Jumat, 15 Juli 2011

MENGEJAR TARGET MDGs PASCA SENSUS PENDUDUK 2010

Oleh :
Isti Larasati Widiastuty



ABSTRACT
ISTI LARASATI WIDIASTUTY. Pursuing of MDGs Targets After 2010 Indonesian Population Census.

Millenium Development Goals is global agreement reached by the Heads of State and representatives from 189 countries to improve the welfare of the global community which focused to against poverty and increase the quality of human life. In 2010 there are three kind of Indonesian MDGs status achievement : (1) has already achieved, (2) will be achieve at 2015, (3) hard to achieve and need special attention. MDGs has women faces so the programs must be create an target to poor women household. Data and indicators needed to accelerate the achievement the development goals. 2010 Indonesian Population Census(SP2010) provides any kind of data, variable and indicators which has divided by gender, can be used in planning, implementation, and evaluate the development. SP2010 also provides sampling frame base on household.
Keywords : MDGs, Gender, 2010 Indonesian Census (SP2010)


BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
MDGs. Millenium Development Goals atau Tujuan Pembangunan Milenium merupakan suatu hal yang sudah tidak asing dalam era pembangunan saat ini. MDGs merupakan suatu pembaruan kesepakatan global dalam mencapai tujuan pembangunan, yaitu memerangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas hidup manusia. MDGs yang ditetapkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) di New York pada bulan September tahun 2000, dihadiri oleh 189 negara anggota PBB, termasuk Indonesia. Setelah ditandatanganinya deklarasi milenium pada saat itu, seluruh anggota PBB bertekad dan berkomitmen untuk mempercepat pembangunan manusia dan memerangi kemiskinan melalui delapan target MDGs.
Sidang tingkat tinggi ke-65 yang diselenggarakan di kantor PBB New York pada tanggal 20 – 22 September 2010 lalu membahas mengenai capaian target MDGs. Pertemuan membahas pengalaman sukses dalam pencapaian target-target MDGs, kendala yang dihadapi, rencana dan strategi akselerasi pencapaian MDGs ke depan, serta dukungan peningkatan pembiayaan dan kerjasama antar negara. Laporan MDGs Indonesia tahun 2010 menyatakan bahwa dalam pencapaian target-target MDGs Indonesia sudah on the track seperti halnya target MDGs yang disepakati (Susilo, Wahyu. 2010 : kolom 3).
Delapan target MDGs yang disepakati untuk meningkatkan kualitas hidup manusia adalah : (1) memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem, (2) mewujudkan pendidikan dasar bagi semua, (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) menurunkan angka kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu, (6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, (7) memastikan kelestarian lingkungan, dan (8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan (Bappenas. 2007).
Sebetulnya delapan target MDGs tersebut tidak jauh berbeda dengan target-target pembangunan sebelumnya, dimana hampir seluruh target pembangunan pada akhirnya adalah untuk mensejahterakan masyarakat. Hal baru dalam MDGs adalah adanya suatu target yang konkrit dan terukur (bersifat kuantitatif) sebagai indikator pencapaian dari delapan target yang ingin dicapai tersebut ( Effendi, Sofyan. 2004:325).
Jika kita cermati antara target yang satu dengan target lainnya saling terkait satu sama lain. Hal ini menunjukkan bahwa setiap bidang dan target MDGs sama pentingnya untuk dapat meningkatkan kualitas hidup manusia. Untuk mencapai kedelapan target tersebut perlu dilakukan program pencapaian dengan tepat, baik dari sisi jenis program maupun sasaran program. Ketepatan jenis dan sasaran program dapat terlaksana apabila stakeholders memiliki data yang akurat.
Maka dari itu yang tidak kalah penting dalam mencapai delapan target MDGs adalah ketersediaan data. Tanpa adanya data yang reliable, relevan, valid, dan up to date, rasanya target MDGs tersebut hanya akan menjadi angan-angan semata. Dalam mencapai target MDGs data memegang peranan penting, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi dari kegiatan dan program yang dilaksanakan untuk mencapai target.
Sensus Penduduk 2010 (SP2010) yang dilaksanakan pada bulan Mei 2010 lalu merupakan salah satu sumber data di Indonesia yang lengkap dan komprehensif, karena dapat menyajikan data hingga small area statistic. Terdapat 43 (empat puluh tiga) variabel yang ditanyakan kepada masyarakat dalam SP2010, oleh karenanya data yang dihasilkan relatif lengkap. Dengan demikian kiranya perlu untuk dilakukan kajian bagaimana data yang dihasilkan dari SP2010 dapat menjawab tantangan dari target MDGs yaitu tersedianya data indikator dan statistik MDGs sampai wilayah terkecil.

1.2 Identifikasi Permasalahan
Pencapaian target-target MDGs tidak dapat dilakukan secara parsial, dikarenakan antara target yang satu dengan target lainnya memiliki saling keterkaitan. Pemberantasan kemiskinan dan kelaparan ekstrem tidak akan lepas dari upaya mewujudkan pendidikan dasar bagi semua, karena kecenderungannya dengan pendidikan akan memberikan peluang yang lebih besar bagi seseorang untuk mendapatkan pekerjaan, adanya pekerjaan maka setidaknya masyarakat akan lebih memiliki akses untuk melawan kemiskinan dan kelaparan. Maka pemecahan permasalahan yang terkait dengan upaya pencapaian target MDGs harus dilakukan secara simultan dan lintas bidang.
Satu hal yang dapat dicermati dari target-target MDGs adalah bahwa MDGs berwajah perempuan (MDGs has women faces). MDGs boleh disebutkan berwajah perempuan karena setiap bidang terkait erat dengan kehidupan perempuan (Effendi, Sofyan. 2004 : 327). Perempuan sangat erat dengan kemiskinan, beberapa penelitian terdahulu menyatakan bahwa kemiskinan berwajah perempuan (poverty has women faces). Perempuan juga erat kaitannya dengan pendidikan rendah, buta huruf, status kesehatan rendah, kurang gizi, mengidap penyakit menular yang sering dialami tanpa kesalahannya sendiri, diskriminasi, marjinalisasi, dan biasanya perempuan menanggung beban dari turunnya fungsi lingkungan hidup sebagai dampak dari air kotor dan sanitasi yang buruk. Oleh karena itu target MDGs ketiga, keempat, dan kelima secara langsung perempuan menjadi target utama, walaupun target lainnya tidak lepas dari perempuan.
Program pemberantasan kemiskinan, buta huruf, gizi buruk, penyakit menular, dan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam mencapai target MDGs sudah saatnya melibatkan laki-laki dan perempuan di dalamnya. Tentu saja, dalam perencanaan dan pelaksanaannya, yaitu sasaran program harus sudah terpilah antara perempuan dan laki-laki dikarenakan kondisi yang berbeda antara keduanya. Ketersediaan data terpilah gender (data responsif gender) masih relatif kurang dengan cakupan sampai wilayah terkecil (small area statistic) dan referensi waktu yang rutin secara tahunan. Oleh karena itu permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah kondisi pencapaian target-target MDGs Indonesia tahun 2010?
2. Sejauh mana Sensus Penduduk 2010 memberikan ketersediaan data terpilah gender bagi pencapaian target MDGs 2015?


1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menjelaskan kondisi pencapaian target-target MDGs Indonesia tahun 2010.
2. Menjelaskan sejauh mana Sensus Penduduk 2010 menyediakan data terpilah gender bagi pencapaian target MDGs 2015.


BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 MDGs
MDGs atau Tujuan Pembangunan Milenium adalah delapan tujuan yang diupayakan untuk dicapai pada tahun 2015 merupakan tantangan tantangan utama dalam pembangunan diseluruh dunia. Tantangan-tantangan ini sendiri diambil dari seluruh tindakan dan target yang dijabarkan dalam Deklarasi Milenium yang diadopsi oleh 189 negara dan ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York pada bulan September 2000 (Wikipedia).

2.2 Target MDGs
Target pertama memerangi kemiskinan dan kelaparan ekstrem. Target ini memiliki ukuran yang jelas, dimana pada tahun 2015 harus mampu menurunkan proporsi jumlah penduduk miskin menjadi setengahnya antara tahun 1990 - 2015. Jumlah penduduk miskin pada tahun 1990 mencapai 15,10% dari total penduduk Indonesia, maka target yang harus dicapai pada tahun 2015 adalah mengurangi proporsi jumlah penduduk miskin menjadi 7,55% (Bappenas. 2007).
Target kedua adalah mencapai pendidikan dasar bagi semua, yaitu memastikan pada tahun 2015 semua anak laki-laki dan perempuan telah menyelesaikan pendidikan dasarnya. Baik anak laki-laki maupun anak perempuan memiliki akses yang sama untuk mengenyam pendidikan, ditargetkan tahun 2015 pendidikan dasar dan tahun berikutnya untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Target ketiga adalah memajukan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan dengan cara menghapus kesenjangan gender dalam pendidikan dasar dan menengah, jika mungkin telah terjadi setelah tahun 2005 dan pada tahun 2015 telah terjadi pada semua tingkatan pendidikan. Indikator persentase anak perempuan di jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMU ditargetkan mencapai 100 persen pada tahun 2015.
Target keempat adalah menurunkan angka kematian anak (1 – 5 tahun) sebesar 2/3 antara tahun 1990 - 2015. Jika pada tahun 1990 angka kematian anak sebanyak 81 anak dari 1000 kelahiran maka pada tahun 2015 ditargetkan hanya 32 kematian dari 1000 penduduk.
Target kelima adalah meningkatkan kesehatan ibu dengan cara menurunkan rasio angka kematian ibu sebesar 3/4 antara tahun 1990 – 2015. Jika angka kematian ibu pada tahun 1990 adalah 390 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup maka pada tahun 2015 ditargetkan hanya sebanyak 102 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.
Target keenam adalah memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya dengan cara menghentikan penyebarannya pada tahun 2015. Prevalensi penderita penyakit HIV/AIDS dari tahun 1990 menunjukkan adanya peningkatan, perlu kerja keras untuk mengatasi masalah ini.
Target ketujuh adalah memastikan kelestarian lingkungan dengan memadukan prinsip-prinsip pembangunan lingkungan yang berkelanjutan ke dalam kebijakan dan program pemerintah. Target ini juga memastikan bahwa pada tahun 2015 telah tercapai penurunan separuh dari penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air bersih dan sanitasi yang aman, serta pada tahun 2020 telah terjadi perbaikan signifikan bagi setidaknya 100 juta penghuni kawasan kumuh.
Target MDGs kedelapan yaitu mengembangkan kemitraan global untuk keperluan pembangunan terkait dengan kerjasama internasional, yaitu menelaah isu-isu seperti perdagangan, bantuan dan utang internasional. Sebagian besar target ini ditujukan bagi Negara maju untuk membantu Negara miskin dalam mencapai target MDGs lainnya.

2.3 Kemiskinan
Bappenas (2004) dalam BPS (2009:11) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan bermartabat. Hak-hak dasar tersebut antara lain : (1) terpenuhinya kebutuhan pangan, (2) kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, (3) rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, (4) hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik.

2.4 Ukuran Kemiskinan
Dalam pencapaian target MDGs Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan dengan kategori pendapatan per kapita 1 dollar Amerika (USD 1) dalam bentuk satuan Paritas Daya Beli per kapita per hari (Purchasing Power Parity/PPP). BPS (2005a:12) menyatakan bahwa untuk Indonesia, garis kemiskinan didekati dengan pengeluaran minimum makanan yang setara dengan 2.100 kilokalori per kapita per bulan ditambah pengeluaran minimum bukan makanan (perumahan dan fasilitasnya, sandang, kesehatan, pendidikan, transpor dan barang-barang lainnya).

2.5 Pendidikan Dasar
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan masyarakat yang berperan meningkatkan kualitas hidup (BPS, 2005c). Suryadi (1997) dalam BPS (2005b) menyatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu bentuk kegiatan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Pendidikan dasar adalah pendidikan Sekolah Dasar atau setara.


2.6 Angka Partisipasi Murni (APM) Sekolah Dasar
APM menunjukkan proporsi anak sekolah pada kelompok umur tertentu yang bersekolah di pada tingkat yang sesuai dengan kelompok umurnya (BPS, 2005c). Adapun APM SD adalah persentase penduduk berumur 7 – 12 tahun yang bersekolah di SD.

2.7 Kesetaraan Gender
Mosse (2002:3) mendefinisikan gender sebagai perangkat peran yang menunjukkan kepada orang lain (masyarakat) mengenai sifat-sifat yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Adapun kesetaraan gender merupakan persamaan kondisi dan status antara laki-laki dan perempuan sehingga tidak seorang pun yang terabaikan kesempatan dan hak asasinya. Artinya, laki-laki dan perempuan tidak dibedakan karena jenis kelaminnya, sebaliknya laki-laki dan perempuan diberi kesempatan untuk maju dan berkembang secara sama, tidak ada jenis kelamin yang lebih utama atau diprioritaskan (Hanifah, 2001).

2.8 Data
Data merupakan informasi-informasi yang mendukung dalam perencanaan, proses, dan evaluasi pembangunan. Pada tahap perencanaan, data mampu mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Data terpilah gender adalah data yang sudah terspesifikasi antara laki-laki dan perempuan.

BAB III METODOLOGI
3.1 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah berbagai publikasi hasil Sementara Sensus Penduduk 2010, Survei Sosial Ekonomi Modul Panel 2010, Tabel Indikator Pendidikan, Perkembangan Berbagai Indikator Sosial Ekonomi, serta beberapa publikasi resmi lainnya yang mendukung.

3.2 Metode Analisis
Metode analisis dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan permasalahan yang terkait dengan capaian target MDGs dan indikator-indikator yang bisa dihasilkan dari SP2010.


BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Data memegang peranan sedemikian pentingnya, namun kadangkala ketersediaannya sangat kurang. Namun demikian, perlu upaya dari berbagai pihak agar data tersedia tepat waktu dan ketersediaannya bersifat series agar capaian indikator MDGs dapat termonitor dari waktu ke waktu.

4.1 Capaian MDGs Tahun 2010
Berdasarkan hasil dari Kongres Tingkat Tinggi (KTT) PBB pada tanggal 20 – 22 September 2010 lalu, Menteri Luar Negeri Indonesia Martin Natalegawa menyebutkan bahwa capaian MDGs Indonesia sudah on the track (Susilo, Wahyu. 2010:kolom 3). Artinya, secara umum capaian target MDGs Indonesia sudah menuju target yang ditetapkan. Jika dilihat hasil Laporan MDGs Indonesia tahun 2010, terdapat tiga jenis capaian MDGs Indonesia, yaitu : (1) target sudah tercapai, (2) target akan tercapai pada tahun 2015, dan (3) target sulit untuk tercapai.

Target pertama memerangi kemiskinan dan kelaparan ekstrem menunjukkan adanya upaya pencapaian target. Pada bulan Maret 2010 tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 13,33 %, atau sekitar 5,78% lagi menuju target pada tahun 2015 (BPS, 2010)1. Kiranya mengejar target untuk menurunkan setengah dari proporsi penduduk miskin pada 2015 memerlukan kerja keras dari seluruh komponen bangsa, baik stakeholders (pemangku kebijakan) maupun masyarakat.
Untuk mencapai pendidikan dasar bagi semua, yaitu memastikan semua anak laki-laki dan perempuan telah menyelesaikan pendidikan dasar. Data tersedia hasil Sensus, Survei (Susenas), maupun dari SKPD terkait (Departemen Pendidikan Nasional) yaitu data angka partisipasi sekolah dasar yang sudah terpilah laki-laki dan perempuan. Angka Partisipasi Murni (APM) pendidikan dasar (SD) tahun 2009 mencapai 95,23%, yang berarti masih kurang sekitar 4,77% dari target 100,00% pada tahun 2015. Angka Melek Huruf (AMH) juga menunjukkan adanya peningkatan. Jika dilihat berdasarkan capaian indikator-indikator pendidikan pada tahun 2010 ini maka target pendidikan dasar untuk semua dapat tercapai pada tahun 2015. Namun yang perlu diperhatikan lebih lanjut oleh stakeholders adalah tidak hanya tingkat partisipasi sekolah melainkan juga kualitas dari pendidikan yang diterima oleh masyarakat.
Target ketiga memajukan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan jika dilihat dari indikator adanya persamaan hak antara anak laki-laki dan perempuan dalam pendidikan dasar, menengah, dan tinggi (ditunjukkan dengan proporsi perempuan terhadap laki-laki di SD, SMP, SMU, dan Perguruan Tinggi) maka target ini tecapai pada tahun 2015, bahkan untuk pendidikan SMP dan perguruan tinggi sudah tercapai di tahun 2010. Kondisi ini menunjukkan tidak adanya perbedaan perlakuan bagi seseorang untuk mengenyam jenjang pendidikan, kondisi partiarkhi yang menyatakan bahwa laki-laki memiliki hak yang lebih (dominan) dari perempuan tidak terlihat dari indikator ini. Namun untuk kedua indikator yang lain, yaitu proporsi perempuan yang menduduki kursi di DPR dan kontribusi tenaga kerja perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non pertanian masih relatif rendah persentasenya walaupun menunjukkan adanya peningkatan dari tahun 1990.
Target keempat menurunkan angka kematian anak jika dilihat dari tabel 1 di atas menunjukkan adanya peningkatan kinerja, walaupun untuk mencapai target di tahun 2015 relatif sulit. Kondisi ini perlu mendapat perhatian dari semua pihak, perlu upaya keras melalui program terutama yang berkaitan dengan peningkatan akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan. Di samping itu, ketersediaan data untuk indikator ini lag nya cukup tinggi. Diupayakan ke depannya tersedia data series yang referensi waktunya rutin tahunan sehingga program yang dilaksanakan berdasarkan pada data yang up to date.
Sama halnya dengan angka kematian anak, angka kematian ibu juga sepertinya cukup sulit mencapai target. Target pada tahun 2015 adalah 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2007 baru mencapai 228 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Kondisi ini menunjukkan tingkat kesehatan ibu masih relatif rendah, perlu upaya keras untuk mengejar target. Program lebih difokuskan kepada peningkatan akses dari perempuan untuk menikmati fasilitas kesehatan, terutama bagi perempuan miskin yang cenderung mengalami kesulitan untuk mengakses berbagai fasilitas kehidupan.
Target keenam yaitu memerangi HIV/AIDS, penyakit malaria dan menular lainnya menunjukkan prevalensi yang mengalami peningkatan setiap tahunnya khususnya untuk penderita HIV/AIDS. Jika dulu mengungkap kejadian HIV/AIDS adalah hal tabu bagi masyarakat, saat ini kondisinya sudah sedikit berbeda, dimana sedikit banyak sudah ada keterbukaan untuk melaporkan kejadian ini ke tenaga kesehatan, walaupun data penderita HIV/AIDS ibaratnya masih berupa “fenomena gunung es”. Artinya data yang terungkap baru berdasarkan laporan saja, belum mengungkap jumlah dan permasalahan secara pasti. Kondisi di Indonesia menunjukkan prevalensi peningkatan penderita HIV/AIDS terutama dari kelompok rentan pengguna narkoba suntik. Adapun indikator lainnya menunjukkan bahwa prevalensi penderita penyakit malaria dan tuberkulosis mengalami penurunan.
Adapun target ketujuh menjamin kelestarian lingkungan capaian Indonesia yang sulit dicapai adalah adanya perluasan daerah tutupan hutan. Kondisinya menunjukkan bahwa setiap tahunnya luas tutupan hutan di Indonesia mengalami penurunan. Indikator lainnya yaitu proporsi masyarakat yang mengakses air bersih melalui saluran air bersih perpipaan mengalami peningkatan setiap tahunnya walaupun masih jauh dari target pada tahun 2015. Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan pun mengalami penurunan dari tahun 1990, walaupun masih harus menurunkan setengahnya untuk mencapai target 2015, dimana pada tahun ini baru mencapai 12,12% dari target sebesar 6%.
Capaian target MDGs terakhir Indonesia yang ditunjukkan dengan rasio ekspor dan impor terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami penurunan dari tahun 1990, dimana pada tahun ini proporsinya mencapai 39,50%. Rasio ini ditargetkan mengalami peningkatan dari capaian pada tahun 1990, karena rasio ekspor dan impor yang tinggi menunjukkan adanya keterbukaan perekonomian antara Indonesia dengan negara lain, dengan bentuk jalinan kemitraan global dengan negara luar untuk pembangunan.
Jika kita amati hasil laporan MDGs Indonesia masih ada beberapa indikator yang referensi waktunya mengalami lag yang cukup besar. Oleh karena itu adanya target yang terukur secara kuantitatif memang menjadikan pencapaian target MDGs sebagai tantangan bagi semua pihak, terutama kaitannya dengan ketersediaan data. Data yang ada seringkali masih bersifat nasional tidak tersedia untuk level wilayah yang lebih kecil (small area statistics) dan bersifat netral gender (tidak memilah laki-laki dan perempuan). Ketersediaan data terpilah gender hingga small area statistics memegang peranan penting dalam mengejar ketertinggalan target MDGs, karena jika diamati hampir seluruh target MDGs berkaitan erat dengan kehidupan perempuan. Dengan data ini sasaran program dapat difokuskan untuk perempuan dan laki-laki sehingga lebih tepat mengingat masalah serta kebutuhan perempuan dan laki-laki di setiap wilayah memiliki perbedaan.

4.2 Ketersediaan Data Hasil SP 2010
Hasil SP2010 diantaranya adalah tersedianya data dasar kependudukan sebagai basis data kependudukan yang bermanfaat bagi pembangunan. Data dasar yang dihasilkan mencakup sampai wilayah area terkecil. Data dasar yang dihasilkan dari SP2010 dapat digunakan sebagai basis data dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program terkait dengan upaya percepatan pencapaian target-target MDGs. Data yang dihasilkan pun sudah terpilah gender, yaitu memilah antara laki-laki dan perempuan. Beberapa variabel dan indikator yang dihasilkan dari SP2010, diantaranya yaitu :

1 Penduduk by name Dirinci menurut jenis kelamin, penting ketika program ingin tepat sasaran pada perorangan
2 Penduduk by address Dirinci menurut jenis kelamin, penting ketika program ingin tepat sasaran pada perorangan
3 Kepala rumah tangga by name by address Dirinci menurut jenis kelamin, penting ketika program ditujukan kepada rumahtangga dengan kepala rumahtangga perempuan atau laki-laki
4 Penduduk menurut golongan umur atau umur tunggal Dirinci menurut jenis kelamin
5 Penduduk menurut agama Dirinci menurut jenis kelamin
6 Penduduk menurut tingkat kecacatan Dirinci menurut jenis kelamin
7 Penduduk menurut kewarganegaraan Dirinci menurut jenis kelamin
8 Penduduk menurut suku bangsa Dirinci menurut jenis kelamin
9 Penduduk menurut kejadian migrasi seumur hidup (life time migration) Dirinci menurut jenis kelamin
10 Penduduk menurut kejadian migrasi risen (lima tahun yang lalu) Dirinci menurut jenis kelamin
11 Penduduk menurut bahasa sehari-hari yang digunakan Dirinci menurut jenis kelamin
12 Penduduk menurut kemampuan berbahasa Indonesia Dirinci menurut jenis kelamin
13 Penduduk menurut status sekolah Dirinci menurut jenis kelamin
14 Penduduk menurut ijazah tertinggi yang ditamatkan Dirinci menurut jenis kelamin
15 Penduduk Menurut kemampuan membaca dan menulis (Angka Melek Huruf) Dirinci menurut jenis kelamin
16 Penduduk menurut status perkawinan Dirinci menurut jenis kelamin
17 Penduduk bekerja atau berusaha Dirinci menurut jenis kelamin, lapangan usaha, dan status pekerjaan
18 Penduduk yang mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja Dirinci menurut jenis kelamin, lapangan usaha, dan status pekerjaan
19 Penduduk yang mencari pekerjaan (menganggur) atau mempersiapkan usaha Dirinci menurut jenis kelamin, ijazah yang dimiliki (dapat digunakan potensi pengangguran menurut tingkat pendidikan)
20 Penduduk yang tidak bekerja dan siap menerima pekerjaan Dirinci menurut jenis kelamin
21 Lapangan usaha pekerjaan penduduk bekerja Dirinci menurut jenis kelamin
22 Status pekerjaan penduduk bekerja Dirinci menurut jenis kelamin
23 Jumlah anak lahir hidup
24 Jumlah anak lahir hidup dan masih tinggal di dalam rumah tangga Dapat diketahui rata-rata beban rumah tangga dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari
25 Jumlah anak lahir hidup dan tinggal di luar rumah tangga
26 Jumlah anak lahir hidup yang telah meninggal dunia
27 Kejadian kelahiran setahun lalu
28 Kejadian kematian setahun lalu Dirinci menurut jenis kelamin dan umur
29 Kejadian kematian menurut jenis kelamin
30 Kejadian kematian menurut umur
31 Kejadian kematian ibu Bisa dihitung Angka Kematian Ibu per 100.000 kelahiran hidup
32 Kejadian kematian ibu pada masa kehamilan
33 Kejadian kematian ibu pada masa persalinan
34 Kejadian kematian ibu pada masa dua bulan setelah persalinan (masa nifas)
35 Rumah tangga menurut jenis lantai terluas
35 Rumah tangga menurut luas lantai Bisa dihitung rata-rata luas lantai yang dikuasai oleh anggota rumah tangga (sebagai variabel penghitungan rumah tangga miskin)
36 Rumah tangga menurut sumber penerangan utama
37 Rumah tangga menurut bahan bakar utama yang digunakan untuk memasak sehari-hari
38 Rumah tangga menurut sumber air minum utama
39 Rumah tangga menurut jenis fasilitas tempat buang air besar
40 Rumah tangga menurut fasilitas tempat akhir pembuangan tinja
41 Rumah tangga menurut penguasaan telepon
42 Rumah tangga menurut akses internet
43 Rumah tangga menurut status kepemilikan/penguasaan tempat tinggal
44 Rumah tangga menurut jenis bukti kepemilikan tanah tempat tinggal
45 Rumah kumuh Diturunkan dari beberapa variabel kondisi perumahan

Jika dilihat pada tabel 2 di atas jelas bahwa SP2010 memberikan banyak data, variabel dan indikator, maupun indikator turunan yang dapat digunakan sebagai bahan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan, termasuk dalam pencapaian target-target MDGs. Sebagaimana telah diulas sebelumnya bahwa target-target MDGs merupakan satu kesatuan, memiliki saling keterkaitan satu sama lain dan target-target tersebut sangat erat kaitannya dengan kehidupan perempuan. Oleh karena itu agar akselerasi pencapaian target dapat terwujud kiranya program dan kegiatan idealnya difokuskan pada perempuan, khususnya perempuan miskin supaya memiliki akses yang sama terhadap pembangunan.
Dengan demikian untuk memerangi kemiskinan dan kelaparan ekstrem kiranya tidak hanya data proporsi penduduk miskin saja yang diperlukan, namun pada implementasi program di masyarakat juga diperlukan data yang lebih responsif gender, yaitu data kemiskinan rumahtangga yang kepala rumahtangganya laki-laki dan perempuan. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa poverty has women faces yaitu kemiskinan berwajah perempuan, ketika perempuan miskin kecenderungannya keluarga di sekelilingnya yang menjadi tanggung jawabnya akan ikut miskin, dalam arti kepala rumah tangga perempuan miskin akan membawa anggota rumah tangganya ke dalam lingkaran kemiskinan.
Yang tidak kalah penting dari SP2010 adalah adanya kerangka sampel (sampling frame) berbasis rumah tangga. SP2010 dapat menyajikan data rumah tangga dengan kepala rumah tangga perempuan. Data ini dapat dijadikan sebagai kerangka sampel bagi studi lanjutan (bahkan mungkin diintegrasikan dalam pelaksanaan survei kemiskinan/susenas) untuk mengukur seberapa besar kemiskinan perempuan sehingga target mempercepat pemberantasan kemiskinan menjadi setengahnya pada tahun 2015 dapat diupayakan lebih tepat melalui pemberdayaan perempuan miskin dan keluarganya agar keluar dari lingkaran kemiskinan. Melalui basis data rumah tangga dengan kepala rumah tangga perempuan ini berbagai program dapat digulirkan dengan target yang ingin dicapai terdiri dari berbagai bidang. Data perempuan (kepala rumah tangga) miskin dapat diperoleh dengan melakukan pengolahan lanjutan dari data kepala rumah tangga menurut jenis kelamin yang dikombinasikan dengan tingkat pendidikan, pekerjaan, dan kondisi perumahan (di antaranya masuk ke dalam 14 variabel kemiskinan).
Memfokuskan program dengan sasaran rumah tangga miskin dengan kepala rumah tangga perempuan, kiranya percepatan beberapa target MDGs dapat dilakukan. Diantaranya adalah target (1) memerangi kemiskinan dan kelaparan ekstrem, (2) pendidikan bagi semua, (3) memajukan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) menurunkan angka kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu, dan (6) menjamin kelestarian lingkungan (perempuan adalah yang paling beresiko dengan kondisi lingkungan yang rusak). Sebagaimana apa yang sudah dilakukan oleh Muhammad Yunus, pemenang nobel perdamaian pada tahun 2006. Mendirikan bank bagi kaum miskin yaitu Gramen Bank, Yunus membuktikan bahwa perempuan miskin memiliki kapasitas untuk mengembangkan kapasitas diri dan keluarganya untuk memerangi kemiskinan. Lebih dari 90% nasabah Gramen Bank adalah perempuan, dan tingkat pengembalian pinjaman mereka lebih dari 95% (Yunus, 2007).
Kiranya apa yang sudah dilakukan Yunus dengan Gramen Bank nya dapat dicontoh untuk dilakukan di Indonesia, tentu saja dengan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program berbasiskan data, tidak sekedar bagi-bagi uang. Sebagai basis data dan kerangka sampel rumah tangga yang dimiliki, SP2010 dapat dijadikan bahan acuan penetapan kebijakan, program, dan kegiatan untuk mencapai target MDGs sampai pada level wilayah terkecil. Program dapat dirancang berdasarkan permasalahan yang ada di wilayah, bukan berdasarkan data dan permasalahan pusat (nasional), karena setiap wilayah memiliki karakteristik yang berbeda sehingga pembangunan akan lebih berkelanjutan (sustainable). Salah satu kunci sukses pembangunan berkelanjutan adalah adanya partisipasi aktif masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi dalam proses pembangunan. Sebagai masyarakat Indonesia, marilah bersama-sama mengejar target MDGs karena pencapaian target MDGs adalah tanggung jawab kita bersama. Marilah kita nantikan hasil Sensus Penduduk 2010 untuk mengejar target MDGs. SP2010 menjawab tantangan MDGs, semoga!!!



DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan (Bappenas). 2007. Kita Suarakan MDGs demi Pencapaiannya di Indonesia. Diunduh dari http://bappenas.go.id pada tanggal 25 Desember 2007 pukul 17.17 WIB.

_______________. 2010. Laporan Pencapaian Pembangunan Milenium Indonesia 2010. Jakarta : Bappenas

Badan Pusat Statistik (BPS). 2005. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005. Jakarta : BPS

_________________. 20101. Berita Resmi Statistik Juli 2010. Diunduh dari http://www.bps.go.id/brs_file/kemiskinan-01jul10.pdf tanggal 26 September 2010 pukul 17.45 WIB

_________________. 20102. Tabel Indikator Pendidikan 1994 – 2009. Diunduh dari http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=28&notab=1 tanggal 26 September 2010 pukul 17.55 WIB

Effendi, Sofyan. 2004. “Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) dalam Perspektif Gender” dalam Saparinah Sadli (2010) Berbeda Tetapi Setara. Jakarta : Kompas

Hanifah, Laily. 2001. Keadilan dan Kesetaraan jender (Perspektif Islam). Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI

Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan terjemahan dari Half The World Half The Chance penerjemah Hartian Silawati. Yogyakarta : Rifka Anisa.

Susilo, Wahyu. 2010. “Sasaran Pembangunan Minimun” dalam Harian Umum Kompas Edisi Senin, 27 September 2010.

Wikipedia. http://id.wikipedia.org/wiki/MDGs

Yunus, Muhamad. 2007. Bank Kaum Miskin Kisah Yunus dan Gramen Bank Memerangi Kemiskinan. Jakarta : Marjin Kiri



tulisan dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah Hari Statistik BPS Jawa Barat, 2010




Siapa yang Miskin



Oleh : Isti Larasati Widiastuty


Wacana MUI mengeluarkan fatwa haram bagi orang kaya yang menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi beberapa hari belakangan ini telah menjadi polemik di masyarakat. Pro dan kontra langsung bermunculan di berbagai media ketika Ketua MUI Amidhan mengatakan “Kalau itu sudah ditetapkan sebagai hak bagi orang yang tidak mampu oleh pemerintah, itu berarti merampas hak orang lain yakni orang miskin artinya masuk kategori dosa kalau sampai ada yang menggunakan tapi tidak punya hak," penyataan terkait dengan penggunaan BBM bersubsidi.
Rasanya sudah menjadi hal biasa ketika ada kebijakan terkait dengan “orang miskin” polemik selalu terjadi. Apakah tentang kebijakannya, maupun tentang sasarannya, yaitu “orang miskin” itu sendiri. Ketika pemerintah mengumumkan jumlah orang (penduduk) miskin, apalagi ketika ada program untuk pemberdayaan penduduk miskin (pengentasan kemiskinan), seringkali menjadi bahan perdebatan berbagai pihak. Dengan alasan “data tidak sesuai realita di lapangan” ataupun “semua orang merasa mempunyai hak untuk mengakses program tersebut”.
Mendefinisikan “miskin” atau mengukur kemiskinan memang tidak mudah, karena kemiskinan bersifat multidimensi, banyak ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur kemiskinan. Masalah pengentasan kemiskinan pun tidak mudah, karena kemiskinan berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Namun demikian, untuk melakukan pengentasan kemiskinan atau pemberdayaan penduduk miskin kita tetap memerlukan suatu ukuran akan “kemiskinan”. Karena tanpa suatu ukuran yang jelas secara konsep, akan sulit mengukur berapa jumlah penduduk miskin kita, siapa saja sasaran dari program pengentasan kemiskinan yang akan dijalankan.

Ukuran Kemiskinan
Menurut jenisnya kemiskinan dapat dibedakan menjadi : Pertama, kemiskinan relatif yaitu kondisi kemiskinan yang diakibatkan oleh pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar miskin disusun berdasarkan kondisi hidup suatu wilayah pada suatu waktu dengan fokus pada golongan penduduk miskin, yaitu 20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari total penduduk yang diurutkan berdasarkan pendapatan atau pengeluaran. Bank Dunia menggolongkan penduduk menjadi tiga kelompok berdasarkan besaran pendapatan, yaitu 40 persen penduduk dengan pendapatan rendah, 40 persen penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20 persen penduduk dengan pendapatan tinggi. Kedua kemiskinan absolut, yaitu kemiskinan yang ditentukan oleh ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar minimum seperti pangan, perumahan, sandang, pendidikan, dna kesehatan yang digunakan untuk hidup dan bekerja. Kebutuhan dasar minimum ini dinilai dalam bentuk finansial (uang) dan nilainya dikenal dengan istilah Garis Kemiskinan (GK). Penduduk yang memiliki pendapatan atau pengeluaran di bawah garis kemiskinan (GK) dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Adapun konsep kemiskinan menurut Bappenas (2004), kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Menurut PBB (1961) hak-hak dasar terdiri atas : kesehatan, bahan makanan dan gizi, pendidikan, kesempatan kerja dan kondisi pekerjaan, perumahan, sandang, rekreasi, jaminan sosial, dan kebebasan manusia. Adapun Hendra Esmara (1986) menyatakan bahwa komponen hak-hak dasar untuk Indonesia terdiri atas : pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan.
Untuk melakukan pengukuran kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan konsep “strategi pemenuhan kebutuhan dasar”. Konsep ini dipromosikan dan dipopulerkan oleh International Labour Organization (ILO) sejak tahun 1976. BPS sendiri melakukan penghitungan angka kemiskinan sejak tahun 1984. Konsep kemiskinan yang digunakan BPS, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan (pangan) dan bukan makanan (diukur dari sisi pengeluaran).
Pengukuran kemiskinan tersebut dibedakan atas daerah perkotaan dan perdesaan berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dengan sampel 68.000 rumah tangga. Dalam “Analisis Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Distribusi Pendapatan,” BPS (2009) dinyatakan bahwa indikator kebutuhan dasar untuk masing-masing komponen adalah : Pertama, pangan dinyatakan dengan kebutuhan gizi minimum yaitu perkiraan kalori dan protein. Kedua, sandang dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan pakaian, alas kaki, dan tutup kepala. Ketiga, perumahan dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk sewa rumah, listrik, minyak tanah, kayu bakar, arang, dan air. Keempat, Pendidikan dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk keperluan biaya sekolah (uang sekolah, iuran sekolah, alat tulis, dan buku). Kelima, kesehatan dinyatakan dengan indikator pengeluaran rata-rata untuk penyediaan obat-obatan di rumah, ongkos dokter, perawatan, termasuk obat-obatan.
Berdasarkan hasil SUSENAS (yang dilakukan di bulan Maret) dapat diperoleh nilai Garis Kemiskinan (GK) yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah jumlah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori per kapita per hari. Untuk menghitung GKM, paket kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 (lima puluh dua) jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, daging, ikan, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, makanan dan minuman jadi, dan lain-lain). Adapun GKNM merupakan kebutuhan dasar minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 (lima puluh satu) jenis komoditi (kelompok pengeluaran) di perkotaan dan 47 (empat puluh tujuh) jenis komoditi (kelompok pengeluaran) di perdesaan.
Angka Garis Kemiskinan setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan, berbeda dengan perkembangan jumlah penduduk miskin dari tahun 2007 cenderung terus mengalami penurunan, baik dari sisi jumlah maupun persentase. Pada tahun 2007 dengan garis kemiskinan Rp 187.942 di daerah perkotaan dan Rp 146.837 di daerah perdesaan (atau rata-rata perkotaan dan perdesaan Rp 166.697) jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37, 17 juta jiwa atau sekitar 16,68 persen dari total penduduk. Kemudian pada tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 31,02 juta jiwa atau sekitar 13,33 persen dari total penduduk dengan garis kemiskinan yang meningkat menjadi Rp 211.726 (Rp 232.988 di perkotaan dan Rp 192.354 di perdesaan).
Angka kemiskinan ini (jumlah penduduk, persentase, dan garis kemiskinan) menunjukkan angka kemiskinan secara makro, belum bisa menunjukkan siapa saja penduduk miskin tersebut, dan dimana mereka tinggal. Namun angka kemiskinan makro ini bermanfaat dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan. Berdasarkan angka kemiskinan makro dapat ditentukan besaran target kuantitatif dalam program pengentasan kemiskinan.
Untuk melaksanakan program pengentasan kemiskinan, memang diperlukan angka kemiskinan yang bersifat mikro, yaitu menunjukkan siapa saja penduduk yang miskin dan dimana alamatnya. Angka kemiskinan mikro diperlukan agar program pengentasan kemiskinan dapat tepat sasaran. Keberhasilan program dapat tercapai sesuai dengan target, jika program yang dilaksanakan tepat sasaran. Untuk mencapai target ini maka data kemiskinan mikro harus tepat dan akurat. Siapa saja penduduk miskin, dimana alamatnya, harus mencerminkan bahwa mereka adalah “penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan”. Penduduk miskin adalah mereka yang “memiliki keterbatasan atau tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya”. Jika konsep ini kita pahami bersama, ke depannya mudah-mudahan tidak akan ada lagi perdebatan tentang jumlah penduduk miskin (kemiskinan makro) dan siapa penduduk yang dikategorikan miskin (kemiskinan mikro).




Pikiran Rakyat, 15 Juli 2011

Selasa, 12 Juli 2011

PERAN GENDER PEREMPUAN BEKERJA

Oleh : Isti Larasati Widiastuty


Seiring dengan perubahan yang terjadi pada berbagai ruang kehidupan, peran serta perempuan dalam dunia publik menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu. Kondisi ini sebagai dampak dari semakin terbukanya kesempatan bekerja bagi kaum perempuan. Hal ini diawali ketika industrialisasi mulai masuk dalam kehidupan masyarakat. Momsen (2007:198) mengungkapkan bahwa seiring dengan perkembangan industrialisasi terutama di perkotaan, maka kegiatan industri telah mendorong perempuan untuk terlibat sebagai tenaga kerja dalam industri.
Keterlibatan perempuan dalam bekerja terdiri dari berbagai status, bekerja berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tetap, berusaha dibantu buruh tidak tetap, buruh/karyawan, pekerja bebas, dan pekerja tidak dibayar/pekerja keluarga. Menurut konsep dari ILO (International Labour Organization) yang diadopsi oleh BPS (Badan Pusat Statistik) bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu. Bekerja selama satu jam tersebut harus dilakukan berturut-turut dan tidak boleh terputus. Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2007 jumlah perempuan berumur 15 tahun ke atas yang bekerja di Kota Bandung mencapai 308.668 jiwa atau sekitar 79,43% dari total angkatan kerja perempuan (penduduk perempuan 15 tahun ke atas yang bekerja dan tidak bekerja), atau sekitar 32,63% dari total penduduk perempuan berumur 15 tahun ke atas. Partisipasi perempuan dalam dunia kerja pada tahun 2008 mengalami peningkatan. Masih dari sumber data yang sama, pada tahun 2008 (SAKERNAS 2008) jumlah perempuan berumur 15 tahun ke atas yang bekerja di Kota Bandung meningkat menjadi 347.442 jiwa atau sekitar 83,60% dari total angkatan kerja perempuan.
Jika ditelaah lebih lanjut berdasarkan sektor ekonomi tempat perempuan bekerja, sebagian besar perempuan bekerja di Kota Bandung bekerja pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Pada tahun 2008 sebanyak 37,39% perempuan bekerja di Kota Bandung bekerja di sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Kondisi ini sejalan dengan struktur ekonomi Kota Bandung yang didominasi oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran, yang mencapai 40,06% terhadap pennciptaan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kota Bandung. Perempuan yang bekerja di sektor industri pengolahan sekitar 25,94% (kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB Kota Bandung mencapai 25,73%). Adapun perempuan yang bekerja di sektor pertanian di Kota Bandung hanya mencapai 1,52%, seiring dengan peranan sektor pertanian dalam penciptaan PDRB yang hanya mencapai 0,25% pada tahun 2008. Rendahnya partisipasi perempuan di Kota Bandung untuk terlibat dalam kerja di sektor pertanian dikarenakan kesempatan kerja yang ditawarkan oleh sektor ini sangat rendah, akibat keterbatasan lahan pertanian yang ada di Kota Bandung. Kondisi ini berbeda dengan hasil penelitian Pudjiwati Sayogjo (1985, 1993) dalam Mulyanto (2008: 28) yang menyimpulkan bahwa ketika permesinan sudah memasuki bidang pertanian yang mengakibatkan tenaga-tenaga kerja perempuan tersingkir dari atau kian sempit kesempatannya untuk memasuki sektor pertanian, maka jumlah perempuan yang memasuki saluran penghidupan di luar sektor pertanian akan besar. Keterbatasan lahan pertanian mengakibatkan perempuan bekerja di Kota Bandung memasuki saluran penghidupan di luar sektor pertanian.
Hasil SAKERNAS 2008 juga menunjukkan bahwa sebanyak 59,54% perempuan bekerja dengan status sebagai buruh/karyawan. Tingginya persentase perempuan bekerja dengan status buruh/karyawan dimungkinkan sebagai dampak dari terbukanya kesempatan kerja sebagai buruh/karyawan bagi perempuan di Kota Bandung seiring dengan pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh perempuan bekerja tersebut. Pada tahun 2008 sekitar 29,45% perempuan bekerja berpendidikan SMA, SMP sebanyak 25,24%, dan 21,28% berpendidikan di atas diploma. Kondisi ini menunjukkan bahwa untuk daerah perkotaan seperti Kota Bandung, kesempatan kerja untuk menjadi buruh/karyawan yang tersedia cenderung sejalan dengan tingkat pendidikan dari angkatan kerja itu sendiri, semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk menjadi buruh/karyawan di berbagai sektor ekonomi cenderung semakin besar.
Perempuan bekerja yang berstatus sebagai pengusaha, yaitu berusaha sendiri, berusaha dengan dibantu buruh tetap, dan berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap, pada tahun 2008 sebanyak 28,57%. Hasil penelitian ASPUK dan AKATIGA di Jawa Tengah pada tahun 2003 menemukan bahwa perempuan yang bergerak di usaha mikro menyimpan sejumlah persoalan, yaitu dari yang bersifat teknis usaha sampai kepada yang bersifat struktural. Pada tingkat persoalan struktural misalnya adalah hal yang berhubungan dengan kebijakan formal pemerintah, lembaga kredit seperti perbankan, serta lembaga yang berwenang memberikan kelayakan produk, sampai pada hambatan struktural yang sifatnya dekat dengan “tubuh perempuan”. Dalam hal ini, yang sering terjadi adalah eksploitasi terhadap perempuan, yang disebabkan oleh ketidaksetaraan relasi dalam rantai produksi dan perdagangan. Yang tak kalah pentingnya dari penelitian ini adalah adanya kesulitan perempuan dalam pengembangan usaha akibat ketimpangan relasi antara perempuan dengan keluarga dan suami di ranah domestik (Firdaus dan Dewayanti, 2008).
Eviota (1992) dalam The Political Economy of Gender, Women and the Sexual Division of Labour in the Philippines diacu dalam Indraswari (2004) membagi peran (kerja) dalam dua tipe: “that which is productive, or work for exchange, and that which is reproductive, or work for use and the satisfaction of immediate needs” (yaitu produktif, atau kerja untuk pertukaran, dan yang reproduktif, atau kerja untuk digunakan dan kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan mendesak). Menurut Eviota, peran produktif dan reproduktif keduanya berperan penting dalam proses bertahan (survival) dan pembaruan (renewal) manusia. Peran produktif merupakan peran yang menghasilkan sesuatu untuk kelangsungan hidup anggotanya, seperti sandang, pangan, dan papan. Peran reproduktif adalah peran (kerja) "memproduksi manusia". Edholm et al (1977), diacu dalam Saptari dan Holzner (1997:16) membedakan peran reproduktif menjadi reproduktif biologis (yaitu hamil, melahirkan, menyusui), reproduktif tenaga kerja (yang berarti sosialisasi dan pengasuhan anak- mempersiapkan mereka menjadi cadangan tenaga kerja berikutnya), dan reproduktif sosial (proses dimana hubungan produksi dan struktur sosial terus direproduksi dan dilestarikan). Hakikat peran dan kerja perempuan biasanya dikaitkan terutama dengan peran reproduktif biologis dan reproduktif tenaga kerja, namun perempuan juga memegang peran dalam peran reproduktif sosial seperti peran dalam melestarikan status keluarga atau dalam kegiatan komunitas.
Penelitian tim AKATIGA di Klaten dan Banyumas (Dewayanti, 2003:79-84) menyimpulkan bahwa perempuan pengusaha disamping melaksanakan peran produktifnya juga tetap melaksanakan peran-peran reproduktifnya. Hal ini berimplikasi pada rendahnya akses perempuan terhadap sumberdaya seperti bahan baku, modal, keterampilan bahkan jangkauan usaha. Perempuan pengusaha lebih banyak berhubungan dengan aktor penyedia bahan baku yang masih berada dalam satu desa, sementara hubungan dengan pihak luar desa adalah bagian laki-laki. Moser (1991) seperti dikutip oleh Dewayanti (2003:81) menyatakan bahwa di dalam komunitas pun, keterlibatan perempuan di dalam mengatur usahanya berada di tingkat lokal. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian penulis pada komunitas perempuan pengusaha di Sentra Rajutan Binongjati Kota Bandung (2008) perempuan pengusaha pada sentra rajutan Binongjati tidak memiliki hambatan dalam melakukan peran-peran produktifnya di luar wilayah sentra. Tidak ada batasan bahwa peran ke luar wilayah domestik harus dilakukan oleh laki-laki. Mereka melakukan perannya di wilayah domestik maupun publik.
Sebetulnya, baik berstatus sebagai buruh/karyawan maupun sebagai pengusaha, perempuan bekerja melakukan peran gendernya, baik reproduktif maupun produktif. Hal ini bukan semata-mata sebagai domestikasi perempuan melainkan sebagai strategi berhahan hidup bagi keberlangsungan kehidupan keluarganya. Perempuan bekerja melihat adanya peluang untuk meningkatkan taraf hidup keluarganya melalui kegiatan bekerja ini dan mereka memiliki kontrol terhadapnya. Beban ganda yang terjadi pada perempuan bekerja dapat diminimalisasi dengan mensubstitusikan sebagian perannya terhadap orang lain. Kadangkala beban ganda ini mewujudkan suatu ketidakadilan gender ketika beban kerja perempuan bekerja menjadi sangat panjang. Berdasarkan hasil penelitian penulis (2008), perempuan pengusaha di sentra rajutan Binongjati Kota Bandung memulai kerja (reproduktif dan produktif) rata-rata sejak pukul 5 hingga pukul 23. Sebagai perempuan bekerja yang juga melakukan peran reproduktif, maka kondisi ini menunjukkan panjangnya beban kerja perempuan bekerja.
Mungkin yang perlu kita sadari bersama adalah bahwa peran gender merupakan peran yang dapat dipertukarkan (disubstitusikan). Peran reproduktif tidak semata-mata hanya milik atau dunia perempuan. Sebagai peran yang dapat dipertukarkan, peran reproduktif juga milik atau dunia laki-laki. Bagi perempuan bekerja, yang juga melakukan peran produktif disamping peran reproduktif, mensubstitusikan sebagian peran reproduktif kepada orang lain (pasangan, anggota rumahtangga lain, pembantu rumahtangga, dll) merupakan alternatif dalam meminimalisasi ketidakadilan gender dalam bentuk beban kerja yang panjang. Tentu saja, semua ini dapat terealisasi ketika sudah ada pemahaman dan kesadaran akan hal ini mulai dari ranah rumahtangga. ***

BERSIAP SWASEMBADA

Oleh : Isti Larasati Widiastuty


Target pemerintah untuk melakukan swasembada daging sapi dan kerbau pada tahun 2014 diwarnai dengan adanya ancaman penghentian ekspor sapi bakalan oleh Australia ke Indonesia. Menurut Menteri Pertanian, sampai dengan tahun 2010 sekitar 30 persen atau sekitar 430 ribu ton kebutuhan daging sapi nasional dipenuhi melalui impor. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan peningkatan tingkat pendapatan masyarakat maka kebutuhan daging sapi di masa mendatang juga diperkirakan akan mengalami peningkatan. Penelitian terdahulu seperti Hadi et all (2000) menyatakan bahwa meningkatnya jumlah penduduk dan perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging sapi secara nasional mengalami peningkatan.
Jika kita perhatikan grafik 1 di bawah ini terlihat bahwa jumlah penduduk Indonesia dari tahun 2006 sampai tahun 2010 senantiasa menunjukkan tren meningkat. Pada tahun 2006 penduduk Indonesia sebanyak 222,747 juta jiwa dan meningkat sekitar 6,68 persen pada tahun 2010 menjadi 237,641 juta jiwa. Peningkatan jumlah penduduk ini ternyata diiringi dengan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat (di dekati oleh pendapatan nasional per kapita atas dasar harga berlaku). Jika pada tahun 2006 pendapatan nasional per kapita mencapai Rp 14,3 juta maka pada tahun 2010 meningkat menjadi Rp 26,3 juta.

Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Modul Konsumsi, konsumsi rata-rata komoditi daging sapi dan kerbau pada tahun 2009 adalah 0,06 kg per kapita per minggu, dan meningkat menjadi 0,07 kg per kapita per minggu. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan adanya peningkatan pendapatan masyarakat maka tingkat konsumsi daging sapi dan kerbau secara nasional pun mengalami peningkatan.
Kebutuhan konsumsi daging masyarakat dipenuhi oleh produksi dari dalam negeri dan impor. Belum siapnya Indonesia untuk memproduksi daging sapi sesuai kebutuhan konsumsi, mengharuskan untuk melakukan impor dari luar negeri. Pembatasan impor sapi yang dilakukan pihak Australia misalnya, cukup memberikan pengaruh terhadap ketersediaan produksi daging sapi dan kerbau untuk pemenuhan konsumsi di masa mendatang. Apalagi Indonesia sedang bersiap menghadapi Swasembada Daging Sapi dan Kerbau pada tahun 2014. Berbagai kondisi ini kiranya dapat dijadikan momen penting untuk segera merealisasikan upaya swasembada daging sapi di Indonesia.
Satu hal yang menjadi sangat penting ketika Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) Tahun 2014 dicanangkan, yaitu ketersediaan data yang akurat tentang berapa sebenarnya jumlah populasi ternak sapi dan kerbau di Indonesia saat ini (P0). Data yang akurat tentang P0 sapi (sapi potong, sapi perah) dan kerbau merupakan kebutuhan mendesak untuk mencapai PSDSK 2014. Data jumlah sapi potong, sapi perah, dan kerbau yang ada selama ini banyak diragukan berbagai pihak, karena penghitungan populasi yang didasarkan pada registrasi (pelaporan) di tingkat kabupaten/kota (yang kemudian secara berjenjang diteruskan ke Provinsi dan Nasional) lebih banyak bersifat estimasi.

Sensus Sapi dan Kerbau
Untuk memenuhi kebutuhan data yang akurat tentang P0 jumlah sapi potong, sapi perah, dan kerbau, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011. Pendataan dilakukan dengan cara sensus dan berskala nasional, oleh karena itu diselenggarakan bersama BPS sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang RI No.16 Tahun 1997 tentang Statistik pasal 12 ayat (3), yang menyebutkan bahwa statistik sektoral harus diselenggarakan bersama dengan Badan, apabila statistik tersebut hanya dapat diperoleh dengan cara sensus dan dengan jangkauan populasi berskala nasional. Dengan diperolehnya data P0 tersebut diharapkan mempermudah penentuan arah kebijakan PSDSK sampai dengan tahun 2014.
Tujuan umum PSPK 2011 yaitu menyediakan data untuk mengukur kinerja pencapaian PSDSK Tahun 2010-2014. Adapun tujuan khusus PSPK 2011 yaitu: (1) Memperoleh data dasar populasi ternak berskala nasional, (2) Memperoleh struktur populasi menurut umur, jenis kelamin, dan rumpun ternak, (3) Mengetahui produksi daging dalam negeri yang dihitung berdasarkan ketersediaan stok selama kurun waktu tahun 2010-2014 dalam rangka pencapaian program PSDSK Tahun 2014, (4) Memperoleh raw data (by name, by address) unit usaha yang memelihara/ memperdagangkan sapi potong, sapi perah, dan kerbau yang lengkap, akurat dan mutakhir sebagai database untuk keperluan pendataan pada tahun-tahun berikutnya.
PSPK 2011 dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia, yaitu di 33 Provinsi, 497 Kabupaten/Kota, 6.699 Kecamatan dan 77.548 Desa/Kelurahan mulai tanggal 1 sampai dengan 30 Juni 2011. Sedangkan sasaran dari sensus ini adalah : (1) Rumah tangga pemelihara sapi potong, sapi perah, dan kerbau dengan tujuan untuk pengembangbiakan, penggemukan, pembibitan dan/atau perdagangan, (2) Perusahaan berbadan hukum yang bergerak di bidang usaha sapi potong, sapi perah, dan kerbau dengan tujuan untuk pengembangbiakan, penggemukan, pembibitan dan/atau perdagangan, (3) Unit usaha lainnya (RPH, Asrama, Pesantren, UPT dll) yang bergerak di bidang usaha sapi potong, sapi perah, dan kerbau dengan tujuan untuk pengembangbiakan, penggemukan, pembibitan dan/atau perdagangan.
Melalui PSPK 2011 dapat (1) diperoleh data dasar populasi (P0) ternak berskala nasional, (2) diperoleh data struktur populasi sapi potong, menurut umur, jenis kelamin, dan rumpun ternak, (3) diketahui produksi daging dalam negeri yang dihitung berdasarkan ketersediaan stok selama kurun waktu tahun 2010-2014 dalam rangka pencapaian program PSDSK Tahun 2014, (4) diperoleh raw data (by name, by address) unit usaha yang memelihara/ memperdagangkan sapi potong, sapi perah, dan kerbau yang lengkap, akurat dan mutakhir sebagai database untuk keperluan pendataan pada tahun-tahun berikutnya.
Banyak keluaran yang diperoleh dari kegiatan PSPK 2011 atau sensus sapi dan kerbau 2011. Oleh karena itu untuk mencapai target capaian tersebut maka kegiatan ini perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak, baik dari dinas/instansi terkait, aparat di wilayah, tokoh masyarakat, serta tak kalah penting adalah dukungan dari peternak, pemelihara, pedagang sapi dan kerbau dalam memberikan data informasi yang sebenarnya terkait dengan usaha ternaknya. Karena tanpa informasi yang lengkap dan akurat dari pihak peternak, pemelihara, atau pedagang sapi dan kerbau sendiri, tujuan mendasar dari PSPK 2011 mendapatkan data dasar (P0) jumlah sapi potong, sapi perah, dan kerbau tahun 2011 tidak akan tercapai.
Dalam pelaksanaan program pembangunan diantaranya Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau 2014, ketersediaan data yang akurat mutlak diperlukan. Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011 sebagai langkah awal dalam menghasilkan data akurat berapa sebenarnya jumlah populasi ternak dan dimana saja sebarannya di wilayah Indonesia. PSPK 2011 mendukung upaya pencapaian swasembada daging sapi dan kerbau, yang pada akhirnya mendukung upaya peningkatan kesejahteraan peternak. Oleh karena itu marilah kita bersama-sama mendukung kegiatan PSPK 2011 dengan memberikan data yang akurat. Untuk menghasilkan data akurat, tidak hanya penduduk yang disensus, sapi dan kerbau pun perlu disensus.




****

Perempuan dan MDGs

Oleh : Isti Larasati Widiastuty


Sudah semakin dekat batas waktu yang ditentukan sebagai target dalam pencapaian tujuan pembangunan milenium atau yang biasa dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs). Tahun 2015 tinggal empat tahun lagi menjelang. Empat tahun lagi, idealnya ke delapan target pencapaian MDGs sudah dapat kita capai. Pada laporan tahunan MDGs di Indonesia bulan September 2010 lalu (pada KTT PBB tanggal 20 – 22 September 2010), disampaikan bahwa capaian MDGs di Indonesia sudah on-track (berada pada jalur menuju pencapaian MDGs).

Target MDGs
Target pertama memerangi kemiskinan dan kelaparan ekstrem, pada tahun 2015 harus mampu menurunkan proporsi jumlah penduduk miskin menjadi setengahnya antara tahun 1990 - 2015. Jumlah penduduk miskin pada tahun 1990 mencapai 15,10% dari total penduduk Indonesia, maka target yang harus dicapai pada tahun 2015 adalah mengurangi proporsi jumlah penduduk miskin menjadi 7,55%. Pada bulan Maret 2010, proporsi penduduk miskin Indonesia mencapai 13,33%, dalam arti perlu upaya keras untuk menurunkan proporsi penduduk miskin sekitar 5,78% lagi.
Target kedua adalah mencapai pendidikan dasar bagi semua, yaitu memastikan pada tahun 2015 semua anak laki-laki dan perempuan telah menyelesaikan pendidikan dasarnya. Baik anak laki-laki maupun anak perempuan memiliki akses yang sama untuk mengenyam pendidikan, ditargetkan tahun 2015 pendidikan dasar dan tahun berikutnya untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Target ini kemungkinan besar dapat tercapai pada tahun 2015, dimana indikator yang dicapai menunjukkan ke arah target, yaitu Angka Partisipasi Murni (APM) SD pada tahun 2009 lalu mencapai 95,23% dan Angka Melek Huruf (AMH) mencapai 99,47% ( AMH laki-laki mencapai 99,55% dan AMH perempuan mencapai 99,40%)
Target ketiga adalah memajukan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan dengan cara menghapus kesenjangan gender dalam pendidikan dasar dan menengah, jika mungkin telah terjadi setelah tahun 2005 dan pada tahun 2015 telah terjadi pada semua tingkatan pendidikan. Indikator persentase anak perempuan di jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMU ditargetkan mencapai 100 persen pada tahun 2015. Jika dilihat dari indikator adanya persamaan hak antara anak laki-laki dan perempuan dalam pendidikan dasar, menengah, dan tinggi (ditunjukkan dengan proporsi perempuan terhadap laki-laki di SD, SMP, SMU, dan Perguruan Tinggi) maka target ini tercapai pada tahun 2015, bahkan untuk pendidikan SMP dan perguruan tinggi sudah tercapai di tahun 2010. Kondisi ini menunjukkan tidak adanya perbedaan perlakuan bagi seseorang untuk mengenyam jenjang pendidikan, kondisi partiarkhi yang menyatakan bahwa laki-laki memiliki hak yang lebih (dominan) dari perempuan tidak terlihat dari indikator ini. Namun untuk kedua indikator yang lain, yaitu proporsi perempuan yang menduduki kursi di DPR dan kontribusi tenaga kerja perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non pertanian masih relatif rendah persentasenya walaupun menunjukkan adanya peningkatan dari tahun 1990.
Target keempat adalah menurunkan angka kematian anak (1 – 5 tahun) sebesar 2/3 antara tahun 1990 - 2015. Jika pada tahun 1991 angka kematian anak sebanyak 68 anak dari 1000 kelahiran hidup maka pada tahun 2015 ditargetkan hanya 23 kematian anak dari 1000 kelahiran hidup.
Target kelima adalah meningkatkan kesehatan ibu dengan cara menurunkan rasio angka kematian ibu sebesar 3/4 antara tahun 1990 – 2015. Jika angka kematian ibu pada tahun 1990 adalah 390 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup maka pada tahun 2015 ditargetkan hanya sebanyak 102 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.
Target keenam adalah memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya dengan cara menghentikan penyebarannya pada tahun 2015. Prevalensi penderita penyakit HIV/AIDS dari tahun 1990 menunjukkan adanya peningkatan, perlu kerja keras untuk mengatasi masalah ini.
Target ketujuh adalah memastikan kelestarian lingkungan dengan memadukan prinsip-prinsip pembangunan lingkungan yang berkelanjutan ke dalam kebijakan dan program pemerintah. Target ini juga memastikan bahwa pada tahun 2015 telah tercapai penurunan separuh dari penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air bersih dan sanitasi yang aman, serta pada tahun 2020 telah terjadi perbaikan signifikan bagi setidaknya 100 juta penghuni kawasan kumuh.
Target MDGs kedelapan yaitu mengembangkan kemitraan global untuk keperluan pembangunan terkait dengan kerjasama internasional, yaitu menelaah isu-isu seperti perdagangan, bantuan dan utang internasional. Sebagian besar target ini ditujukan bagi Negara maju untuk membantu Negara miskin dalam mencapai target MDGs lainnya.

MDGs Berwajah Perempuan
Satu hal yang dapat dicermati dari target-target MDGs adalah bahwa MDGs berwajah perempuan (MDGs has women faces). MDGs boleh disebutkan berwajah perempuan karena setiap bidang terkait erat dengan kehidupan perempuan. Perempuan sangat erat dengan kemiskinan, beberapa penelitian terdahulu menyatakan bahwa kemiskinan berwajah perempuan (poverty has women faces). Perempuan juga erat kaitannya dengan pendidikan rendah, buta huruf, status kesehatan rendah, kurang gizi, mengidap penyakit menular yang sering dialami tanpa kesalahannya sendiri, diskriminasi, marjinalisasi, dan biasanya perempuan menanggung beban dari turunnya fungsi lingkungan hidup sebagai dampak dari air kotor dan sanitasi yang buruk. Oleh karena itu target MDGs ketiga, keempat, dan kelima secara langsung perempuan menjadi target utama, walaupun target lainnya tidak lepas dari perempuan.
Memfokuskan program dengan sasaran pemberdayaan perempuan dan keluarga, seperti program Revitalisasi Posyandu yang dilakukan di Jawa Barat dan program pemberdayaan perempuan (khususnya perempuan miskin), kiranya percepatan beberapa target MDGs dapat dilakukan, seperti target (1) memerangi kemiskinan dan kelaparan ekstrem, (2) pendidikan bagi semua, (3) memajukan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (4) menurunkan angka kematian anak, (5) meningkatkan kesehatan ibu, dan (6) menjamin kelestarian lingkungan (perempuan adalah yang paling beresiko dengan kondisi lingkungan yang rusak). Upaya percepatan pencapaian target dapat dilakukan, tentu saja dengan dukungan dari berbagai stakeholders, baik pemerintah, dunia usaha, masyarakat, keluarga, dan perempuan itu sendiri.



Peran Perempuan
Eviota (1992) membagi peran (kerja) dalam dua tipe, yaitu produktif (kerja untuk pertukaran) dan reproduktif. Kemudian Edholm et al (1977) membedakan peran reproduktif menjadi reproduktif biologis (yaitu hamil, melahirkan, menyusui), reproduktif tenaga kerja (yang berarti sosialisasi dan pengasuhan anak- mempersiapkan mereka menjadi cadangan tenaga kerja berikutnya), dan reproduktif sosial (proses dimana hubungan produksi dan struktur sosial terus direproduksi dan dilestarikan). Berdasarkan teori ini maka seorang perempuan, dalam hidupnya melakukan dua peran sekaligus, produktif dan reproduktif (biologis, tenaga kerja, dan sosial). Peran-peran ini dilakukan perempuan di dua ranah yang berbeda, ranah domestik dan ranah publik. Perempuan melakukan peran di ranah domestik, seperti melakukan peran reproduktif maupun produktif di dalam rumahnya (keluarganya). Adapun peran yang dilakukan di ranah publik adalah ketika perempuan melakukan perannya di luar lingkungan keluarganya (rumahnya).
Peran-peran yang dilakukan oleh perempuan tersebut mendukung proses keberlangsungan kehidupan keluarga dan masyarakat selanjutnya (pembangunan manusia). Oleh karena itu dirasa perlu adanya optimalisasi peran dari perempuan dalam mendukung pencapaian target MDGs. Peran di ranah domestik, bagaimana perempuan mampu mengatasi kemiskinan di dalam rumah tangganya (keluarga), bagaimana perempuan memberikan pendidikan yang sama kepada anak laki-laki dan perempuannya, bagaimana perempuan mampu memajukan kesetaraan dan pemberdayaan gender di rumahtangganya, bagaimana perempuan mampu menurunkan angka kematian anak-anak yang dilahirkannya, bagaimana perempuan mampu meningkatkan derajat kesehatannya, bagaimana perempuan memerangi penyakit menular di dalam rumahnya, serta bagaimana perempuan dapat memastikan lingkungan rumahnya memiliki sanitasi yang baik dan air bersih yang cukup.
Berbagai peran dapat dilakukan perempuan dalam mendukung percepatan pencapaian target MDGs, namun tentu saja harus dengan dukungan berbagai pihak. Wujud dukungan utama yang menjadi penting adalah bagaimana perempuan memperoleh akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Yulindrasari (2008) menyatakan akses adalah peluang atau kesempatan untuk memperoleh dan menggunakan sesuatu, sedangkan kontrol adalah kuasa untuk menentukan penggunaan, perolehan, dan pemanfaatan sesuatu. Ketika perempuan memiliki akses yang sama terhadap program pengentasan kemiskinan, akses terhadap fasilitas kesehatan, akses fasilitas pendidikan, akses terhadap program perbaikan lingkungan, serta program pembangunan lainnya maka perempuan akan lebih leluasa untuk mengambil keputusan (kontrol) dalam berperan mengatasi kemiskinan keluarganya, meningkatkkan derajat kesehatan dirinya dan anak-anaknya, meningkatkan derajat pendidikan keluarganya, serta meningkatkan derajat kesehatan lingkungan rumahnya.
Program yang melibatkan perempuan untuk aktif berpartisipasi dan terlibat di dalamnya merupakan salah satu upaya mendukung percepatan pencapaian target MDGs. Perempuan, dengan berbagai peran yang dijalankannya sungguh memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mengasatasi kemiskinan, meningkatkan derajat kesehatan, pendidikan, dan lingkungan. Kaum perempuan, marilah sama-sama kita dukung perrcepatan pencapaian target MDGs. Mari kita mulai dengan mencapai target MDGs di keluarga, di rumah tangga kita sendiri. Mari kita geser paradigma poverty has women faces menjadi prosperity has women faces, kemakmuran berwajah perempuan.

Penulis : Fungsional Statistisi pada BPS Kota Bandung

Urgensi Sensus Penduduk 2010

Oleh Isti Larasati Widiastuty

Untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Kiranya hal tersebut sudah tidak asing lagi ketika kita mendengar tujuan akan dilaksanakannya suatu pembangunan. Memang, seperti telah diutarakan dalam beberapa literatur oleh sejumlah penulis, pembangunan pada hakikatnya dilaksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat, suatu kondisi ketika masyarakat berada pada kondisi sejahtera.

Berbagai strategi perencanaan pembangunan dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut, baik strategi yang berorientasi pada percepatan pertumbuhan ekonomi dengan asumsi bahwa pertumbuhan tinggi tersebut akan sampai ke bawah (lapisan masyarakat terbawah) melalui proses trickle down effect, maupun strategi perencanaan pembangunan berwawasan kependudukan seperti yang pernah diutarakan Tjiptoherijanto. Ia mengungkapkan bahwa strategi pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan tanpa melihat potensi penduduk yang ada nyatanya tidaklah berlangsung secara berkesinambungan (sustained). Dengan perencanaan pembangunan berwawasan kependudukan, pertumbuhan bukan lagi menjadi orientasi, namun pemerataan pendapatanlah yang menjadi orientasi pembangunan. Namun demikian, strategi perencanaan pembangunan apa pun, yang paling penting adalah adanya suatu perencanaan dari bawah (bottom up planning), yaitu masyarakat terlibat aktif berpartisipasi dalam setiap tahapan pembangunan, dimulai dari proses perencanaan dan setiap tahapan pembangunan direncanakan berdasarkan data.

Ketersediaan data yang valid dan akurat akan bermanfaat ketika masyarakat maupun stakeholders melaksanakan pembangunan. Data merupakan informasi-informasi yang mendukung dalam perencanaan, proses, dan evaluasi pembangunan. Pada tahap perencanaan, data mampu mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Pada tahap proses, data bermanfaat sebagai input dalam pembangunan. Kemudian pada tahap evaluasi, data mampu berperan sebagai indikator capaian pembangunan yang telah dilaksanakan.

Pengumpulan data

Selama ini, pengumpulan data statistik dilakukan melalui: (1) Sensus, yang dilakukan melalui pencacahan semua unit populasi di seluruh wilayah Republik Indonesia untuk memperoleh karakteristik suatu populasi pada saat tertentu. (2) Survei, yang dilakukan melalui pencacahan sampel untuk memperkirakan karakteristik suatu populasi pada saat tertentu. (3) Kompilasi produk administrasi, yaitu cara pengumpulan, pengolahan, penyajian, dan analisis data yang didasarkan pada catatan administrasi yang ada pada pemerintah dan atau masyarakat.

Kebutuhan akan data akhir-akhir ini menjadi penting dalam setiap tahapan pelaksanaan pembangunan. Kebutuhan data yang komprehensif untuk seluruh cakupan wilayah sampai dengan wilayah terkecil (small area) menjadi sangat penting dalam era desentralisasi, karena ketika perencanaan pembangunan dimulai dari bawah, tentu saja membutuhkan data pada level tersebut. Ketika data hasil sensus tersedia, kebutuhan akan data tersebut tidak terlalu menjadi masalah. Namun, karena sensus tidak dilaksanakan setiap tahun (memerlukan biaya besar), kebutuhan akan data dipenuhi melalui estimasi dari data survei, proyeksi dari data sensus sebelumnya, maupun dari kompilasi catatan administrasi. Dengan keunggulan itu, data sensus memiliki potensi besar untuk dapat dimanfaatkan secara optimal dan meyakinkan untuk menyusun berbagai indikator kinerja sejumlah kegiatan pembangunan suatu wilayah.

Kita sadari bersama, kadang kala data estimasi hasil survei dan data proyeksi tidak bisa disajikan sampai level terendah seperti halnya data hasil sensus. Demikian juga dengan pengumpulan data melalui kompilasi produk administrasi atau yang biasa dikenal dengan registrasi penduduk yang saat ini dirasa cukup lemah tingkat akurasinya. Hal ini disebabkan sistem registrasi berdasarkan pada hasil pelaporan. Pada masyarakat kita pada umumnya, partisipasi masyarakat dalam hal pelaporan data kependudukan masih cukup rendah. Pelaporan kelahiran penduduk jarang dilakukan, karena akte kelahiran dapat diperoleh tanpa harus melaporkannya ke kantor kelurahan selaku pencatat registrasi penduduk. Padahal, jika saja partisipasi masyarakat tinggi dalam hal pelaporan perubahan komponen kependudukan (kelahiran, kematian, migrasi masuk, dan migrasi keluar), data kependudukan dapat tersedia secara valid, akurat, tepat waktu, dan biaya murah.

Sensus penduduk 2010

Sensus penduduk merupakan salah satu rujukan dan pengendali data kependudukan yang digunakan pada negara yang mana hasil registrasi masih lemah. Di Indonesia, kegiatan sensus penduduk dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap sepuluh (10) tahun sekali, yaitu pada tahun berakhiran nol (0). Sebenarnya, kegiatan sensus ini pernah dilaksanakan pada masa sebelum Indonesia merdeka oleh Pemerintah Hindia Belanda yaitu pada 1930. Selanjutnya, setelah Indonesia merdeka telah dilakukan 5 kali sensus penduduk, yaitu pada tahun 1961, 1971, 1980, 1990, dan 2000.

Sensus penduduk 2010 (SP2010) adalah sensus ke-6 yang akan dilaksanakan pada Mei 2010. Acuan yang digunakan dalam pelaksanaan Sensus Penduduk adalah Undang-Undang No. 16 Tahun 1997 tentang Statistik, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Statistik, dan Rekomendasi PBB (United Nations). Sensus penduduk merupakan kegiatan yang sangat penting bagi perencanaan pembangunan karena data yang didapat berupa data kependudukan yang dapat menggambarkan keadaan penduduk Indonesia hingga wilayah administrasi terkecil.

Pendataan sensus penduduk dilakukan secara door to door pada seluruh penduduk Warga Negara Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA) yang tinggal dalam wilayah geografis Indonesia, baik yang bertempat tinggal tetap maupun yang tidak bertempat tinggal tetap. Anggota korps diplomatik negara lain beserta keluarganya, meskipun menetap di wilayah geografis Indonesia, tidak dicakup dalam pencacahan sensus penduduk. Cara pencacahan yang dipakai dalam SP2010 adalah kombinasi antara de jure dan de facto. Bagi mereka yang bertempat tinggal tetap dipakai cara de jure, yaitu dicacah di tempat mereka tinggal secara resmi, sedangkan penduduk yang tidak bertempat tinggal tetap dicacah dengan cara de facto, yaitu dicacah di tempat mereka ditemukan oleh petugas lapangan sensus.

Tujuan dilaksanakannya SP2010 secara umum menghasilkan data dasar kependudukan untuk keperluan perencanaan pembangunan dan sistem perstatistikan nasional. Secara khusus SP2010 bertujuan untuk menghasilkan informasi kependudukan secara lebih rinci dan informasi lainnya untuk keperluan penghitungan berbagai parameter demografis, di antaranya angka kelahiran, angka kematian, angka harapan hidup, menghasilkan indikator, dan statistik MDGs bidang kependudukan dan perumahan, serta menghasilkan data potensi wilayah.

Data SP2010 mempunyai manfaat yang strategis sebagai basis pembangunan statistik administrasi kependudukan dan evaluasi pencapaian sasaran pembangunan global. Oleh karena itu, sensus penduduk merupakan suatu kegiatan besar yang membutuhkan peran serta banyak pihak termasuk seluruh komponen masyarakat. Partisipasi aktif dari masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan ini sangat mendukung keberhasilan kegiatan SP2010. Disebabkan data hasil sensus penduduk merupakan data pijakan bagi program-program pemerintah yang berkelanjutan, maka hal ini merupakan tantangan yang besar bagi kita semua agar mendukung semua tahapan kegiatan SP2010 dan memastikan bahwa data SP2010 merupakan sumber data dasar kependudukan yang kredibel.

Melalui momentum SP2010 pada 1-31 Mei 2010 kita tunjukkan bahwa kita adalah masyarakat yang mendukung pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Kita adalah masyarakat yang sadar bahwa keberhasilan pembangunan diawali oleh perencanaan yang baik. Kita adalah masyarakat yang peduli akan pentingnya data yang valid, akurat, dan kredibel. Kita adalah masyarakat yang siap berpartisipasi dalam setiap tahapan pembangunan. Partisipasi kita dapat diwujudkan dengan menerima kedatangan petugas lapangan sensus dan memberikan jawaban yang sebenar-benarnya. Pastikan Anda dihitung!***

Penulis, Fungsional Statistisi pada BPS Kota Bandung.

Bandung (kembali) diguyur hujan

Bandung kembali diguyur hujan, siang ini dari lantai 5 gedung kantor,...... menikmati hujan yang derasnya luar biasa... kilat, petir, gel...