Selasa, 12 Juli 2011

PERAN GENDER PEREMPUAN BEKERJA

Oleh : Isti Larasati Widiastuty


Seiring dengan perubahan yang terjadi pada berbagai ruang kehidupan, peran serta perempuan dalam dunia publik menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu. Kondisi ini sebagai dampak dari semakin terbukanya kesempatan bekerja bagi kaum perempuan. Hal ini diawali ketika industrialisasi mulai masuk dalam kehidupan masyarakat. Momsen (2007:198) mengungkapkan bahwa seiring dengan perkembangan industrialisasi terutama di perkotaan, maka kegiatan industri telah mendorong perempuan untuk terlibat sebagai tenaga kerja dalam industri.
Keterlibatan perempuan dalam bekerja terdiri dari berbagai status, bekerja berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tetap, berusaha dibantu buruh tidak tetap, buruh/karyawan, pekerja bebas, dan pekerja tidak dibayar/pekerja keluarga. Menurut konsep dari ILO (International Labour Organization) yang diadopsi oleh BPS (Badan Pusat Statistik) bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu. Bekerja selama satu jam tersebut harus dilakukan berturut-turut dan tidak boleh terputus. Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2007 jumlah perempuan berumur 15 tahun ke atas yang bekerja di Kota Bandung mencapai 308.668 jiwa atau sekitar 79,43% dari total angkatan kerja perempuan (penduduk perempuan 15 tahun ke atas yang bekerja dan tidak bekerja), atau sekitar 32,63% dari total penduduk perempuan berumur 15 tahun ke atas. Partisipasi perempuan dalam dunia kerja pada tahun 2008 mengalami peningkatan. Masih dari sumber data yang sama, pada tahun 2008 (SAKERNAS 2008) jumlah perempuan berumur 15 tahun ke atas yang bekerja di Kota Bandung meningkat menjadi 347.442 jiwa atau sekitar 83,60% dari total angkatan kerja perempuan.
Jika ditelaah lebih lanjut berdasarkan sektor ekonomi tempat perempuan bekerja, sebagian besar perempuan bekerja di Kota Bandung bekerja pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Pada tahun 2008 sebanyak 37,39% perempuan bekerja di Kota Bandung bekerja di sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Kondisi ini sejalan dengan struktur ekonomi Kota Bandung yang didominasi oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran, yang mencapai 40,06% terhadap pennciptaan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kota Bandung. Perempuan yang bekerja di sektor industri pengolahan sekitar 25,94% (kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB Kota Bandung mencapai 25,73%). Adapun perempuan yang bekerja di sektor pertanian di Kota Bandung hanya mencapai 1,52%, seiring dengan peranan sektor pertanian dalam penciptaan PDRB yang hanya mencapai 0,25% pada tahun 2008. Rendahnya partisipasi perempuan di Kota Bandung untuk terlibat dalam kerja di sektor pertanian dikarenakan kesempatan kerja yang ditawarkan oleh sektor ini sangat rendah, akibat keterbatasan lahan pertanian yang ada di Kota Bandung. Kondisi ini berbeda dengan hasil penelitian Pudjiwati Sayogjo (1985, 1993) dalam Mulyanto (2008: 28) yang menyimpulkan bahwa ketika permesinan sudah memasuki bidang pertanian yang mengakibatkan tenaga-tenaga kerja perempuan tersingkir dari atau kian sempit kesempatannya untuk memasuki sektor pertanian, maka jumlah perempuan yang memasuki saluran penghidupan di luar sektor pertanian akan besar. Keterbatasan lahan pertanian mengakibatkan perempuan bekerja di Kota Bandung memasuki saluran penghidupan di luar sektor pertanian.
Hasil SAKERNAS 2008 juga menunjukkan bahwa sebanyak 59,54% perempuan bekerja dengan status sebagai buruh/karyawan. Tingginya persentase perempuan bekerja dengan status buruh/karyawan dimungkinkan sebagai dampak dari terbukanya kesempatan kerja sebagai buruh/karyawan bagi perempuan di Kota Bandung seiring dengan pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh perempuan bekerja tersebut. Pada tahun 2008 sekitar 29,45% perempuan bekerja berpendidikan SMA, SMP sebanyak 25,24%, dan 21,28% berpendidikan di atas diploma. Kondisi ini menunjukkan bahwa untuk daerah perkotaan seperti Kota Bandung, kesempatan kerja untuk menjadi buruh/karyawan yang tersedia cenderung sejalan dengan tingkat pendidikan dari angkatan kerja itu sendiri, semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk menjadi buruh/karyawan di berbagai sektor ekonomi cenderung semakin besar.
Perempuan bekerja yang berstatus sebagai pengusaha, yaitu berusaha sendiri, berusaha dengan dibantu buruh tetap, dan berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap, pada tahun 2008 sebanyak 28,57%. Hasil penelitian ASPUK dan AKATIGA di Jawa Tengah pada tahun 2003 menemukan bahwa perempuan yang bergerak di usaha mikro menyimpan sejumlah persoalan, yaitu dari yang bersifat teknis usaha sampai kepada yang bersifat struktural. Pada tingkat persoalan struktural misalnya adalah hal yang berhubungan dengan kebijakan formal pemerintah, lembaga kredit seperti perbankan, serta lembaga yang berwenang memberikan kelayakan produk, sampai pada hambatan struktural yang sifatnya dekat dengan “tubuh perempuan”. Dalam hal ini, yang sering terjadi adalah eksploitasi terhadap perempuan, yang disebabkan oleh ketidaksetaraan relasi dalam rantai produksi dan perdagangan. Yang tak kalah pentingnya dari penelitian ini adalah adanya kesulitan perempuan dalam pengembangan usaha akibat ketimpangan relasi antara perempuan dengan keluarga dan suami di ranah domestik (Firdaus dan Dewayanti, 2008).
Eviota (1992) dalam The Political Economy of Gender, Women and the Sexual Division of Labour in the Philippines diacu dalam Indraswari (2004) membagi peran (kerja) dalam dua tipe: “that which is productive, or work for exchange, and that which is reproductive, or work for use and the satisfaction of immediate needs” (yaitu produktif, atau kerja untuk pertukaran, dan yang reproduktif, atau kerja untuk digunakan dan kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan mendesak). Menurut Eviota, peran produktif dan reproduktif keduanya berperan penting dalam proses bertahan (survival) dan pembaruan (renewal) manusia. Peran produktif merupakan peran yang menghasilkan sesuatu untuk kelangsungan hidup anggotanya, seperti sandang, pangan, dan papan. Peran reproduktif adalah peran (kerja) "memproduksi manusia". Edholm et al (1977), diacu dalam Saptari dan Holzner (1997:16) membedakan peran reproduktif menjadi reproduktif biologis (yaitu hamil, melahirkan, menyusui), reproduktif tenaga kerja (yang berarti sosialisasi dan pengasuhan anak- mempersiapkan mereka menjadi cadangan tenaga kerja berikutnya), dan reproduktif sosial (proses dimana hubungan produksi dan struktur sosial terus direproduksi dan dilestarikan). Hakikat peran dan kerja perempuan biasanya dikaitkan terutama dengan peran reproduktif biologis dan reproduktif tenaga kerja, namun perempuan juga memegang peran dalam peran reproduktif sosial seperti peran dalam melestarikan status keluarga atau dalam kegiatan komunitas.
Penelitian tim AKATIGA di Klaten dan Banyumas (Dewayanti, 2003:79-84) menyimpulkan bahwa perempuan pengusaha disamping melaksanakan peran produktifnya juga tetap melaksanakan peran-peran reproduktifnya. Hal ini berimplikasi pada rendahnya akses perempuan terhadap sumberdaya seperti bahan baku, modal, keterampilan bahkan jangkauan usaha. Perempuan pengusaha lebih banyak berhubungan dengan aktor penyedia bahan baku yang masih berada dalam satu desa, sementara hubungan dengan pihak luar desa adalah bagian laki-laki. Moser (1991) seperti dikutip oleh Dewayanti (2003:81) menyatakan bahwa di dalam komunitas pun, keterlibatan perempuan di dalam mengatur usahanya berada di tingkat lokal. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian penulis pada komunitas perempuan pengusaha di Sentra Rajutan Binongjati Kota Bandung (2008) perempuan pengusaha pada sentra rajutan Binongjati tidak memiliki hambatan dalam melakukan peran-peran produktifnya di luar wilayah sentra. Tidak ada batasan bahwa peran ke luar wilayah domestik harus dilakukan oleh laki-laki. Mereka melakukan perannya di wilayah domestik maupun publik.
Sebetulnya, baik berstatus sebagai buruh/karyawan maupun sebagai pengusaha, perempuan bekerja melakukan peran gendernya, baik reproduktif maupun produktif. Hal ini bukan semata-mata sebagai domestikasi perempuan melainkan sebagai strategi berhahan hidup bagi keberlangsungan kehidupan keluarganya. Perempuan bekerja melihat adanya peluang untuk meningkatkan taraf hidup keluarganya melalui kegiatan bekerja ini dan mereka memiliki kontrol terhadapnya. Beban ganda yang terjadi pada perempuan bekerja dapat diminimalisasi dengan mensubstitusikan sebagian perannya terhadap orang lain. Kadangkala beban ganda ini mewujudkan suatu ketidakadilan gender ketika beban kerja perempuan bekerja menjadi sangat panjang. Berdasarkan hasil penelitian penulis (2008), perempuan pengusaha di sentra rajutan Binongjati Kota Bandung memulai kerja (reproduktif dan produktif) rata-rata sejak pukul 5 hingga pukul 23. Sebagai perempuan bekerja yang juga melakukan peran reproduktif, maka kondisi ini menunjukkan panjangnya beban kerja perempuan bekerja.
Mungkin yang perlu kita sadari bersama adalah bahwa peran gender merupakan peran yang dapat dipertukarkan (disubstitusikan). Peran reproduktif tidak semata-mata hanya milik atau dunia perempuan. Sebagai peran yang dapat dipertukarkan, peran reproduktif juga milik atau dunia laki-laki. Bagi perempuan bekerja, yang juga melakukan peran produktif disamping peran reproduktif, mensubstitusikan sebagian peran reproduktif kepada orang lain (pasangan, anggota rumahtangga lain, pembantu rumahtangga, dll) merupakan alternatif dalam meminimalisasi ketidakadilan gender dalam bentuk beban kerja yang panjang. Tentu saja, semua ini dapat terealisasi ketika sudah ada pemahaman dan kesadaran akan hal ini mulai dari ranah rumahtangga. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bandung (kembali) diguyur hujan

Bandung kembali diguyur hujan, siang ini dari lantai 5 gedung kantor,...... menikmati hujan yang derasnya luar biasa... kilat, petir, gel...