Selasa, 30 Januari 2018

Interpretasi Data dalam Kontestasi

Bisnis Indonesia, 2 Desember 2017







Tahun politik 2018 hanya dalam hitungan hari. Hiruk pikuk pesta demokrasi mulai terasa. Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019 mulai menyita perhatian. Setiap hari media mewartakannya. Lembaga survei dan partai politik mengkaji elektabilitas. Strategi pemenangan calon pun sudah dirancang.
Ada hal menarik ketika rangkaian demokrasi terjadi di negeri ini. Data statistik menjadi primadona. Dengan berbagai sudut pandang, semua calon langsung akrab dengan data dan indikator. Seolah semua paling paham dengan kondisi dan data statistik wilayah.
Yang menyedihkan dan menyakitkan ketika makna data tersebut dibelokan. Data diinterpretasikan tidak sebagaimana mestinya. Yang penting bagaimana makna data  menguntungkan bagi kubunya. Ini bahaya. Bagaimana tidak, interpetasi itulah yang akhirnya akan digunakan sebagai pijakan, ketika mereka terpilih.
Ada beberapa indikator utama yang sering dipakai bahan kampanye. Dalam penyampaian target, maupun capaian keberhasilan atau kegagalan pimpinan sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran sering diulas. Akhir-akhir ini indikator “daya beli” hilir mudik di media. Dengan beragam interpretasi tentunya.

Pertumbuhan Ekonomi
Banyak isu terkait pertumbuhan ekonomi.  Pertumbuhan ekonomi naik atau turun? Lebih tinggi mana? Ekonomi tumbuh untuk siapa? Siapa yang menikmati? Menuntut angka pertumbuhan ekonomi tidak sekedar “angka”. Tidak hanya memacu angka pertumbuhan yang tinggi. Namun harus dirasakan oleh seluruh rakyat. Sesuai tema kebijakan fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 mendatang.
Mengakselerasi pertumbuhan yang berkeadilan. Tema kebijakan fiskal tahun 2018, disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers tentang APBN 2018 di Kementerian Keuangan beberapa waktu lalu. Harapannya kebijakan fiskal yang disusun dapat mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan. Sasaran akhirnya adalah pemerataan pertumbuhan ekonomi. Berkaca pada kondisi beberapa tahun belakangan, ketika ekonomi tumbuh tinggi, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Tidak semua menikmati pertumbuhan. Di sisi lain memacu tingginya pertumbuhan ekonomi menciptakan berbagai masalah sumber daya alam dan kerusakan lingkungan.
Kita lihat bahwa penggerak pertumbuhan ekonomi nasional adalah industri manufaktur dan perdagangan. Kedua kategori ini merupakan penopang ekonomi nasional. Kontribusi keduanya terhadap PDB triwulan III 2017 mencapai 32,91 persen. Kedua kategori ini pun mampu menyerap lebih dari 50 persen tenaga kerja non pertanian di Indonesia (hasil listing Sensus Ekonomi 2016). Dibandingkan triwulan III 2016, pada triwulan III 2017 pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,06 persen. Industri dan perdagangan menyumbang sumber pertumbuhan ekonomi sebesar 1,79 persen.
Laju pertumbuhan ekonomi (LPE) tahun 2016 mencapai 5,02 persen. Naik dari capaian 2015 sebesar 4,88 persen. Jika dilihat series LPE 2015 lebih rendah dari 2014. LPE 2014 sebesar 5,01 persen. Istilahnya LPE 2015 ”melambat” dibandingkan 2014. Kondisi ini seringkali memunculkan kesalahan interpretasi. Ekonomi mengalami “perlambatan”, bukan “penurunan”. Perlambatan diartikan sebagai ekonomi tumbuh namun tidak setinggi periode sebelumnya. Penurunan jika secara nominal perekonomian lebih rendah dibanding periode sebelumnya. Persepsi masih beragam dalam memahami hal ini. Ditambah lagi akhir-akhir ini muncul hal baru dalam ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, pertumbuhan berkualitas dan terakhir pertumbuhan berkeadilan.
LPE tinggi saja  tidak cukup. Apakah LPE tinggi sampai pada seluruh masyarakat? Apakah tingginya LPE mengurangi penduduk dan  pengangguran? Karena pertumbuhan ekonomi yang  berkualitas  terjadi ketika  pertumbuhan  itu  menciptakan pemerataan pendapatan, pengentasan kemiskinan dan membuka kesempatan kerja yang luas..
Disadari bersama bahwa sebagian besar masyarakat kita “baru” menikmati sebagian kecil saja porsi kue pendapatan (PDB). Kontribusi UMKM terhadap PDB pada periode 2009-2013 baru mencapai 57,6 persen (Warta KUMKM Vol 5 No 1 tahun 2016, Bappenas). Padahal usaha mikro kecil adalah usaha terbanyak di Indonesia, yaitu 26,71 juta usaha (hasil listing Sensus Ekonomi 2016, BPS).
Ketimpangan pun masih terjadi. Gini Rasio sebagai ukuran tingkat ketimpangan menunjukkan angka 0,393 pada Maret 2017.  Ketimpangan berkurang jika dibandingkan 2016 (gini rasio 0,397), seiring dengan turunnya tingkat kemiskinan dari 10,86 persen (Maret 2016) menjadi 10,64 persen (Maret 2017).
Mengapa ada istilah melambat dan turun? Perlu dilihat apa yang menjadi dasar penghitungan pertumbuhan. Jika secara nominal pada tahun ini nilai/jumlah suatu indikator lebih tinggi dari tahun sebelumnya, dan perubahannya (dibandingkan periode sebelumnya) lebih rendah, lebih tepat istilah yang digunakan adalah melambat. Istilah turun lebih tepat digunakan jika secara nominal memang terjadi penurunan, misal penduduk miskin 2016 sebanyak 28,01 juta orang, tahun 2017 menjadi 27,77 juta orang, sehingga tingkat kemiskinan turun.
Era informasi belakangan ini semakin liar. Kita lihat bersama bagaimana hoax dan fake informasi berseliweran. Apalagi di tahun politik. Semua berlomba memenangkan usungannya. Data dan indikator statistik naik daun.
Sebagai bangsa, mari bekerja sama. Kerja bersama dengan data. Interpretasikan data dengan benar. Memaknai sebagaimana mestinya. Perlu kita ingat, merencanakan pembangunan perlu data. Pembangunan tanpa data lebih mahal harganya. Salah interpretasi data bisa bahaya. Interpretasi salah digunakan bahan kebijakan, pembangunan tidak tepat sasaran. Untuk bangsa, mari  lebih bijak menginterpretasikan data. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bandung (kembali) diguyur hujan

Bandung kembali diguyur hujan, siang ini dari lantai 5 gedung kantor,...... menikmati hujan yang derasnya luar biasa... kilat, petir, gel...