Jumat, 26 September 2014

Produk Domestik Regional Bruto Kota Bandung Tahun 2010 - 2013





Capaian kinerja perekonomian Kota Bandung dapat dinilai melalui berbagai indikator capaian. Salah satu indikator yang biasa digunakan untuk menilai capaian kinerja perekonomian adalah melalui Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB Kota Bandung atas dasar harga berlaku pada tahun 2013 mencapai 130,21 trilyun rupiah. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, mengalami peningkatan sebesar 17,18 persen, dimana nilai PDRB atas dasar harga berlaku  tahun 2012 mencapai 111,12  trilyun rupiah.Untuk membandingkan capaian produktivitas berbagai sektor ekonomi biasanya digunakan indikator PDRB atas dasar harga konstan, dimana melalui indikator ini dapat dilihat laju produktivitas kinerja secara riil, tanpa adanya pengaruh inflasi atau kenaikan harga, dimana penilaian harga menggunakan harga pada tahun dasar. PDRB atas dasar harga konstan yang digunakan dalam publikasi ini adalah PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000. PDRB atas dasar harga konstan tahun 2013 mencapai 40,89 trilyun rupiah atau meningkat sebesar 8,87 persen dari tahun 2012 yang mencapai 37,56 trilyun rupiah. Gambaran tinjauan ekonomi regional diantaranya dapat ditunjukkan melalui gambaran struktur ekonomi, laju pertumbuhan ekonomi, serta pendapatan per kapita (PDRB per kapita). 


Struktur Ekonomi 
  
Potensi sumber daya alam yang dimiliki Kota Bandung tidak mendukung untuk menjadikan Kota Bandung sebagai daerah potensi sektor pertanian maupun pertambangan (sektor primer). Pada tahun 2000 peranan sektor primer dalam pembentukan PDRB Kota Bandung hanya mencapai 0,51 persen. Semakin tahun peranan sektor primer semakin menurun, hingga pada tahun 2013 hanya berperan sebesar 0,20 persen terhadap total PDRB atau mencapai 255,65 milyar rupiah. 
 
Sektor sekunder pada tahun 2013 memberikan peranan sebesar 28,70 persen terhadap total PDRB Kota Bandung atau sebesar 37,37 trilyun rupiah. Sama halnya dengan sektor primer, peranan sektor sekunder di Kota Bandung sejak tahun 2010 mengalami penurunan. Jika pada tahun 2010 berperan sebesar 31,35 persen dan pada tahun 2013 turun menjadi 28,70 persen. Adapun sektor tersier sebagai penyumbang terbesar dalam pembentukan PDRB Kota Bandung menunjukkan peranan yang semakin meningkat setiap tahunnya.  Pada tahun 2010 sektor tersier berperan sebesar 68,45 persen atau sebesar 56,13 trilyun rupiah dan meningkat menjadi 92,59 trilyun rupiah atau sekitar 71,11 persen terhadap total PDRB Kota Bandung. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, maka peranan sektor tersier mengalami peningkatan sebesar 1,08 persen dibandingkan tahun 2012. Peningkatan peranan sektor tersier menunjukkan struktur Kota Bandung yang sudah bergeser ke sektor jasa.
                                                 *
 Kelompok sektor tersier menopang 71,11% perekonomian Kota Bandung
                                      *
Pergeseran struktur ekonomi dari sektor industri pengolahan menuju sektor perdagangan, hotel dan restoran (atau dari sektor sekunder ke sektor tersier), dikarenakan semakin sempitnya lahan untuk kegiatan industri, sehingga kegiatan industri di perkotaan pindah ke daerah pinggiran kota sebagai daerah penyangga ibukota provinsi. Beberapa kegiatan pada sektor industri di Kota Bandung yang masih dapat dikembangkan untuk mendukung perekonomian Kota Bandung adalah industri kreatif yang semakin banyak tumbuh di Kota Bandung.

Pertumbuhan Ekonomi


Perekonomian Kota Bandung pada tahun 2013 mampu tumbuh sebesar 8,87 persen. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya maka telah terjadi perlambatan ekonomi, dimana pada tahun 2012 perekonomian Kota Bandung mampu tumbuh sebesar 8,98 persen. Perlambatan ekonomi yang terjadi di Kota Bandung jika dilihat dari sisi lapangan usaha (penawaran) disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan beberapa sektor ekonomi. Sektor ekonomi yang paling mempengaruhi melambatnya pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Melambatnya pertumbuhan ekonomi sektor perdagangan, hotel, dan restoran dikarenakan terjadinya perlambatan  impor ke Kota Bandung.
Terdapat satu hal yang perlu disadari terkait dengan angka LPE. Tingginya LPE Kota Bandung menunjukkan tingginya kinerja ekonomi dari sektor-sektor ekonomi yang ada di Kota Bandung, yaitu terjadi peningkatan kinerja produksi dari berbagai kegiatan ekonomi yang ada. Namun ada kalanya tingginya LPE ini tidak sejalan dengan tingginya tingkat daya beli masyarakat atau pendapatan masyarakat. Perlu dipahami bahwa sebagian besar usaha-usaha besar di Kota Bandung kepemilikannya adalah penduduk luar Kota Bandung sehingga tingginya pertumbuhan tersebut seringkali hanya dinikmati oleh beberapa lapisan masyarakat saja. Adapun sebagian besar masyarakat yang juga ikut berpartisipasi dalam proses ekonomi khususnya yang berstatus sebagai buruh atau karyawan, hanya menikmati sebagian kecil saja dari pertumbuhan tersebut. Walaupun secara ilmu ekonomi akan terjadi transfer in and transfer out ketika ada usaha di luar Kota Bandung yang dimiliki oleh penduduk Kota Bandung dan usaha di Kota Bandung yang dimiliki oleh penduduk luar Kota Bandung. Walaupun seringkali hal ini menjadi perdebatan, LPE tinggi tetapi daya beli masyarakat masih rendah. LPE dihitung berdasarkan perkembangan PDRB suatu wilayah, yaitu perkembangan dari aktivitas ekonomi yang terjadi di suatu wilayah. Adapun daya beli masyarakat adalah tingkat kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, dan belum tentu mereka menikmati pertumbuhan yang tinggi. Oleh karena itu upaya percepatan pertumbuhan saja tidak cukup, yang lebih penting adalah bagaimana angka pertumbuhan tersebut bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Yang  perlu dicapai adalah adanya pemerataan pendapatan masyarakat sehingga pendapatan per kapita adalah riil bisa dinikmati. 

 

more.......


Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Kota Bandung 2010-2014

Kamis, 25 September 2014

Statistik Daerah Kota Bandung Tahun 2014




untuk melihat lebih lengkap, silahkan kunjungi :

Statistik Daerah Kota Bandung Tahun 2014



Mengapa Hasil Quick Count Berbeda?

dapet share artikel ini dari seorang teman beberapa bulan lalu, 
disaat semua sibuk mempertanyakan hasil quick count,
yang secara ajaib bisa berbeda secara nyata he he,...






Mengapa Hasil Quick Count Bisa Berbeda?
16 Juli 2014 13:08 WIB

SETIAP usai pemilu atau pilkada, hasil quick count adalah sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu oleh para konstestan dan juga masyarakat luas. Tidak jarang para kontestan kemudian mendeklarasikan kemenangan mereka berdasarkan hasil quick count, tanpa harus menunggu hasil real count.

Dalam banyak kesempatan, hasil quick count beberapa lembaga memang sangat mirip dengan real count. Ini yang sepertinya dijadikan argumen bahwa hasil quick count bisa menjadi acuan real count.

Maka ketika pada pilpres yang baru saja berlalu, hasil-hasil quick count yang dirilis berbagai lembaga saling bertolak belakang, maka tudingan bahwa hasil beberapa lembaga itu tidak valid dan merupakan ‘pesanan’ pun bermunculan.

Untuk memahami keberagaman hasil quick count ini, harus dipahami kalau quick count adalah suatu metode untuk menduga hasil real count secara cepat. Karena harus dilakukan secara cepat, hasil quick count hanya berdasarkan data dari sebagian kecil saja dari populasi tempat pemungutan suara (TPS) di Indonesia.

Agar hasil quick count bisa dipertanggungjawabkan, pemilihan TPS yang masuk dalam perhitungan harus benar-benar dilakukan secara acak (random) dan representatif. Prinsip acak dan representatif ini sangat penting sekali, karena kalau pemilihan TPS didominasi oleh TPS yang ‘dikuasai’ oleh salah satu kontestan, maka hasil quick count tidak valid dan tidak dapat digunakan untuk menduga real count.

Sekarang marilah kita berbaik sangka dan katakanlah semua lembaga tersebut menerapkan prinsip acak dengan tepat dan menggunakan metode sampling yang sama. Lalu mengapa hasilnya bisa berbeda? Jawabannya terletak pada prinsip acak itu tadi, kalau dua lembaga mengambil contoh TPS secara acak, maka hampir dapat dipastikan TPS-TPS yang mereka pilih tidak akan ada yang sama. Kalaupun ada yang sama, jumlahnya akan sedikit sekali. Sehingga sangat wajar kalau hasilnya pun akan berbeda.

Pertanyaannya perbedaan antarlembaga sebesar apakah yang dapat dianggap wajar? Bagaimana pula kalau ada lembaga quick count yang hasilnya jauh dari hasil real count?

Untuk menjawab kedua pertanyaan di atas, kita dapat menggunakan kaidah ilmu statistika dengan asumsi bahwa sampel dipilih secara acak dan representatif, data analisis dilakukan dengan pembobotan yang benar dan tidak ada human error seperti data entry error dalam tabulasi hasil quick count.

Karena quick count bukan merupakan pengganti real count, melainkan hanya dapat digunakan untuk menduga saja, maka hasil akhir quick count adalah berupa suatu selang (interval) yang diyakini hasil real count akan berada di dalam selang tersebut. Lebar selang ini diwakili oleh dua kali margin of error.

Misalkan hasil sebuah lembaga menyatakan salah satu kontestan memperoleh 55% suara, dengan margin of error 1%, ini artinya lembaga tersebut berkeyakinan (berdasarkan data yang ada) kalau hasil real count akan berada di interval antara 54% and 56%. Tapi yang tidak diungkap atau kurang dipahami oleh banyak lembaga survei, bahwa interval yang dihasilkan yang lebarnya dua kali margin of error itu tidak akan selalu memuat hasil real count yang sebenarnya. Mengapa? Karena bedasarkan kaidah Central Limit Theorem, misalkan di suatu negara ‘antah berantah’ ada 100 lembaga survei melakukan quick count, maka dapat dipastikan sekitar 5 dari 100 lembaga (5%) ini akan menghasilkan interval pendugaan yang tidak akan memuat hasil real count.

Jadi bukan saja quick count memiliki margin of error, tetapi bahkan 5% dari hasilnya pun bisa meleset dari real count, walaupun metode sampling dan pengacakan yang mereka gunakan sudah benar! Di dalam istilah ilmu statistika, melesetnya interval hasil quick count ini dinamakan type I error. Karena itu, saya menyarankan kalau ke depannya hasil quick count dinyatakan dalam interval yang lebarnya empat kali margin of error, bukan dua kali margin of error.

Dengan interval yang lebih lebar ini, masih dengan menggunakan Central Limit Theorem, hampir akan mustahil mendapati interval yang tidak memuat hasil real count.

Lalu bagaimana dengan variasi hasil antar lembaga survei? Kalau implementasi survei dilakukan dengan benar, seharusnya hampir mustahil menemukan dua lembaga survei yang hasilnya berbeda lebih dari empat kali margin of error. Kita ambil contoh, dengan margin of error 1%, maka hasil antarlembaga seyogianya tidak akan berbeda lebih dari 4%. Variasi ‘alami’ antarlembaga ini yang potensial menyebabkan kebingungan ketika selisih kemenangan (winning margin) lebih kecil dari empat kali margin of error.

Dalam contoh di atas, kalau salah satu kontestan (A) sesungguhnya meraih 51,5% suara berbanding 48,5% untuk calon lainnya (B) (3% winning margin), maka hasil-hasil quick count untuk kontestan A akan berada dalam interval selebar 4%, antara 49,5% (kontestan B unggul) dan 53,5% (kontestan A unggul). Sehingga, kalau winning margin lebih kecil dari empat kali margin of error, sangatlah tidak bijak kalau hasil quick count digunakan untuk memprediksi pemenang.

Penggunaan angka margin of error yang tepat sangatlah penting, karena margin of error mengukur tingkat ketelitian suatu survei. Sebagian besar lembagai survei di Indonesia, saya duga, menggunakan multi-stage atau cluster sampling dalam proses quick count, tetapi margin of error dihitung berdasarkan simple random sampling. Secara umum, simple random sampling (SRS) menghasilkan margin of error yang lebih kecil dari multi-stage atau cluster sampling.

Penggunakan margin of error yang tidak tepat ini potensial menimbulkan kebingungan di masyarakat dan kecurigaan akan manipulasi hasil quick count. Mengapa? Sebagai contoh misalkan margin of error yang sesungguhnya dengan menggunakan cluster sampling adalah 2,5%, tetapi sebuah lembaga survei memakai 1% yang berdasarkan SRS, maka kalau ada lembaga lain yang hasilnya berbeda 5%, sudah pasti hasil lembaga yang kedua ini akan dipertanyakan karena melebihi batas wajar antar lembaga yang 4%. Lain halnya kalau memakai margin of error yang sesungguhnya, maka perbedaan 5% masih dapat ditoleransi.

Sayangnya, untuk saat ini saat sulit untuk menghitung margin of error yang sebenarnya dari hasil-hasil quick count di Indonesia, dikarenakan minimnya informasi tentang desain dan implementasi survei tiap-tiap lembaga yang dapat diakses publik.

Agar hasil-hasil quick count tidak membingungkan masyarakat, saya menyarankan di masa mendatang, hasil quick count diberikan dalam bentuk interval yang lebarnya empat kali margin of error (+ 2 margin of error). Penghitungan margin of error harus juga dilakukan menggunakan formula yang mencerminkan desain survei yang digunakan, agar tidak terjadi overclaim terhadap tingkat ketelitian survei.

Audit secara independen terhadap lembaga-lembaga yang menyelenggarakan quick count juga diperlukan bukan hanya agar masyarakat yakin akan keabsahan metodologi dan implementasi yang digunakan, tetapi juga untuk memperkecil risiko non sampling error yang berpotensi melebarkan perbedaan hasil antarlembaga.

Bagi lembaga survei penyelenggara quick count, ke depannya mungkin perlu dipikirkan cara untuk memperkecil margin of error, jika diperkirakan winning margin akan relatif kecil. Dengan margin of error yang lebih kecil, maka akan terdapat peluang yang lebih besar untuk mengambil kesimpulan konklusif dari hasil quick count. Memperkecil margin of error biasanya dilakukan dengan penambahan jumlah TPS yang disurvei. Tetapi juga dapat dipikirkan terobosan baru, misalnya dengan menggabungkan data quick count beberapa lembaga dengan metodologi yang sama. Margin of error yang sangat kecil juga merupakan prasyarat jika quick count akan digunakan untuk memonitor potensi kesalahan pada hasil real count.

Akhirnya, saya percaya jika quick count dilakukan dengan metode yang benar dan memperhatikan prinsip-prinsip acak dan representatif sehinggan non sampling error dapat dihilangkan atau setidaknya diminimisasi, tidak ada alasan untuk tidak meyakini bahwa hasil real count akan berada dalam jarak +2 margin of error dari hasil quick count.

Agus Salim, Ph.D
Alumni Departemen Statistika, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan saat ini adalah Senior Lecturer di Department of Mathematics and Statistics, La Trobe University, Melbourne, Australia. (jri)

 

Rabu, 24 September 2014

Pemberdayaan Masyarakat Sadar Statistik



Oleh : Isti Larasati Widiastuty


Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota Bandung  pada tahun 2012 mencapai  8,98 persen, artinya rata-rata kinerja sektor-sektor ekonomi nasional pada tahun 2012 mengalami peningkatan  sebesar 8,98 persen jika dibandingkan kinerja tahun 2011, dengan laju inflasi mencapai 4,02 persen. Adapun pada tahun 2013 LPE Kota Bandung mengalami perlambatan menjadi 8,87 persen dengan laju inflasi mencapai 7,97 persen. Ya, laju pertumbuhan ekonomi dan inflasi adalah sebagian kecil dari indikator statistik yang biasa digunakan masyarakat untuk memperoleh gambaran makro perekonomian.
Sebetulnya tanpa kita sadari dalam kehidupan sehari-hari kita sudah terbiasa melakukan statistik, karena statistik merupakan kumpulan  data-data yang diperoleh dari pencatatan kejadian sejenis dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita mencatat pengeluaran harian misalnya, kita sudah melakukan statisik. Adapun konsep statistik menurut Undang-Undang Statistik (UU No 16 Tahun 1997), definisi dari statistik adalah data yang diperoleh dengan cara pengumpulan, pengolahan, penyajian, dan analisis serta sebagai sistem yang mengatur keterkaitan antar unsur dalam penyelenggaraan statistik. Dengan demikian, sebetulnya kegiatan statistik memang sudah sering kita lakukan atau kita ketahui, kadang tanpa kita sadari.

Sejarah Kegiatan Statistik di Indonesia
Suwandi dalam “Sejarah Hari Statistik” (2004) menjelaskan bahwa pada  masa  pemerintahan  Hindia Belanda sekitar bulan Februari 1920 Kantor Statistik untuk pertama kali didirikan oleh Direktur  Pertanian  dan  Perdagangan (Directeur van Landbouw Nijverheid en Handel) yang berkedudukan di Bogor. Kemudian pada bulan Maret 1923 dibentuk suatu komisi yang bernama Komisi untuk Statistik yang anggotanya  merupakan  wakil-wakil  dari tiap-tiap departemen. Tugas dari komisi ini adalah   merencanakan  kegiatan untuk  pencapaian kesatuan dalam kegiatan bidang statistik di Indonesia. Pada tanggal 24 September 1924 nama lembaga tersebut diganti dengan nama Centraal Kantoor voor de Statistiek (CKS) atau  Kantor Pusat Statistik, dan lokasinya dipindahkan ke Jakarta. Bersamaan dengan itu beralih pula  pekerjaan  mekanisasi  Statistik Perdagangan yang semula dilakukan oleh Kantor Invoer-Uitvoer en Accijsen (IUA) yang  sekarang  disebut  Kantor  Bea  dan Cukai, diserahkan ke CKS.
Pasa masa penjajahan Jepang, Pemerintah Jepang  mengaktifkan  kembali  kegiatan statistik yang difokuskan untuk memenuhi kebutuhan  perang/militer (Juni 1942).  CKS  diganti namanya  menjadi  Shomubu Chosasitsu Gunseikanbu.  Setelah  Proklamasi  Kemerdekaan Republik  Indonesia  tanggal  17  Agustus 1945 kegiatan statistik tidak lagi ditangani oleh  Chosasitsu Gunseikanbu tetapi oleh lembaga/instansi baru sesuai dengan suasana kemerdekaan  yaitu  Kantor  Penyelidikan Perangkaan  Umum  Republik  Indonesia (KAPPURI).  Tahun 1946 kantor KAPPURI dipindahkan  ke  Yogyakarta  sebagai konsekuensi  dari  Perjanjian  Linggarjati. Sementara itu Pemerintah Belanda (NICA) di  Jakarta  mengaktifkan  kembali  CKS.
Berdasarkan  surat  Edaran  Kementerian Kemakmuran tanggal 12 Juni 1950 Nomor 219/S.C,  KAPPURI  dan  CKS  dilebur menjadi Kantor Pusat Statistik (KPS),  yang berada  di bawah  dan  bertanggung jawab kepada Menteri Kemakmuran. Kemudian berdasarkan  surat  Menteri  Perekonomian tanggal 1 Mei 1952 nomor P/44, lembaga KPS berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Perekonomian. Selanjutnya dengan keputusan Menteri Perekonomian tanggal  24  Desember  1953  Nomor 18.099/M, KPS dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu Bagian Riset yang disebut Afdeling A dan Bagian Penyelenggaraan dan Tata Usaha yang disebut Afdeling B. Dengan Keputusan Presiden RI Nomor 131 tahun 1957, Kementerian Perekonomian dipecah menjadi Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Terhitung mulai 1 Juni 1957 KPS diubah menjadi Biro Pusat Statistik (BPS),  urusan statistik yang semula menjadi tanggung jawab dan wewenang Menteri Perekonomian dialihkan menjadi wewenang BPS dan berada dibawah Perdana Menteri. Berdasarkan Keputusan Presiden ini pula secara formal nama Biro Pusat Statistik dipergunakan.
Memenuhi  anjuran  PBB  agar  setiap negara anggota menyelenggarakan Sensus Penduduk  secara  serentak,  maka  pada tanggal 24 September 1960 diundangkan Undang-undang  Nomor  6  tahun  1960 tentang  Sensus,  sebagai  pengganti Volkstelling Ordonantie 1930. Pada tanggal  26 September 1960 diundangkan Undang-undang nomor 7 tahun 1960 tentang Statistik, mengingat kebutuhan  data  bagi  Perencanaan Pembangunan  Semesta  Berencana  serta  Statistiek  Ordonantie  1934 dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan cepatnya kemajuan yang dicapai Indonesia. Berdasarkan  keputusan  Presidium Kabinet Republik Indonesia Nomor Aa/C/9 tahun 1965, maka setiap daerah tingkat I dan tingkat II dibentuk Kantor Cabang Biro Pusat Statistik dengan nama Kantor Sensus dan  Statistik  (KSS)  yang  bertugas menjalankan kegiatan statistik di daerah. Di setiap daerah administrasi kecamatan, dapat diangkat seorang atau lebih pegawai yang merupakan pegawai KSS di tingkat II dan ditempatkan di bawah Camat.
Pada tanggal 28 Juni 1996 Kepala BPS kala itu Sugito, menghadap    Presiden Soeharto  guna melaporkan  berbagai  kegiatan  statistik, termasuk permohonan penetapan Hari Statistik. Berdasarkan  surat  nomor B.259/M.Sesneg/1996 tanggal 12 Agustus 1996 disetujui tanggal 26 September sebagai Hari Statistik. Pertama kali Hari Statistik diperingati pada 26 September 1996.

Hari Statistik
Mungkin hanya sebagian masyarakat yang mengetahui bahwa setiap tanggal 26 September diperingati sebagai Hari Statistik Nasional. Hari statistik bukan hanya milik insan statistik atau pegawai Badan Pusat Statistik saja, melainkan milik seluruh rakyat Indonesia.  Tidak hanya di Indonesia, namun di berbagai negara berkembang dan negara maju. PBB pun sejak tahun 2010 telah menetapkan tanggal 20 Oktober sebagai Hari Statistik Dunia.
Penetapan “Hari Statistik” dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran statistik bagi para responden, produsen dan konsumen data  agar  dapat  memberdayakan  secara maksimal  semua  pelaku  menuju terwujudnya Sistem Statistik Nasional. Pemberdayaan petugas statistik diantaranya adalah dengan mempertajam  cara  pandang,  memperluas wawasan serta menanamkan budaya kerja yang paripurna, yaitu professional, integritas, dan amanah. Pada akhirnya diharapkan  mampu memacu kesatuan tekad dalam menyajikan statistik yang andal, lengkap, tepat, akurat dan terpercaya.
Adapun pemberdayaan bagi masyarakat selaku responden maupun konsumen data sebetulnya telah tersirat dalam Undang-undang Statistik pasal 31 dan 32. Pada pasal 31 dijelaskan bahwa “Badan bekerja sama dengan instansi pemerintah dan unsur masyarakat melakukan pembinaan terhadap penyelenggara kegiatan statistik dan masyarakat, agar lebih meningkatkan kontribusi dan apresiasi masyarakat terhadap statistik, mengembangkan Sistem Statistik Nasional, dan mendukung pembangunan nasional”. Pemberdayaan masyarakat selaku responden perlu dilakukan untuk meningkatkan kontribusi dan apresiasi masyarakat terhadap statistik. Kontribusi dan apresiasi terhadap statistik diantaranya ditunjukkan dengan memberikan respon positif ketika terpilih menjadi responden, yaitu dengan memberikan data yang sebenarnya kepada petugas statistik.

Sadar Statistik
Kadang kala, bahkan sering terjadi bagian masyarakat yang terpilih menjadi responden belum memahami arti pentingnya statistik bagi pembangunan atau merasa tidak ada manfaat berarti (langsung dirasakan) yang diperoleh dari data yang telah diberikannya  kepada petugas statistik, sehingga malas bahkan tidak mau menjadi responden, dampaknya respon rate menjadi rendah. Kondisi ini tentu saja menjadi tugas bersama, baik BPS, pemerintah, maupun masyarakat itu sendiri, untuk terus berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti dan kegunaan statistik (pasal 32h, Undang-undang Statistik).
Meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti dan kegunaan statistik menjadi hal utama yang perlu dilakukan dalam upaya pemberdayaan masyarakat untuk sadar statistik. Usaha pemberdayaan harus bertumpu pada kesadaran akan “kebutuhan” atau timbal balik yang didapat jika suatu komponen masyarakat menjadi responden. Memang tidak mudah. Perlu kerjasama, partisipasi dan upaya dari berbagai pihak dalam proses pemberdayaan masyarakat sadar statistik. Hal ini pun tidak bisa dilakukan secara instan, membutuhkan proses. Saraswati (1997:79-80) seperti dikutip oleh Huraerah dalam bukunya “Pengorganisasian dan Pengembangan masyarakat (2008 : 86)” menyebutkan bahwa secara konseptual pemberdayaan merupakan suatu proses yang panjang agar masyarakat lebih berdaya (dalam bidang apapun). Pemberdayaan harus mencakup enam hal, yaitu : (1) Learning by doing, artinya pemberdayaan adalah proses belajar dan tindakan konkrit yang berlangsung terus-menerus, (2) Problem solving, pemberdayaan harus memmberikan arti pemecahan masalah dengan cara dan waktu yang tepat, (3) Self-evaluation, pemberdayaan harus mampu mendorong seseorang atau kelompok untuk melakukan evaluasi secara mandiri, (4) Self-development and coordination, artinya mendorong agar mampu melakukan pengembnagan diri dan melakukan koordinasi dengan pihak lain secara luas,  (5) Self-selection, pemberdayaan sebagai upaya pemilihan dan penilaian secara mandiri dalam menetapkan langkah-langkah ke depan, dan (6) Self-decism, dimana dalam memilih tindakan yag tepat hendaknya dimiliki kepercayaan diri (self-confidence) dalam memutuskan sesuatu secara mandiri (self-decism).
Sekali lagi, pemberdayaan masyarakat sadar statistik membutuhkan proses dan perlu diupayakan terus oleh berbagai pihak,  mengingat pentingnya statistik dalam pembangunan. Meningkatkan kesadaran akan pentingnya statistik dalam kehidupan merupakan filosofi ditetapkannya Hari Statistik. Meningkatkan kesadaran petugas statistik untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data berkualitas dan terpercaya. Meningkatkan kesadaran pemerintah akan arti penting statistik dalam pembangunan, yaitu membangun berbasis data statistik, tidak asal proyek dan kebijakan, karena membangun tanpa data lebih mahal biayanya. Kemudian yang terpenting adalah meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya komponen masyarakat yang menjadi responden petugas statistik dalam kegiatan sensus, survey, maupun kegiatan pencatatan lainnya, untuk lebih memahami manfaat dari statistik yang dikumpulkan, sehingga semua mau menjawab pertanyaan dan memberikan data sebenarnya ketika terpilih menjadi responden. Pada akhirnya ketika respon rate tinggi, kualitas data statistik berkualitas dan terpercaya untuk semua pun dapat disajikan. Semoga ke depan dengan diperingatinya Hari Statistik Nasional setiap tanggal 26 September tingkat kesadaran masyarakat akan arti dan petingnya statistik semakin meningkat. Sudahkah kita sadar statistik? ***
  
 

Bandung (kembali) diguyur hujan

Bandung kembali diguyur hujan, siang ini dari lantai 5 gedung kantor,...... menikmati hujan yang derasnya luar biasa... kilat, petir, gel...