagai ukuran tingkat ketimpangan menunjukkan
angka 0,393 pada Maret 2017. Ketimpangan
berkurang jika dibandingkan 2016 (gini rasio 0,397), seiring dengan turunnya
tingkat kemiskinan dari 10,86 persen (Maret 2016) menjadi 10,64 persen (Maret
2017).
Mengapa
ada istilah melambat dan turun? Perlu dilihat apa yang menjadi dasar
penghitungan pertumbuhan. Jika secara nominal pada tahun ini nilai/jumlah suatu
indikator lebih tinggi dari tahun sebelumnya, dan perubahannya (dibandingkan
periode sebelumnya) lebih rendah, lebih tepat istilah yang digunakan adalah
melambat. Istilah turun lebih tepat digunakan jika secara nominal memang
terjadi penurunan, misal penduduk miskin 2016 sebanyak 28,01 juta orang, tahun
2017 menjadi 27,77 juta orang, sehingga tingkat kemiskinan turun.
Era
informasi belakangan ini semakin liar. Kita lihat bersama bagaimana hoax dan fake informasi berseliweran. Apalagi di tahun politik. Semua
berlomba memenangkan usungannya. Data dan indikator statistik naik daun.
Sebagai
bangsa, mari bekerja sama. Kerja bersama dengan data. Interpretasikan data
dengan benar. Memaknai sebagaimana mestinya. Perlu kita ingat, merencanakan
pembangunan perlu data. Pembangunan tanpa data lebih mahal harganya. Salah
interpretasi data bisa bahaya. Interpretasi salah digunakan bahan kebijakan, pembangunan
tidak tepat sasaran. Untuk bangsa, mari lebih
bijak menginterpretasikan data. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar