Pikiran Rakyat, 21 November 2017
Isu melemahnya
daya beli kembali menguat. Berbagai media mewartakannya. Terjadi perlambatan
konsumsi masyarakat di negeri ini. Namun jika melihat kue pendapatan, negara
kita negara konsumtif. Bagaimana tidak, 65,64 persen total pendapatan selama
triwulan III 2017 digunakan untuk konsumsi. Konsumsi disini terdiri dari
konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan konsumsi lembaga non profit. Dalam
struktur PDB (Produk Domestik Bruto) konsumsi rumah tangga memegang porsi
terbesar. Konsumsi rumah tangga berkontribusi sebesar 55,68 persen terhadap
PDB. Konsumsi rumah tangga merupakan
penggerak perekonomian. Apalagi di Jawa Barat, dengan jumlah penduduk terbesar
di Indonesia tentunya porsi konsumsi lebih besar.
Dirilis belum
lama ini di kantor BPS Provinsi Jawa Barat, pada triwulan III 2017 konsumsi
rumah tangga berkontribusi sebesar 64,71 persen. Jauh lebih tinggi dibandingkan
angka nasional. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga merupakan
penggerak utama perekonomian, dimana investasi (dalam hal ini PMTB/Pembentukan
Modal Tetap Bruto) baru berperan sebesar 24,96 persen terhadap PDRB (Produk
Domestik Regional Bruto) Jawa Barat pada triwulan III 2017. Hal ini kembali menunjukkan
bahwa konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang tertinggi bagi pertumbuhan
ekonomi Jawa Barat maupun Indonesia .
Pertumbuhan
Ekonomi
Bagi pertumbuhan ekonomi triwulan III 2017, sumber pertumbuhan ekonomi dari konsumsi
rumah tangga mencapai 2,23 persen terhadap total pertumbuhan ekonomi Jawa Barat
yang mencapai 5,19 persen. Laju pertumbuhan ekonomi (LPE) pada triwulan III
2017 ini melambat jika dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun
lalu, yaitu 5,97 persen (triwulan III 2016). Baik di level Jawa Barat maupun
level nasional sekalipun, angka pertumbuhan ekonomi seringkali menunjukkan
fluktuasi. Indef dalam “Buku Proyeksi Ekonomi Indonesia 2017” menyatakan bahwa
secara nasional fluktuasi pertumbuhan ekonomi sepanjang
tahun 2016 menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia
belum mendapatkan momentum dalam menjaga
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam beberapa waktu
kedepan. Berbagai peristiwa yang terjadi di level
global maupun nasional secara langsung memberikan
tekanan pada ekonomi
nasional.
Dampak dari berbagai peristiwa global, nasional, maupun regional
kita sadari sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kita. Kita sadari bersama
bahwa berbagai peristiwa tersebut memberikan pengaruh pada kondisi keuangan,
kondisi perekonomian secara global, termasuk pada pola dan perubahan konsumsi
masyarakat (-rumah tangga). Pada akhirnya tentu saja perubahan pada konsumsi
masyarakat dalam hal ini konsumsi rumah tangga berpengaruh besar bagi
pertumbuhan ekonomi, karena pertumbuhan ekonomi kita masih digerakkan oleh
konsumsi.
Dalam konsep Produk Domestik Bruto
(PDB) untuk level nasional atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk
level regional, konsumsi rumah tangga (masyarakat) merupakan salah satu
komponen penting dalam perekonomian. Konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang
utama pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran. Sebagaimana kita ketahui, ukuran dasar dalam
menilai perekonomian yang biasa digunakan adalah PDB atau PDRB. Sebagai
ukuran dasar (basic measure) atas penggunaan
produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan melalui proses produksi, PDB
atau
PDRB menurut pengeluaran tampil saling
melengkapi dengan PDB (PDRB)
menurut lapangan usaha. PDB
(PDRB)
menurut pengeluaran (expenditure) menjelaskan tentang besaran nilai
produk atau barang dan jasa (output) yang
dihasilkan di dalam wilayah domestik untuk digunakan sebagai
konsumsi “akhir” masyarakat. Melimpahnya penawaran
dan persediaan berbagai jenis barang dan jasa di
pasar domestik (termasuk yang berasal dari impor) turut menjadi pemicu
meningkatnya belanja untuk konsumsi, termasuk konsumsi rumah tangga.
Pola Konsumsi Masyarakat
Konsumsi masyarakat (rumah tangga)
dibedakan menurut kelompok makanan dan bukan makanan. Dalam “Indikator
Kesejahteraan Rakyat” (2015, BPS) perubahan pendapatan seseorang akan
berpengaruh pada pergeseran pola pengeluaran. Semakin tinggi pendapatan,
cenderung akan semakin tinggi pengeluaran untuk bukan makanan.
Di
Jawa Barat rata-rata konsumsi per kapita sebulan pada tahun 2016 untuk makanan mencapai 48,56 persen, sedangkan
non makanan sebesar 51,44 persen (Taraf dan Pola Konsumsi Masyarakat
Jawa Barat 2016, BPS). Jika dilihat menurut tempat
tinggal, maka terlihat bahwa untuk daerah perkotaan persentase konsumsi makanan
per kapita sebulan mencapai 46,20 persen dan non makanan sebesar 53,80 persen. Adapun
untuk daerah perdesaan konsumsi makanan lebih mendominasi konsumsi per kapita,
yaitu 57,02 persen untuk makanan dan 42,98 persen untuk non makanan.
Perbedaan
komposisi maupun perubahan pola yang terjadi pada konsumsi masyarakat tentu
saja tidak lepas dari adanya peristiwa yang terjadi, baik pada level global,
nasional, maupun regional. Oleh karena itu, karena komposisi PDB (PDRB) kita
lebih dari separuhnya masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga,
maka perlu upaya keras dari berbagai pihak agar daya beli masyarakat tidak
tergerus. Minimal, inflasi tidak bergerak liar sehingga menekan konsumsi rumah
tangga.
Ekonomi
kita ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Menjaga pertumbuhan ekonomi maka
peelu menjaga konsumsi rumah tangga. Menggerakan investasi untuk bergeser
menjadi penopang perekonomian rasanya sulit. Menggerakan investasi untuk tumbuh, banyak
pekerjaan yang harus dilakukan, seperti menciptakan iklim investasi yang
mendukung, menahan gerak deindustrialisasi, serta upaya-upaya lain yang harus
dikerjakan secara bersama. Mencuplik tema Hari Statistik Nasional 2017, mari
kita “Kerja Bersama Dengan Data”. Kerja bersama dengan data untuk perekonomian
yang lebih berkualitas, karena ternyata kita masih konsumtif. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar