Selasa, 30 Januari 2018

Kita (masih) Konsumtif


Pikiran Rakyat, 21 November 2017





Isu melemahnya daya beli kembali menguat. Berbagai media mewartakannya. Terjadi perlambatan konsumsi masyarakat di negeri ini. Namun jika melihat kue pendapatan, negara kita negara konsumtif. Bagaimana tidak, 65,64 persen total pendapatan selama triwulan III 2017 digunakan untuk konsumsi. Konsumsi disini terdiri dari konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan konsumsi lembaga non profit. Dalam struktur PDB (Produk Domestik Bruto) konsumsi rumah tangga memegang porsi terbesar. Konsumsi rumah tangga berkontribusi sebesar 55,68 persen terhadap PDB.  Konsumsi rumah tangga merupakan penggerak perekonomian. Apalagi di Jawa Barat, dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia tentunya porsi konsumsi lebih besar. 
Dirilis belum lama ini di kantor BPS Provinsi Jawa Barat, pada triwulan III 2017 konsumsi rumah tangga berkontribusi sebesar 64,71 persen. Jauh lebih tinggi dibandingkan angka nasional. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga merupakan penggerak utama perekonomian, dimana investasi (dalam hal ini PMTB/Pembentukan Modal Tetap Bruto) baru berperan sebesar 24,96 persen terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Jawa Barat pada triwulan III 2017. Hal ini kembali menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang tertinggi bagi pertumbuhan ekonomi Jawa Barat maupun Indonesia .

Pertumbuhan Ekonomi
Bagi pertumbuhan ekonomi  triwulan III 2017,  sumber pertumbuhan ekonomi dari konsumsi rumah tangga mencapai 2,23 persen terhadap total pertumbuhan ekonomi Jawa Barat yang mencapai 5,19 persen. Laju pertumbuhan ekonomi (LPE) pada triwulan III 2017 ini melambat jika dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu, yaitu 5,97 persen (triwulan III 2016). Baik di level Jawa Barat maupun level nasional sekalipun, angka pertumbuhan ekonomi seringkali menunjukkan fluktuasi. Indef dalam “Buku Proyeksi Ekonomi Indonesia 2017” menyatakan bahwa secara nasional fluktuasi pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2016 menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia belum mendapatkan momentum dalam menjaga pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam beberapa waktu kedepan. Berbagai peristiwa yang terjadi di level global maupun nasional secara langsung memberikan tekanan pada ekonomi
nasional.
Dampak dari berbagai peristiwa global, nasional, maupun regional kita sadari sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kita. Kita sadari bersama bahwa berbagai peristiwa tersebut memberikan pengaruh pada kondisi keuangan, kondisi perekonomian secara global, termasuk pada pola dan perubahan konsumsi masyarakat (-rumah tangga). Pada akhirnya tentu saja perubahan pada konsumsi masyarakat dalam hal ini konsumsi rumah tangga berpengaruh besar bagi pertumbuhan ekonomi, karena pertumbuhan ekonomi kita masih digerakkan oleh konsumsi.
Dalam konsep Produk Domestik Bruto (PDB) untuk level nasional atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk level regional, konsumsi rumah tangga (masyarakat) merupakan salah satu komponen penting dalam perekonomian. Konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang utama pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran.  Sebagaimana kita ketahui, ukuran dasar dalam menilai perekonomian yang biasa digunakan adalah PDB atau PDRB. Sebagai ukuran dasar (basic measure) atas penggunaan produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan melalui proses produksi, PDB atau PDRB menurut pengeluaran tampil saling melengkapi dengan PDB (PDRB) menurut lapangan usaha. PDB (PDRB) menurut pengeluaran (expenditure) menjelaskan tentang besaran nilai produk atau barang dan jasa (output) yang dihasilkan di dalam wilayah domestik untuk digunakan sebagai konsumsi “akhir” masyarakat. Melimpahnya penawaran dan persediaan berbagai jenis barang dan jasa di pasar domestik (termasuk yang berasal dari impor) turut menjadi pemicu meningkatnya belanja untuk konsumsi, termasuk konsumsi rumah tangga.


Pola Konsumsi Masyarakat
Konsumsi masyarakat (rumah tangga) dibedakan menurut kelompok makanan dan bukan makanan. Dalam “Indikator Kesejahteraan Rakyat” (2015, BPS) perubahan pendapatan seseorang akan berpengaruh pada pergeseran pola pengeluaran. Semakin tinggi pendapatan, cenderung akan semakin tinggi pengeluaran untuk bukan makanan.  
Di Jawa Barat rata-rata konsumsi per kapita sebulan pada tahun 2016  untuk makanan mencapai 48,56 persen, sedangkan non makanan sebesar  51,44 persen (Taraf dan Pola Konsumsi Masyarakat Jawa Barat 2016, BPS). Jika dilihat menurut tempat tinggal, maka terlihat bahwa untuk daerah perkotaan persentase konsumsi makanan per kapita sebulan mencapai 46,20 persen dan non makanan sebesar 53,80 persen. Adapun untuk daerah perdesaan konsumsi makanan lebih mendominasi konsumsi per kapita, yaitu 57,02 persen untuk makanan dan 42,98 persen untuk non makanan.
Perbedaan komposisi maupun perubahan pola yang terjadi pada konsumsi masyarakat tentu saja tidak lepas dari adanya peristiwa yang terjadi, baik pada level global, nasional, maupun regional. Oleh karena itu, karena komposisi PDB (PDRB) kita lebih dari  separuhnya  masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga, maka perlu upaya keras dari berbagai pihak agar daya beli masyarakat tidak tergerus. Minimal, inflasi tidak bergerak liar sehingga menekan konsumsi rumah tangga.
Ekonomi kita ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Menjaga pertumbuhan ekonomi maka peelu menjaga konsumsi rumah tangga. Menggerakan investasi untuk bergeser menjadi penopang perekonomian rasanya sulit.  Menggerakan investasi untuk tumbuh, banyak pekerjaan yang harus dilakukan, seperti menciptakan iklim investasi yang mendukung, menahan gerak deindustrialisasi, serta upaya-upaya lain yang harus dikerjakan secara bersama. Mencuplik tema Hari Statistik Nasional 2017, mari kita “Kerja Bersama Dengan Data”. Kerja bersama dengan data untuk perekonomian yang lebih berkualitas, karena ternyata  kita masih konsumtif. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bandung (kembali) diguyur hujan

Bandung kembali diguyur hujan, siang ini dari lantai 5 gedung kantor,...... menikmati hujan yang derasnya luar biasa... kilat, petir, gel...