Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota
Bandung pada tahun 2012 mencapai 8,98 persen, artinya rata-rata kinerja sektor-sektor
ekonomi nasional pada tahun 2012 mengalami peningkatan sebesar 8,98 persen jika dibandingkan kinerja tahun 2011,
dengan laju inflasi mencapai 4,02 persen. Adapun pada tahun 2013 LPE Kota
Bandung mengalami perlambatan menjadi 8,87 persen dengan laju inflasi mencapai
7,97 persen. Ya, laju
pertumbuhan ekonomi dan inflasi adalah sebagian kecil dari indikator statistik
yang biasa digunakan masyarakat untuk memperoleh gambaran makro perekonomian.
Sebetulnya tanpa kita sadari dalam kehidupan
sehari-hari kita sudah terbiasa melakukan statistik, karena statistik merupakan
kumpulan data-data yang
diperoleh dari pencatatan kejadian sejenis dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita mencatat pengeluaran harian
misalnya, kita sudah melakukan statisik. Adapun konsep statistik menurut Undang-Undang Statistik (UU No 16 Tahun 1997), definisi dari statistik adalah
data yang diperoleh dengan cara pengumpulan, pengolahan, penyajian, dan
analisis serta sebagai sistem yang mengatur keterkaitan antar unsur dalam
penyelenggaraan statistik. Dengan demikian,
sebetulnya kegiatan statistik memang sudah sering kita lakukan atau kita
ketahui, kadang tanpa kita sadari.
Sejarah Kegiatan Statistik di Indonesia
Suwandi dalam “Sejarah Hari Statistik” (2004) menjelaskan
bahwa pada masa pemerintahan
Hindia Belanda sekitar bulan Februari 1920 Kantor Statistik untuk
pertama kali didirikan oleh Direktur
Pertanian dan Perdagangan (Directeur van Landbouw
Nijverheid en Handel) yang berkedudukan di Bogor. Kemudian pada bulan Maret
1923 dibentuk suatu komisi yang bernama Komisi untuk Statistik yang
anggotanya merupakan wakil-wakil
dari tiap-tiap departemen. Tugas dari komisi ini adalah merencanakan
kegiatan untuk pencapaian
kesatuan dalam kegiatan bidang statistik di Indonesia. Pada tanggal 24
September 1924 nama lembaga tersebut diganti dengan nama Centraal Kantoor
voor de Statistiek (CKS) atau Kantor
Pusat Statistik, dan lokasinya dipindahkan ke Jakarta. Bersamaan dengan itu
beralih pula pekerjaan mekanisasi
Statistik Perdagangan yang semula dilakukan oleh Kantor Invoer-Uitvoer en Accijsen (IUA) yang sekarang
disebut Kantor Bea
dan Cukai, diserahkan ke CKS.
Pasa masa penjajahan Jepang, Pemerintah Jepang mengaktifkan
kembali kegiatan statistik yang
difokuskan untuk memenuhi kebutuhan perang/militer
(Juni 1942). CKS diganti namanya menjadi
Shomubu Chosasitsu Gunseikanbu. Setelah
Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia tanggal
17 Agustus 1945 kegiatan
statistik tidak lagi ditangani oleh Chosasitsu
Gunseikanbu tetapi oleh lembaga/instansi baru sesuai dengan suasana
kemerdekaan yaitu Kantor
Penyelidikan Perangkaan Umum Republik
Indonesia (KAPPURI). Tahun 1946
kantor KAPPURI dipindahkan ke Yogyakarta
sebagai konsekuensi dari Perjanjian
Linggarjati. Sementara itu Pemerintah Belanda (NICA) di Jakarta
mengaktifkan kembali CKS.
Berdasarkan surat Edaran
Kementerian Kemakmuran tanggal 12 Juni 1950 Nomor 219/S.C, KAPPURI
dan CKS dilebur menjadi Kantor Pusat Statistik
(KPS), yang berada di bawah
dan bertanggung jawab kepada
Menteri Kemakmuran. Kemudian berdasarkan
surat Menteri Perekonomian tanggal 1 Mei 1952 nomor P/44,
lembaga KPS berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Perekonomian.
Selanjutnya dengan keputusan Menteri Perekonomian tanggal 24
Desember 1953 Nomor 18.099/M, KPS dibagi menjadi 2 (dua)
bagian, yaitu Bagian Riset yang disebut Afdeling A dan Bagian
Penyelenggaraan dan Tata Usaha yang disebut Afdeling B. Dengan Keputusan
Presiden RI Nomor 131 tahun 1957, Kementerian Perekonomian dipecah menjadi
Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Terhitung mulai 1 Juni
1957 KPS diubah menjadi Biro Pusat Statistik (BPS), urusan statistik yang semula menjadi tanggung
jawab dan wewenang Menteri Perekonomian dialihkan menjadi wewenang BPS dan
berada dibawah Perdana Menteri. Berdasarkan Keputusan Presiden ini pula secara
formal nama Biro Pusat Statistik dipergunakan.
Memenuhi anjuran PBB
agar setiap negara anggota
menyelenggarakan Sensus Penduduk
secara serentak, maka
pada tanggal 24 September 1960 diundangkan Undang-undang Nomor
6 tahun 1960 tentang
Sensus, sebagai pengganti Volkstelling Ordonantie 1930.
Pada tanggal 26 September 1960
diundangkan Undang-undang nomor 7 tahun 1960 tentang Statistik, mengingat
kebutuhan data bagi
Perencanaan Pembangunan
Semesta Berencana serta
Statistiek Ordonantie 1934 dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan
cepatnya kemajuan yang dicapai Indonesia. Berdasarkan keputusan
Presidium Kabinet Republik Indonesia Nomor Aa/C/9 tahun 1965, maka
setiap daerah tingkat I dan tingkat II dibentuk Kantor Cabang Biro Pusat
Statistik dengan nama Kantor Sensus dan
Statistik (KSS) yang
bertugas menjalankan kegiatan statistik di daerah. Di setiap daerah
administrasi kecamatan, dapat diangkat seorang atau lebih pegawai yang
merupakan pegawai KSS di tingkat II dan ditempatkan di bawah Camat.
Pada tanggal 28 Juni 1996 Kepala BPS kala itu Sugito,
menghadap Presiden Soeharto guna melaporkan berbagai
kegiatan statistik, termasuk permohonan
penetapan Hari Statistik. Berdasarkan
surat nomor B.259/M.Sesneg/1996
tanggal 12 Agustus 1996 disetujui tanggal 26 September sebagai Hari Statistik.
Pertama kali Hari Statistik diperingati pada 26 September 1996.
Hari Statistik
Mungkin hanya sebagian masyarakat yang mengetahui
bahwa setiap tanggal 26 September diperingati sebagai Hari Statistik Nasional.
Hari statistik bukan hanya milik insan statistik atau pegawai Badan Pusat
Statistik saja, melainkan milik seluruh rakyat Indonesia. Tidak hanya di Indonesia, namun di berbagai
negara berkembang dan negara maju. PBB pun sejak tahun 2010 telah menetapkan
tanggal 20 Oktober sebagai Hari Statistik Dunia.
Penetapan “Hari Statistik”
dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran statistik bagi para responden,
produsen dan konsumen data agar dapat
memberdayakan secara maksimal semua
pelaku menuju terwujudnya Sistem
Statistik Nasional. Pemberdayaan petugas statistik diantaranya adalah dengan
mempertajam cara pandang,
memperluas wawasan serta menanamkan budaya kerja yang paripurna, yaitu
professional, integritas, dan amanah. Pada akhirnya diharapkan mampu memacu kesatuan tekad dalam menyajikan
statistik yang andal, lengkap, tepat, akurat dan terpercaya.
Adapun pemberdayaan bagi
masyarakat selaku responden maupun konsumen data sebetulnya telah tersirat
dalam Undang-undang Statistik pasal 31 dan 32. Pada pasal 31 dijelaskan bahwa
“Badan bekerja sama dengan instansi pemerintah dan unsur masyarakat melakukan
pembinaan terhadap penyelenggara kegiatan statistik dan masyarakat, agar lebih
meningkatkan kontribusi dan apresiasi masyarakat terhadap statistik,
mengembangkan Sistem Statistik Nasional, dan mendukung pembangunan nasional”. Pemberdayaan masyarakat selaku
responden perlu dilakukan untuk meningkatkan kontribusi dan apresiasi
masyarakat terhadap statistik. Kontribusi dan apresiasi terhadap statistik
diantaranya ditunjukkan dengan memberikan respon positif ketika terpilih
menjadi responden, yaitu dengan memberikan data yang sebenarnya kepada petugas
statistik.
Sadar Statistik
Kadang kala, bahkan sering terjadi bagian
masyarakat yang terpilih menjadi responden belum memahami arti pentingnya
statistik bagi pembangunan atau merasa
tidak ada manfaat berarti (langsung dirasakan) yang diperoleh dari data yang
telah diberikannya kepada petugas
statistik, sehingga malas bahkan tidak mau menjadi responden, dampaknya respon rate menjadi rendah. Kondisi ini
tentu saja menjadi tugas bersama, baik BPS, pemerintah, maupun masyarakat itu
sendiri, untuk terus berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti dan
kegunaan statistik (pasal 32h, Undang-undang Statistik).
Meningkatkan kesadaran masyarakat akan
arti dan kegunaan statistik menjadi hal utama yang perlu dilakukan dalam upaya
pemberdayaan masyarakat untuk sadar statistik. Usaha pemberdayaan harus bertumpu
pada kesadaran akan “kebutuhan” atau timbal balik yang didapat jika suatu
komponen masyarakat menjadi responden. Memang tidak mudah. Perlu kerjasama, partisipasi dan
upaya dari berbagai pihak dalam proses pemberdayaan masyarakat sadar statistik.
Hal ini pun tidak bisa dilakukan secara instan, membutuhkan proses. Saraswati
(1997:79-80) seperti dikutip oleh Huraerah dalam bukunya “Pengorganisasian dan
Pengembangan masyarakat (2008 : 86)” menyebutkan bahwa secara konseptual
pemberdayaan merupakan suatu proses yang panjang agar masyarakat lebih berdaya
(dalam bidang apapun). Pemberdayaan harus mencakup enam hal, yaitu : (1) Learning by doing, artinya
pemberdayaan adalah proses belajar dan tindakan konkrit yang berlangsung
terus-menerus, (2) Problem solving, pemberdayaan
harus memmberikan arti pemecahan masalah dengan cara dan waktu yang tepat, (3) Self-evaluation, pemberdayaan harus mampu mendorong
seseorang atau kelompok untuk melakukan evaluasi secara mandiri, (4) Self-development and coordination, artinya
mendorong agar mampu melakukan pengembnagan diri dan melakukan koordinasi
dengan pihak lain secara luas, (5) Self-selection, pemberdayaan sebagai
upaya pemilihan dan penilaian secara mandiri dalam menetapkan langkah-langkah
ke depan, dan (6) Self-decism, dimana
dalam memilih tindakan yag tepat hendaknya dimiliki kepercayaan diri (self-confidence) dalam memutuskan
sesuatu secara mandiri (self-decism).
Sekali lagi, pemberdayaan masyarakat
sadar statistik membutuhkan proses dan perlu diupayakan terus oleh berbagai
pihak, mengingat pentingnya statistik
dalam pembangunan. Meningkatkan kesadaran akan pentingnya statistik dalam
kehidupan merupakan filosofi ditetapkannya Hari Statistik. Meningkatkan
kesadaran petugas statistik untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data
berkualitas dan terpercaya. Meningkatkan kesadaran pemerintah akan arti penting
statistik dalam pembangunan, yaitu membangun berbasis data statistik, tidak
asal proyek dan kebijakan, karena membangun tanpa data lebih mahal biayanya.
Kemudian yang terpenting adalah meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya
komponen masyarakat yang menjadi responden petugas statistik dalam kegiatan
sensus, survey, maupun kegiatan pencatatan lainnya, untuk lebih memahami
manfaat dari statistik yang dikumpulkan, sehingga semua mau menjawab pertanyaan dan memberikan data sebenarnya ketika
terpilih menjadi responden. Pada akhirnya ketika respon rate tinggi, kualitas data statistik berkualitas dan
terpercaya untuk semua pun dapat disajikan. Semoga ke depan dengan
diperingatinya Hari Statistik Nasional setiap tanggal 26 September tingkat
kesadaran masyarakat akan arti dan petingnya statistik semakin meningkat.
Sudahkah kita sadar statistik? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar