Rabu, 24 September 2014

Pemberdayaan Masyarakat Sadar Statistik



Oleh : Isti Larasati Widiastuty


Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Bandung  pada tahun 2012 mencapai  8,98 persen, artinya rata-rata kinerja sektor-sektor ekonomi nasional pada tahun 2012 mengalami peningkatan  sebesar 8,98 persen jika dibandingkan kinerja tahun 2011, dengan laju inflasi mencapai 4,02 persen. Adapun pada tahun 2013 LPE Kota Bandung mengalami perlambatan menjadi 8,87 persen dengan laju inflasi mencapai 7,97 persen. Ya, laju pertumbuhan ekonomi dan inflasi adalah sebagian kecil dari indikator statistik yang biasa digunakan masyarakat untuk memperoleh gambaran makro perekonomian.
Sebetulnya tanpa kita sadari dalam kehidupan sehari-hari kita sudah terbiasa melakukan statistik, karena statistik merupakan kumpulan  data-data yang diperoleh dari pencatatan kejadian sejenis dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita mencatat pengeluaran harian misalnya, kita sudah melakukan statisik. Adapun konsep statistik menurut Undang-Undang Statistik (UU No 16 Tahun 1997), definisi dari statistik adalah data yang diperoleh dengan cara pengumpulan, pengolahan, penyajian, dan analisis serta sebagai sistem yang mengatur keterkaitan antar unsur dalam penyelenggaraan statistik. Dengan demikian, sebetulnya kegiatan statistik memang sudah sering kita lakukan atau kita ketahui, kadang tanpa kita sadari.

Sejarah Kegiatan Statistik di Indonesia
Suwandi dalam “Sejarah Hari Statistik” (2004) menjelaskan bahwa pada  masa  pemerintahan  Hindia Belanda sekitar bulan Februari 1920 Kantor Statistik untuk pertama kali didirikan oleh Direktur  Pertanian  dan  Perdagangan (Directeur van Landbouw Nijverheid en Handel) yang berkedudukan di Bogor. Kemudian pada bulan Maret 1923 dibentuk suatu komisi yang bernama Komisi untuk Statistik yang anggotanya  merupakan  wakil-wakil  dari tiap-tiap departemen. Tugas dari komisi ini adalah   merencanakan  kegiatan untuk  pencapaian kesatuan dalam kegiatan bidang statistik di Indonesia. Pada tanggal 24 September 1924 nama lembaga tersebut diganti dengan nama Centraal Kantoor voor de Statistiek (CKS) atau  Kantor Pusat Statistik, dan lokasinya dipindahkan ke Jakarta. Bersamaan dengan itu beralih pula  pekerjaan  mekanisasi  Statistik Perdagangan yang semula dilakukan oleh Kantor Invoer-Uitvoer en Accijsen (IUA) yang  sekarang  disebut  Kantor  Bea  dan Cukai, diserahkan ke CKS.
Pasa masa penjajahan Jepang, Pemerintah Jepang  mengaktifkan  kembali  kegiatan statistik yang difokuskan untuk memenuhi kebutuhan  perang/militer (Juni 1942).  CKS  diganti namanya  menjadi  Shomubu Chosasitsu Gunseikanbu.  Setelah  Proklamasi  Kemerdekaan Republik  Indonesia  tanggal  17  Agustus 1945 kegiatan statistik tidak lagi ditangani oleh  Chosasitsu Gunseikanbu tetapi oleh lembaga/instansi baru sesuai dengan suasana kemerdekaan  yaitu  Kantor  Penyelidikan Perangkaan  Umum  Republik  Indonesia (KAPPURI).  Tahun 1946 kantor KAPPURI dipindahkan  ke  Yogyakarta  sebagai konsekuensi  dari  Perjanjian  Linggarjati. Sementara itu Pemerintah Belanda (NICA) di  Jakarta  mengaktifkan  kembali  CKS.
Berdasarkan  surat  Edaran  Kementerian Kemakmuran tanggal 12 Juni 1950 Nomor 219/S.C,  KAPPURI  dan  CKS  dilebur menjadi Kantor Pusat Statistik (KPS),  yang berada  di bawah  dan  bertanggung jawab kepada Menteri Kemakmuran. Kemudian berdasarkan  surat  Menteri  Perekonomian tanggal 1 Mei 1952 nomor P/44, lembaga KPS berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Perekonomian. Selanjutnya dengan keputusan Menteri Perekonomian tanggal  24  Desember  1953  Nomor 18.099/M, KPS dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu Bagian Riset yang disebut Afdeling A dan Bagian Penyelenggaraan dan Tata Usaha yang disebut Afdeling B. Dengan Keputusan Presiden RI Nomor 131 tahun 1957, Kementerian Perekonomian dipecah menjadi Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Terhitung mulai 1 Juni 1957 KPS diubah menjadi Biro Pusat Statistik (BPS),  urusan statistik yang semula menjadi tanggung jawab dan wewenang Menteri Perekonomian dialihkan menjadi wewenang BPS dan berada dibawah Perdana Menteri. Berdasarkan Keputusan Presiden ini pula secara formal nama Biro Pusat Statistik dipergunakan.
Memenuhi  anjuran  PBB  agar  setiap negara anggota menyelenggarakan Sensus Penduduk  secara  serentak,  maka  pada tanggal 24 September 1960 diundangkan Undang-undang  Nomor  6  tahun  1960 tentang  Sensus,  sebagai  pengganti Volkstelling Ordonantie 1930. Pada tanggal  26 September 1960 diundangkan Undang-undang nomor 7 tahun 1960 tentang Statistik, mengingat kebutuhan  data  bagi  Perencanaan Pembangunan  Semesta  Berencana  serta  Statistiek  Ordonantie  1934 dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan cepatnya kemajuan yang dicapai Indonesia. Berdasarkan  keputusan  Presidium Kabinet Republik Indonesia Nomor Aa/C/9 tahun 1965, maka setiap daerah tingkat I dan tingkat II dibentuk Kantor Cabang Biro Pusat Statistik dengan nama Kantor Sensus dan  Statistik  (KSS)  yang  bertugas menjalankan kegiatan statistik di daerah. Di setiap daerah administrasi kecamatan, dapat diangkat seorang atau lebih pegawai yang merupakan pegawai KSS di tingkat II dan ditempatkan di bawah Camat.
Pada tanggal 28 Juni 1996 Kepala BPS kala itu Sugito, menghadap    Presiden Soeharto  guna melaporkan  berbagai  kegiatan  statistik, termasuk permohonan penetapan Hari Statistik. Berdasarkan  surat  nomor B.259/M.Sesneg/1996 tanggal 12 Agustus 1996 disetujui tanggal 26 September sebagai Hari Statistik. Pertama kali Hari Statistik diperingati pada 26 September 1996.

Hari Statistik
Mungkin hanya sebagian masyarakat yang mengetahui bahwa setiap tanggal 26 September diperingati sebagai Hari Statistik Nasional. Hari statistik bukan hanya milik insan statistik atau pegawai Badan Pusat Statistik saja, melainkan milik seluruh rakyat Indonesia.  Tidak hanya di Indonesia, namun di berbagai negara berkembang dan negara maju. PBB pun sejak tahun 2010 telah menetapkan tanggal 20 Oktober sebagai Hari Statistik Dunia.
Penetapan “Hari Statistik” dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran statistik bagi para responden, produsen dan konsumen data  agar  dapat  memberdayakan  secara maksimal  semua  pelaku  menuju terwujudnya Sistem Statistik Nasional. Pemberdayaan petugas statistik diantaranya adalah dengan mempertajam  cara  pandang,  memperluas wawasan serta menanamkan budaya kerja yang paripurna, yaitu professional, integritas, dan amanah. Pada akhirnya diharapkan  mampu memacu kesatuan tekad dalam menyajikan statistik yang andal, lengkap, tepat, akurat dan terpercaya.
Adapun pemberdayaan bagi masyarakat selaku responden maupun konsumen data sebetulnya telah tersirat dalam Undang-undang Statistik pasal 31 dan 32. Pada pasal 31 dijelaskan bahwa “Badan bekerja sama dengan instansi pemerintah dan unsur masyarakat melakukan pembinaan terhadap penyelenggara kegiatan statistik dan masyarakat, agar lebih meningkatkan kontribusi dan apresiasi masyarakat terhadap statistik, mengembangkan Sistem Statistik Nasional, dan mendukung pembangunan nasional”. Pemberdayaan masyarakat selaku responden perlu dilakukan untuk meningkatkan kontribusi dan apresiasi masyarakat terhadap statistik. Kontribusi dan apresiasi terhadap statistik diantaranya ditunjukkan dengan memberikan respon positif ketika terpilih menjadi responden, yaitu dengan memberikan data yang sebenarnya kepada petugas statistik.

Sadar Statistik
Kadang kala, bahkan sering terjadi bagian masyarakat yang terpilih menjadi responden belum memahami arti pentingnya statistik bagi pembangunan atau merasa tidak ada manfaat berarti (langsung dirasakan) yang diperoleh dari data yang telah diberikannya  kepada petugas statistik, sehingga malas bahkan tidak mau menjadi responden, dampaknya respon rate menjadi rendah. Kondisi ini tentu saja menjadi tugas bersama, baik BPS, pemerintah, maupun masyarakat itu sendiri, untuk terus berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti dan kegunaan statistik (pasal 32h, Undang-undang Statistik).
Meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti dan kegunaan statistik menjadi hal utama yang perlu dilakukan dalam upaya pemberdayaan masyarakat untuk sadar statistik. Usaha pemberdayaan harus bertumpu pada kesadaran akan “kebutuhan” atau timbal balik yang didapat jika suatu komponen masyarakat menjadi responden. Memang tidak mudah. Perlu kerjasama, partisipasi dan upaya dari berbagai pihak dalam proses pemberdayaan masyarakat sadar statistik. Hal ini pun tidak bisa dilakukan secara instan, membutuhkan proses. Saraswati (1997:79-80) seperti dikutip oleh Huraerah dalam bukunya “Pengorganisasian dan Pengembangan masyarakat (2008 : 86)” menyebutkan bahwa secara konseptual pemberdayaan merupakan suatu proses yang panjang agar masyarakat lebih berdaya (dalam bidang apapun). Pemberdayaan harus mencakup enam hal, yaitu : (1) Learning by doing, artinya pemberdayaan adalah proses belajar dan tindakan konkrit yang berlangsung terus-menerus, (2) Problem solving, pemberdayaan harus memmberikan arti pemecahan masalah dengan cara dan waktu yang tepat, (3) Self-evaluation, pemberdayaan harus mampu mendorong seseorang atau kelompok untuk melakukan evaluasi secara mandiri, (4) Self-development and coordination, artinya mendorong agar mampu melakukan pengembnagan diri dan melakukan koordinasi dengan pihak lain secara luas,  (5) Self-selection, pemberdayaan sebagai upaya pemilihan dan penilaian secara mandiri dalam menetapkan langkah-langkah ke depan, dan (6) Self-decism, dimana dalam memilih tindakan yag tepat hendaknya dimiliki kepercayaan diri (self-confidence) dalam memutuskan sesuatu secara mandiri (self-decism).
Sekali lagi, pemberdayaan masyarakat sadar statistik membutuhkan proses dan perlu diupayakan terus oleh berbagai pihak,  mengingat pentingnya statistik dalam pembangunan. Meningkatkan kesadaran akan pentingnya statistik dalam kehidupan merupakan filosofi ditetapkannya Hari Statistik. Meningkatkan kesadaran petugas statistik untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data berkualitas dan terpercaya. Meningkatkan kesadaran pemerintah akan arti penting statistik dalam pembangunan, yaitu membangun berbasis data statistik, tidak asal proyek dan kebijakan, karena membangun tanpa data lebih mahal biayanya. Kemudian yang terpenting adalah meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya komponen masyarakat yang menjadi responden petugas statistik dalam kegiatan sensus, survey, maupun kegiatan pencatatan lainnya, untuk lebih memahami manfaat dari statistik yang dikumpulkan, sehingga semua mau menjawab pertanyaan dan memberikan data sebenarnya ketika terpilih menjadi responden. Pada akhirnya ketika respon rate tinggi, kualitas data statistik berkualitas dan terpercaya untuk semua pun dapat disajikan. Semoga ke depan dengan diperingatinya Hari Statistik Nasional setiap tanggal 26 September tingkat kesadaran masyarakat akan arti dan petingnya statistik semakin meningkat. Sudahkah kita sadar statistik? ***
  
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bandung (kembali) diguyur hujan

Bandung kembali diguyur hujan, siang ini dari lantai 5 gedung kantor,...... menikmati hujan yang derasnya luar biasa... kilat, petir, gel...