Republika, 30 Januari 2018
Beras kembali menjadi polemik. Masih
hangat diperbincangkan isu terkait beras. Mulai dari kelangkaan di pasar, harga
yang naik tinggi, bahkan upaya pemerintah untuk membuka keran impor.
Isu terkait beras masih ramai
diperdebatkan, khususnya terkait importasi. Walaupun menurut Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Syarkawi Rauf mengatakan bahwa terkait impor beras ini tidak perlu
diperdebatkan lagi, karena sudah diputuskan.
Masing-masing pihak mempertahankan
argumennya. Perlu impor agar ketersediaan pasokan tetap terjaga. Di satu sisi
tidak perlu impor karena pasokan masih aman, panen raya akan menjelang. Ya,
semua pada pendirian masing-masing dengan tujuan yang sama, untuk menjaga rakyat. Kecukupan pangan
masyarakat terjaga, dan petani tidak
merugi. Disini kita melihat pentingnya beras bagi kehidupan masyarakat
Indonesia.
Namun demikian, sebagai negara dengan populasi
penduduk yang tinggi dan menempati urutan populasi
terbesar keempat di dunia, masalah ini menjadi urgen bagi
Indonesia. Hal ini berkorelasi
positif dengan tingginya kebutuhan pangan nasional.
Urgensi
Beras
Beras merupakan makanan pokok
hampir seluruh penduduk Indonesia. Oleh
karena itu ketersediaannya menjadi penting. Kita patut berbangga bahwa
Indonesia adalah negara terbesar ketiga yang memproduksi beras terbanyak di
dunia. Bahkan dulu, di era pertengahan 1980an dan 2008 Indonesia pernah
mencapai swasembada beras. Niat untuk menjadi eksportir kiranya masih sekedar
harapan. Realitanya hampir setiap tahun negara kita masih tetap mengimpor
beras, sebagai strategi menjaga tingkat cadangan beras.
Strategi dan kebijakan pangan yang
tepat melalui pemenuhan produksi pangan yang berkelanjutan menjadi suatu keharusan. Kita sadari bersama
bahwa kebijakan pangan merupakan isu strategis
karena sangat berkaitan dengan kedaulatan
bangsa.
Kedaulatan pangan berarti kita mampu memenuhi kebutuhan pangan
bangsa kita dari hasil produksi sendiri. Selama kurun waktu 1995 hingga 2015
produksi padi (bahan baku beras) di Indonesia secara umum menunjukkan tren
meningkat. Data BPS menunjukkan produksi padi di Indonesia pada tahun 1995
mencapai 49,70 juta ton dan meningkat lebih dari 1,5 kali lipat pada 2015
menjadi 75,40 juta ton.
Produksi padi sebanyak itu, tentu saja tidak seluruhnya dikonsumsi
oleh masyarakat dalam bentuk beras. Dalam transaksi perekonomian antar industri
pada Tabel Input Output, produksi padi yang dihasilkan selain digunakan untuk
konsumsi akhir, juga digunakan sebagai konsumsi antara bagi proses produksi
aktivitas industri lainnya. Padi yang dihasilkan petani, oleh industri
penggilingan padi diolah menjadi beras. Kemudian oleh industri lainnya diolah
menjadi tepung beras, yang selanjutnya diolah kembali menjadi produk makanan,
dan lain sebagainya. Proses ini dalam perekonomian menunjukkan adanya
keterkaitan antara “industri padi” dengan industri lainnya pada berbagai
institusi.
Tabel
Input Output Indonesia 2010 (transaksi total atas dasar harga pembeli)
menunjukkan sebanyak 77,20 persen output industri hasil penggilangan padi dan
penyosohan beras dialokasikan untuk pemenuhan konsumsi akhir bagi rumah tangga.
Sisanya dialokasikan untuk pemenuhan konsumsi antara (input antara industri
lainnya) serta sebagai inventori (stok).
Kenaikan
output beras ini mampu mendorong industri lainnya untuk meningkatkan outputnya
(forward linkadge) dan menarik
industri lainnya untuk meningkatkan output (backward
linkadge). Ini berarti pengaruh industri beras cukup besar dalam
menggerakan perekonomian lainnya di Indonesia.
Berkenaan
dengan hal tersebut, kiranya di Indonesia hal terkait beras akan selalu menjadi
isu hangat dan polemik ketika ada masalah. Terutama ketika terjadi kelangkaan
dan lonjakan harga yang “tidak wajar” bagi masyarakat.
Kelangkaan gabah yang berdampak pada langkanya beras di pasar
seringkali menjadi penyebab utama masalah perberasan ini. Gabah langka,
produksi beras turun. Di sisi lain permintaan tetap bahkan cenderung bertambah
(seiring bertambahnya penduduk), maka bukan hal aneh jika harga naik. Banyaknya
kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai
sumber pengairan utama pertanian, tingginya alih fungsi
atau konversi lahan pertanian, serta produktivtas
yang masih rendah menjadi penyebab sulitnya produksi padi melaju cepat. Disamping permasalahan
“alam” lainnya yang memang sulit dihindari, seperti adanya Siklon Dahlia
beberapa bulan lalu yang mengakibatkan rusaknya lahan pertanian dan gagal panen
di beberapa wilayah.
Naiknya harga beras, ternyata tidak serta merta membuat petani kita
diuntungkan. Seringkali petani tidak
menikmati kenaikan harga tersebut.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah agar ketersediaan pangan
khususnya beras bagi masyarakat terjaga. Kebijakan impor yang telah diputuskan,
semoga tidak menambah beban petani. Lebih bijak kiranya jika importasi
dilakukan berdasarkan zonasi. Daerah yang memang mangalami defisit beraslah
yang dipasok. Adapun daerah yang “mampu” memenuhi kebutuhannya sendiri tidak
perlu. Kembali ke khittah awal bahwa tujuan semua kebijakan yang dilakukan pada
dasarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Sehingga arah kebijakan umum
ketahanan pangan dalam RPJMN 2015-2019 dapat terlaksana, diantaranya adalah pemantapan
ketahanan pangan menuju kemandirian pangan dengan peningkatan
produksi pangan pokok, stabilisasi harga bahan pangan, serta peningkatan
kesejahteraan pelaku usaha pangan terutama petani, nelayan,
dan pembudidaya ikan.
Harmonisasi kebijakan impor bahan pangan
khususnya
beras terkait dengan stabilisasi pasokan dan
harga pangan kiranya perlu ditingkatkan, sehingga polemik tidak
berkepanjangan. Perlu kerjasama dan partisipasi berbagai stakeholders khususnya dalam memetakan ketersediaan dan kebutuhan
pangan. Kerja bersama, tidak saling menyalahkan. Kerja bersama dengan data.
Semoga.***