Kamis, 09 Oktober 2014
Istri-Istri Nabi Muhammad SAW
Istri-istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wanita-wanita mulia di dunia dan di akhirat. Mereka akan tetap mendampingi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga di surga kelak. Mereka juga merupakan ibu dari orang-orang yang beriman, karena itu sebutan ummul mukminin senantiasa disematkan di nama-nama mereka. Allah Ta’ala berfirman,
النَّبِيُّ أَوْلَىٰ بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka…” (QS. Al-Ahzab: 6).
Jika istri-istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibu orang-orang yang beriman, alangkah ironisnya ketika orang-orang mukmin tidak mengenal ibu mereka sendiri. Berikut ini adalah profil singkat dari 11 istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pertama, Khadijah binti Khuwailid.
Ummul mukminin Khadijah radhiallahu ‘anha adalah wanita Quraisy yang terkenal dengan kemualiaannya, baik dari sisi nasab maupun akhlaknya. Nasabnya bertemu dengan Nabi pada kakek kelima, karena itu beliau adalah istri Nabi yang memiliki kekerabatan paling dekat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dilahirkan pada tahun 68 sebelum hijrah, ibunda Khadijah sempat mengalami fase jahiliyah namun hal itu tidak mempengaruhi perangai dan kepribadiannya yang mulia. Ia adalah wanita pertama, bahkan orang pertama yang beriman kepada kerasulan sang suami, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada sedikit pun kalimat-kalimat penolakan, mendustakan risalah, atau yang membuat Nabi sedih. Di saat-saat berat awal menerima wahyu, Khadijah selalu menyemangati dan menguatkan sang suami.
Saat berusia 4o tahun, Khadijah dinikahi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pernikahan itu terjadi pada tahun 25 sebelum hijrah dan saat itu sang suami pun genap berusia 25 tahun. Rumah tangga yang suci ini berlangsung selama 25 tahun. Dan keduanya dianugerahi 6 orang anak; 2 laki-laki dan 4 perempuan. Mereka adalah Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Qultsum, dan Fatimah.
Ummul mukminin, Khadijah radhiallahu ‘anha wafat pada usia 65 tahun, 3 tahun sebelum hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah.
Kedua, Saudah binti Zam’ah
Saudah binti Zam’ah adalah seorang wanita Quraisy dari Bani ‘Amir. Sebagian sejarawan menyatakan tidak ada catatan yang bisa dijadikan rujukan kuat mengenai tahun kelahiran beliau. Ummul mukmini Saudah binti Zam’ah radhiallahu ‘anha adalah janda dari sahabat as-Sakran bin Amr radhiallahu ‘anhu. Bersama as-Sakran ia memiliki 5 orang anak.
Karena itu tidak diketahui pula usianya saat menikah dengan Nabi dan berapa tahun usianya saat wafat. Namun ada yang mengatakan bahwa usinya saat menikah dengan Nabi adalah 55 tahun. Ibunda Saudah dinikahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat 3 tahun sebelum hijrah.
Pernikahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Saudah binti Zam’ah adalah bantahan yang telak bagi orang-orang yang menuduh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tuduhan keji terkait hubungan beliau dengan wanita. Saat Nabi tengah dirundung duka karena wafat Khadijah sang istri tercinta, Khoulah binti Hakim datang menyarankan agar beliau menikah. Khoulah mengajukan dua nama Saudah atau Aisyah. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih Saudah binti Zam’ah. Beliau memilih wanita yang tua usianya dibanding Aisyah yang masih muda. Setelah pernikahan itu berusia 3 tahun lebih barulah Nabi menikahi Aisyah. Kalau tuduhan orang-orang yang dengki terhadap Islam itu benar, niscaya beliau lebih mengutamakan wanita-wanita muda dan gadis untuk dijadikan pedamping beliau setelah Khadijah.
Ummul mukminin Saudah binti Zam’ah wafat di akhir pemerintahan Umar bin al-Khattab tahun 54 H.
Ketiga, Aisyah binti Abu Bakar
Salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling dikenal oleh umatnya adalah Aisyah radhiallahu ‘anha. Ummul mukminin Aisyah memiliki banyak keistimewaan yang tidak dimiliki oleh ummahatul mukminin yang lain. Di antaranya, dialah satu-satunya istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah turunkan wahyu dari atas langit ketujuh untuk membela kehormatannya. Bukan satu atau dua ayat, tapi Allah firmankan 10 ayat (QS. An-Nur: 11-20) yang membela kehormatan Aisyah radhiallahu ‘anha dan terus-menerus dibaca hingga hari kiamat. Menodai kehormatan Aisyah sama saja mengingkari Alquran. Oleh karena itu, para ulama memvonis kafir orang-orang yang merendahkan kehormatan Aisyah radhiallahu ‘anha.
Ummul mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha dilahirkan pada tahun ke-7 sebelum hijrah. Ia adalah seorang wanita Quraisy putri dari laki-laki yang paling mulia setelah para nabi dan rasul, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu dan ibunya adalah Ummu Ruman radhiallahu ‘anha.
Sebelum menikahi Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya 3 malam berturut-turut dalam mimpinya dan mimpi Nabi adalah wahyu. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan mimpinya,
رأيتُك في المنام ثلاث ليال ، جاء بك الملك في سرقة من حرير، فيقول : هذه امرأتك فأكشف عن وجهك فإذا أنت فيه، فأقول : إن يك هذا من عند الله يُمضه
“Aku melihatmu (Aisyah) dalam mimpiku selama tiga malam. Malaikat datang membawamu dengan mengenakan pakaian sutra putih. Malaikat itu berkata, ‘Ini adalah istrimu’. Lalu kusingkapkan penutup wajahmu, ternyata itu adalah dirimu. Aku bergumam, ‘Seandainya mimpi ini datangnya dari Allah, pasti Dia akan menjadikannya nyata’. (HR. Bukhari dan Muslim).
Jadi, Nabi menikahi Aisyah adalah perintah dari Allah Ta’ala.
Aisyah dinikahi Rasulullah saat berusia 9 (terhitung sejak Rasulullah bercampur dengan Aisyah) tahun dan rumah tangga yang suci ini berlangsung selama 9 tahun pula. Aisyah menuturkan,
تزوجني رسول الله صلى الله عليه وسلم لست سنين ، وبنى بي وأنا بنت تسع سنين
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku saat aku berusia 6 tahun dan berumah tangga bersamaku (menggauliku) saat aku berusia 9 tahun.” (Muttafaq’ alaihi).
Umur Aisyah yang sangat dini menjadi polemik di masa kini. Karena orang-orang sekarang menimbang masa lalu dengan kaca mata masa kini. Padahal tidak ada satu pun orang-orang kafir Quraisy, Abu Jahal dkk., mencela pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengna Aisyah. Kita ketahui orang-orang kafir Quraisy mengerahkan segala cara untuk menjatuhkan kedudukan Rasulullah, hingga fitnah yang di luar nalar pun akan mereka lakukan demi rusaknya imge Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah manusia. Mereka menyebut beliau pendusta dan tukang sihir setelah mereka sendiri menggelarinya al-amin. Artinya, nalar Abu Jahal dkk. tidak terpikir untuk mencela Rasulullah yang menikahi Aisyah yang masih sangat muda.
Salah satu hikmah dari pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Aisyah radhiallahu ‘anha adalah menghapus anggapan orang-orang terdahulu yang menjadi norma yang berlaku di antara mereka yaitu ketika seseorang sudah bersahabat dekat, maka status mereka layaknya saudara kandung dan berlaku hukum-hukum saudara kandung. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sahabat dekat. Ketika Rasulullah hendak menikahi Aisyah, Abu Bakar sempat mempertanyakannya, karena ia merasa apakah yang demikian dihalalkan.
عن عروة أن النبي صلى الله عليه وسلم خطب عائشة إلى أبي بكر فقال له أبو بكر: إنما أنا أخوك، فقال: أنت أخي في دين الله وكتابه وهي لي حلال.
Dari Aurah, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dating kepada Abu Bakar untuk melamar Aisyah. Lalu Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya aku ini saudaramu’. Nabi menjawab, ‘Iya, engkau saudaraku dalam agama Allah Allah dan Kitab-Nya dan ia (anak perempuanmu) itu halal bagiku’.” (HR. Bukhari).
Rasulullah hendak memutus kesalahpahaman ini dan mengajarkan hukum yang benar yang berlaku hingga hari kiamat kelak.
Keempat, Hafshah binti Umar bin al-Khattab.
Wanita Quraisy berikutnya yang merupakan ibu dari orang-orang yang beriman adalah Hafshah putri dari Umar al-faruq. Hafshah dilahirkan pada tahun ke-18 sebelum hijrah. Sebelum menikah dengan Rasulullah, Hafshah adalah istri dari pahlawan Perang Badar, Khunais bin Khudzafah as-Sahmi radhiallahu ‘anhu. Bersama Khunais, Hafshah mengalami dua kali hijrah, ke Habasyah lalu ke Madinah. Khunais radhiallahu ‘anhu wafat karena luka yang ia derita saat Perang Badar.
Setelah Khunais radhiallahu ‘anhu wafat, Umar berusaha mencarikan laki-laki terbaik untuk menjadi suami putrinya ini. Ia mendatangi Abu Bakar dan Utsman, namun keduanya bukanlah jodoh bagi anak perempuannya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminang Hafshah. Betapa bahagianya Umar, selain menjadi sahabat Rasulullah, ia pun mendapatkan kehormatan dengan memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi yang mulia.
Pernikahan Hafshah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terjadi pada tahun ke-3 H. saat itu usia Hafshah adalah 21 tahun. Ia hidup bersama Rasulullah, membangun keluarga selama 8 tahun. Saat usianya menginjak 29 tahun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Dan Hafshah wafat pada usia 63 tahun tahun 45 H, pada masa pemerintahan Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.
Kelima, Zainab binti Khuzaimah.
Keistimewaan ummul mukminin Zainab binti Khuzaimah adalah ringannya beliau dalam berderma. Karena hal ini, ia dijuluki ibunya orang-orang miskin. Zainab binti Khuzaimah adalah seorang wanita Quraisy janda dari pahlawan Perang Uhud, Abdullah bin Jahsy radhiallahu ‘anhu.
Setelah menjanda, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya di bulan Ramadhan tahun 3 H. Namun kebersamaannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah berlangsung lama. Ummul mukminin Zainab bin Khuzaimah wafat saat pernikahannya dengan Rasulullah baru berumur 8 bulan atau bahkan kurang dari itu. Dan saat itu usia Zainab radhiallahu ‘anha 30 tahun. Dengan demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dua kali merasakan wafat ditinggal istrinya.
Keenam, Ummu Salamah.
Nama Ummu Salamah adalah Hindun binti Umayyah. Ia adalah wanita Bani Makhzum anak dari salah seorang yang paling dermawan dari kalangan Quraisy, Umayyah bin al-Mughirah. Sebelum menikah dengan Rasulullah, suaminya adalah seorang muhajirin yang pertama-tama memeluk Islam, ia adalah Abu Salamah Abdullah bin Abdul Asad al-Makhzumi al-Qurasyi.
Ummu Salam dilahirkan pada tahun 24 sebelum hijrah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya di tahun 4 H. Saat itu usianya menginjak 28 tahun. Hikmah dari pernikahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Ummu Salamah adalah pemuliaan terhadap Ummu Salamah radhiallahu ‘anha. Ia dan suaminya adalah orang yang memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam sebagai orang-orang pertama menyambut dakwah Islam. Ummu Salamah juga memiliki 4 orang anak yang menjadi yatim. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi penanggungnya dan keempat anaknya.
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha memiliki usia cukup panjang, 85 tahun. Ia wafat pada tahun 61 H, pada saat pemerintahan Yazid bin Muawiyah.
Ketujuh, Zainab binti Jahsy.
Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy dilahirkan pada tahun 32 sebelum hijrah. Ibunya adalah Umaimah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ummul mukminin Zainab binti Jahsy adalah wanita terhormat saudari dari Abdullah bin Jahsy, sang pahlawan Perang Uhud yang dimakamkan satu liang dengan paman Nabi, Hamzah bin Abdul Muthalib radhiallahu ‘anhu.
Sebelum menjadi istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Zainab adalah istri dari anak angkat Nabi yakni Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu. Pernikahan keduanya tidak berjalan langgeng karena perbedaan kafa-ah. Akhirnya perceraian pun terjadi.
Lalu Zainab dinikahi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu, Zainab berusia 37 tahun. Berjalanlah biduk rumah tangga Rasulullah dengan Zainab selama 6 tahun, hingga Rasulullah wafat. Di antara keistimewaan Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anha adalah Allah Ta’ala yang menjadi walinya saat menikah dengan Rasulullah.
Di antara hikmah pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab adalah meluruskan budaya yang keliru pada masyarakat kala itu. Orang-orang saat itu beranggapan bahwa anak angkat sama statusnya dengan anak kandung. Anggapan ini tentu saja akan berdampak pada hukum-hukum syariat yang lainnya; waris, mahram, pernikahan, dll. Tradisi dan anggapan ini kian mengakar di masyarakat Islam pada saat itu sehingga perlu diluruskan. Karena itu, Allah Ta’ala memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikahi Zainab binti Jahys radhiallahu ‘anha, untuk menghapus anggapan demikian. Jika tidak anggapan ini akan berdampak berat bagi umat manusia, secara khusus lagi umat Islam.
Ummul mukminin Zainab binti Jahsy radhiallahu ‘anha wafat pada masa pemerintahan Umar bin al-Khattab tahun 21 H dengan usia 53 tahun.
Kedelapan, Juwairiyah binti al-Harits bin Abi Dhirar. .......bersambung
Rabu, 08 Oktober 2014
Jumat, 26 September 2014
Produk Domestik Regional Bruto Kota Bandung Tahun 2010 - 2013
Capaian kinerja perekonomian Kota Bandung dapat
dinilai melalui berbagai indikator capaian. Salah satu indikator yang biasa
digunakan untuk menilai capaian kinerja perekonomian adalah melalui Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB Kota Bandung atas dasar harga berlaku pada
tahun 2013 mencapai 130,21 trilyun rupiah. Jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, mengalami peningkatan sebesar 17,18 persen, dimana nilai PDRB atas
dasar harga berlaku tahun 2012 mencapai 111,12 trilyun rupiah.Untuk
membandingkan capaian produktivitas berbagai sektor ekonomi biasanya digunakan
indikator PDRB atas dasar harga konstan, dimana melalui indikator ini dapat
dilihat laju produktivitas kinerja secara riil, tanpa adanya pengaruh inflasi
atau kenaikan harga, dimana penilaian harga menggunakan harga pada tahun dasar.
PDRB atas dasar harga konstan yang digunakan dalam publikasi ini adalah PDRB
atas dasar harga konstan tahun 2000. PDRB atas dasar harga konstan tahun 2013
mencapai 40,89 trilyun rupiah atau meningkat sebesar 8,87 persen dari tahun
2012 yang mencapai 37,56 trilyun rupiah. Gambaran tinjauan ekonomi regional
diantaranya dapat ditunjukkan melalui gambaran struktur ekonomi, laju
pertumbuhan ekonomi, serta pendapatan per kapita (PDRB per kapita).
Struktur Ekonomi
Potensi sumber daya alam
yang dimiliki Kota Bandung tidak mendukung untuk menjadikan Kota Bandung
sebagai daerah potensi sektor pertanian maupun pertambangan (sektor primer).
Pada tahun 2000 peranan sektor primer dalam pembentukan PDRB Kota Bandung hanya
mencapai 0,51 persen. Semakin tahun peranan sektor primer semakin menurun,
hingga pada tahun 2013 hanya berperan sebesar 0,20 persen terhadap total PDRB
atau mencapai 255,65 milyar rupiah.
Sektor sekunder
pada tahun 2013 memberikan peranan sebesar 28,70 persen terhadap total PDRB
Kota Bandung atau sebesar 37,37 trilyun rupiah. Sama halnya dengan sektor
primer, peranan sektor sekunder di Kota Bandung sejak tahun 2010 mengalami
penurunan. Jika pada tahun 2010 berperan sebesar 31,35 persen dan pada tahun
2013 turun menjadi 28,70 persen. Adapun sektor tersier sebagai penyumbang
terbesar dalam pembentukan PDRB Kota Bandung menunjukkan peranan yang semakin
meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2010 sektor tersier berperan
sebesar 68,45 persen atau sebesar 56,13 trilyun rupiah dan meningkat menjadi
92,59 trilyun rupiah atau sekitar 71,11 persen terhadap total PDRB Kota
Bandung. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, maka peranan sektor tersier
mengalami peningkatan sebesar 1,08 persen dibandingkan tahun 2012. Peningkatan
peranan sektor tersier menunjukkan struktur Kota Bandung yang sudah bergeser ke
sektor jasa.
*
|
Kelompok sektor tersier menopang
71,11% perekonomian Kota Bandung
*
|
Pergeseran
struktur ekonomi dari sektor industri pengolahan menuju sektor perdagangan,
hotel dan restoran (atau dari sektor sekunder ke sektor tersier), dikarenakan
semakin sempitnya lahan untuk kegiatan industri, sehingga kegiatan industri di
perkotaan pindah ke daerah pinggiran kota sebagai daerah penyangga ibukota
provinsi. Beberapa kegiatan pada sektor industri di Kota Bandung yang masih
dapat dikembangkan untuk mendukung perekonomian Kota Bandung adalah industri
kreatif yang semakin banyak tumbuh di Kota Bandung.
Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian Kota Bandung
pada tahun 2013 mampu tumbuh sebesar 8,87 persen. Jika dibandingkan dengan
tahun sebelumnya maka telah terjadi perlambatan ekonomi, dimana pada tahun 2012
perekonomian Kota Bandung mampu tumbuh sebesar 8,98 persen. Perlambatan ekonomi
yang terjadi di Kota Bandung jika dilihat dari sisi lapangan usaha (penawaran)
disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan beberapa sektor ekonomi. Sektor ekonomi
yang paling mempengaruhi melambatnya pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 adalah
sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Melambatnya pertumbuhan ekonomi sektor
perdagangan, hotel, dan restoran dikarenakan terjadinya perlambatan impor
ke Kota Bandung.
Terdapat satu hal yang
perlu disadari terkait dengan angka LPE. Tingginya LPE Kota Bandung menunjukkan
tingginya kinerja ekonomi dari sektor-sektor ekonomi yang ada di Kota Bandung,
yaitu terjadi peningkatan kinerja produksi dari berbagai kegiatan ekonomi yang
ada. Namun ada kalanya tingginya LPE ini tidak sejalan dengan tingginya tingkat
daya beli masyarakat atau pendapatan masyarakat. Perlu dipahami bahwa sebagian
besar usaha-usaha besar di Kota Bandung kepemilikannya adalah penduduk luar
Kota Bandung sehingga tingginya pertumbuhan tersebut seringkali hanya dinikmati
oleh beberapa lapisan masyarakat saja. Adapun sebagian besar masyarakat yang
juga ikut berpartisipasi dalam proses ekonomi khususnya yang berstatus sebagai
buruh atau karyawan, hanya menikmati sebagian kecil saja dari pertumbuhan
tersebut. Walaupun secara ilmu ekonomi akan terjadi transfer in and transfer
out ketika ada usaha di luar Kota Bandung yang dimiliki oleh penduduk Kota
Bandung dan usaha di Kota Bandung yang dimiliki oleh penduduk luar Kota
Bandung. Walaupun seringkali hal ini menjadi perdebatan, LPE tinggi tetapi daya
beli masyarakat masih rendah. LPE dihitung berdasarkan perkembangan PDRB suatu
wilayah, yaitu perkembangan dari aktivitas ekonomi yang terjadi di suatu
wilayah. Adapun daya beli masyarakat adalah tingkat kemampuan masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan pokoknya, dan belum tentu mereka menikmati pertumbuhan yang
tinggi. Oleh karena itu upaya percepatan pertumbuhan saja tidak cukup, yang
lebih penting adalah bagaimana angka pertumbuhan tersebut bisa dinikmati oleh
seluruh lapisan masyarakat. Yang perlu dicapai adalah adanya pemerataan
pendapatan masyarakat sehingga pendapatan per kapita adalah riil bisa
dinikmati.
more.......
Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Kota Bandung 2010-2014
Kamis, 25 September 2014
Mengapa Hasil Quick Count Berbeda?
dapet share artikel ini dari seorang teman beberapa bulan lalu,
disaat semua sibuk mempertanyakan hasil quick count,
yang secara ajaib bisa berbeda secara nyata he he,...
disaat semua sibuk mempertanyakan hasil quick count,
yang secara ajaib bisa berbeda secara nyata he he,...
Mengapa Hasil Quick Count
Bisa Berbeda?
16 Juli 2014 13:08 WIB
SETIAP usai pemilu atau pilkada, hasil quick
count adalah sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu oleh para konstestan dan
juga masyarakat luas. Tidak jarang para kontestan kemudian mendeklarasikan
kemenangan mereka berdasarkan hasil quick count, tanpa harus menunggu
hasil real count.
Dalam banyak kesempatan, hasil quick count beberapa lembaga memang sangat mirip dengan real count. Ini yang sepertinya dijadikan argumen bahwa hasil quick count bisa menjadi acuan real count.
Maka ketika pada pilpres yang baru saja berlalu, hasil-hasil quick count yang dirilis berbagai lembaga saling bertolak belakang, maka tudingan bahwa hasil beberapa lembaga itu tidak valid dan merupakan ‘pesanan’ pun bermunculan.
Untuk memahami keberagaman hasil quick count ini, harus dipahami kalau quick count adalah suatu metode untuk menduga hasil real count secara cepat. Karena harus dilakukan secara cepat, hasil quick count hanya berdasarkan data dari sebagian kecil saja dari populasi tempat pemungutan suara (TPS) di Indonesia.
Agar hasil quick count bisa dipertanggungjawabkan, pemilihan TPS yang masuk dalam perhitungan harus benar-benar dilakukan secara acak (random) dan representatif. Prinsip acak dan representatif ini sangat penting sekali, karena kalau pemilihan TPS didominasi oleh TPS yang ‘dikuasai’ oleh salah satu kontestan, maka hasil quick count tidak valid dan tidak dapat digunakan untuk menduga real count.
Sekarang marilah kita berbaik sangka dan katakanlah semua lembaga tersebut menerapkan prinsip acak dengan tepat dan menggunakan metode sampling yang sama. Lalu mengapa hasilnya bisa berbeda? Jawabannya terletak pada prinsip acak itu tadi, kalau dua lembaga mengambil contoh TPS secara acak, maka hampir dapat dipastikan TPS-TPS yang mereka pilih tidak akan ada yang sama. Kalaupun ada yang sama, jumlahnya akan sedikit sekali. Sehingga sangat wajar kalau hasilnya pun akan berbeda.
Pertanyaannya perbedaan antarlembaga sebesar apakah yang dapat dianggap wajar? Bagaimana pula kalau ada lembaga quick count yang hasilnya jauh dari hasil real count?
Untuk menjawab kedua pertanyaan di atas, kita dapat menggunakan kaidah ilmu statistika dengan asumsi bahwa sampel dipilih secara acak dan representatif, data analisis dilakukan dengan pembobotan yang benar dan tidak ada human error seperti data entry error dalam tabulasi hasil quick count.
Karena quick count bukan merupakan pengganti real count, melainkan hanya dapat digunakan untuk menduga saja, maka hasil akhir quick count adalah berupa suatu selang (interval) yang diyakini hasil real count akan berada di dalam selang tersebut. Lebar selang ini diwakili oleh dua kali margin of error.
Misalkan hasil sebuah lembaga menyatakan salah satu kontestan memperoleh 55% suara, dengan margin of error 1%, ini artinya lembaga tersebut berkeyakinan (berdasarkan data yang ada) kalau hasil real count akan berada di interval antara 54% and 56%. Tapi yang tidak diungkap atau kurang dipahami oleh banyak lembaga survei, bahwa interval yang dihasilkan yang lebarnya dua kali margin of error itu tidak akan selalu memuat hasil real count yang sebenarnya. Mengapa? Karena bedasarkan kaidah Central Limit Theorem, misalkan di suatu negara ‘antah berantah’ ada 100 lembaga survei melakukan quick count, maka dapat dipastikan sekitar 5 dari 100 lembaga (5%) ini akan menghasilkan interval pendugaan yang tidak akan memuat hasil real count.
Jadi bukan saja quick count memiliki margin of error, tetapi bahkan 5% dari hasilnya pun bisa meleset dari real count, walaupun metode sampling dan pengacakan yang mereka gunakan sudah benar! Di dalam istilah ilmu statistika, melesetnya interval hasil quick count ini dinamakan type I error. Karena itu, saya menyarankan kalau ke depannya hasil quick count dinyatakan dalam interval yang lebarnya empat kali margin of error, bukan dua kali margin of error.
Dengan interval yang lebih lebar ini, masih dengan menggunakan Central Limit Theorem, hampir akan mustahil mendapati interval yang tidak memuat hasil real count.
Lalu bagaimana dengan variasi hasil antar lembaga survei? Kalau implementasi survei dilakukan dengan benar, seharusnya hampir mustahil menemukan dua lembaga survei yang hasilnya berbeda lebih dari empat kali margin of error. Kita ambil contoh, dengan margin of error 1%, maka hasil antarlembaga seyogianya tidak akan berbeda lebih dari 4%. Variasi ‘alami’ antarlembaga ini yang potensial menyebabkan kebingungan ketika selisih kemenangan (winning margin) lebih kecil dari empat kali margin of error.
Dalam contoh di atas, kalau salah satu kontestan (A) sesungguhnya meraih 51,5% suara berbanding 48,5% untuk calon lainnya (B) (3% winning margin), maka hasil-hasil quick count untuk kontestan A akan berada dalam interval selebar 4%, antara 49,5% (kontestan B unggul) dan 53,5% (kontestan A unggul). Sehingga, kalau winning margin lebih kecil dari empat kali margin of error, sangatlah tidak bijak kalau hasil quick count digunakan untuk memprediksi pemenang.
Penggunaan angka margin of error yang tepat sangatlah penting, karena margin of error mengukur tingkat ketelitian suatu survei. Sebagian besar lembagai survei di Indonesia, saya duga, menggunakan multi-stage atau cluster sampling dalam proses quick count, tetapi margin of error dihitung berdasarkan simple random sampling. Secara umum, simple random sampling (SRS) menghasilkan margin of error yang lebih kecil dari multi-stage atau cluster sampling.
Penggunakan margin of error yang tidak tepat ini potensial menimbulkan kebingungan di masyarakat dan kecurigaan akan manipulasi hasil quick count. Mengapa? Sebagai contoh misalkan margin of error yang sesungguhnya dengan menggunakan cluster sampling adalah 2,5%, tetapi sebuah lembaga survei memakai 1% yang berdasarkan SRS, maka kalau ada lembaga lain yang hasilnya berbeda 5%, sudah pasti hasil lembaga yang kedua ini akan dipertanyakan karena melebihi batas wajar antar lembaga yang 4%. Lain halnya kalau memakai margin of error yang sesungguhnya, maka perbedaan 5% masih dapat ditoleransi.
Sayangnya, untuk saat ini saat sulit untuk menghitung margin of error yang sebenarnya dari hasil-hasil quick count di Indonesia, dikarenakan minimnya informasi tentang desain dan implementasi survei tiap-tiap lembaga yang dapat diakses publik.
Agar hasil-hasil quick count tidak membingungkan masyarakat, saya menyarankan di masa mendatang, hasil quick count diberikan dalam bentuk interval yang lebarnya empat kali margin of error (+ 2 margin of error). Penghitungan margin of error harus juga dilakukan menggunakan formula yang mencerminkan desain survei yang digunakan, agar tidak terjadi overclaim terhadap tingkat ketelitian survei.
Audit secara independen terhadap lembaga-lembaga yang menyelenggarakan quick count juga diperlukan bukan hanya agar masyarakat yakin akan keabsahan metodologi dan implementasi yang digunakan, tetapi juga untuk memperkecil risiko non sampling error yang berpotensi melebarkan perbedaan hasil antarlembaga.
Bagi lembaga survei penyelenggara quick count, ke depannya mungkin perlu dipikirkan cara untuk memperkecil margin of error, jika diperkirakan winning margin akan relatif kecil. Dengan margin of error yang lebih kecil, maka akan terdapat peluang yang lebih besar untuk mengambil kesimpulan konklusif dari hasil quick count. Memperkecil margin of error biasanya dilakukan dengan penambahan jumlah TPS yang disurvei. Tetapi juga dapat dipikirkan terobosan baru, misalnya dengan menggabungkan data quick count beberapa lembaga dengan metodologi yang sama. Margin of error yang sangat kecil juga merupakan prasyarat jika quick count akan digunakan untuk memonitor potensi kesalahan pada hasil real count.
Akhirnya, saya percaya jika quick count dilakukan dengan metode yang benar dan memperhatikan prinsip-prinsip acak dan representatif sehinggan non sampling error dapat dihilangkan atau setidaknya diminimisasi, tidak ada alasan untuk tidak meyakini bahwa hasil real count akan berada dalam jarak +2 margin of error dari hasil quick count.
Agus Salim, Ph.D
Alumni Departemen Statistika, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan saat ini adalah Senior Lecturer di Department of Mathematics and Statistics, La Trobe University, Melbourne, Australia. (jri)
Dalam banyak kesempatan, hasil quick count beberapa lembaga memang sangat mirip dengan real count. Ini yang sepertinya dijadikan argumen bahwa hasil quick count bisa menjadi acuan real count.
Maka ketika pada pilpres yang baru saja berlalu, hasil-hasil quick count yang dirilis berbagai lembaga saling bertolak belakang, maka tudingan bahwa hasil beberapa lembaga itu tidak valid dan merupakan ‘pesanan’ pun bermunculan.
Untuk memahami keberagaman hasil quick count ini, harus dipahami kalau quick count adalah suatu metode untuk menduga hasil real count secara cepat. Karena harus dilakukan secara cepat, hasil quick count hanya berdasarkan data dari sebagian kecil saja dari populasi tempat pemungutan suara (TPS) di Indonesia.
Agar hasil quick count bisa dipertanggungjawabkan, pemilihan TPS yang masuk dalam perhitungan harus benar-benar dilakukan secara acak (random) dan representatif. Prinsip acak dan representatif ini sangat penting sekali, karena kalau pemilihan TPS didominasi oleh TPS yang ‘dikuasai’ oleh salah satu kontestan, maka hasil quick count tidak valid dan tidak dapat digunakan untuk menduga real count.
Sekarang marilah kita berbaik sangka dan katakanlah semua lembaga tersebut menerapkan prinsip acak dengan tepat dan menggunakan metode sampling yang sama. Lalu mengapa hasilnya bisa berbeda? Jawabannya terletak pada prinsip acak itu tadi, kalau dua lembaga mengambil contoh TPS secara acak, maka hampir dapat dipastikan TPS-TPS yang mereka pilih tidak akan ada yang sama. Kalaupun ada yang sama, jumlahnya akan sedikit sekali. Sehingga sangat wajar kalau hasilnya pun akan berbeda.
Pertanyaannya perbedaan antarlembaga sebesar apakah yang dapat dianggap wajar? Bagaimana pula kalau ada lembaga quick count yang hasilnya jauh dari hasil real count?
Untuk menjawab kedua pertanyaan di atas, kita dapat menggunakan kaidah ilmu statistika dengan asumsi bahwa sampel dipilih secara acak dan representatif, data analisis dilakukan dengan pembobotan yang benar dan tidak ada human error seperti data entry error dalam tabulasi hasil quick count.
Karena quick count bukan merupakan pengganti real count, melainkan hanya dapat digunakan untuk menduga saja, maka hasil akhir quick count adalah berupa suatu selang (interval) yang diyakini hasil real count akan berada di dalam selang tersebut. Lebar selang ini diwakili oleh dua kali margin of error.
Misalkan hasil sebuah lembaga menyatakan salah satu kontestan memperoleh 55% suara, dengan margin of error 1%, ini artinya lembaga tersebut berkeyakinan (berdasarkan data yang ada) kalau hasil real count akan berada di interval antara 54% and 56%. Tapi yang tidak diungkap atau kurang dipahami oleh banyak lembaga survei, bahwa interval yang dihasilkan yang lebarnya dua kali margin of error itu tidak akan selalu memuat hasil real count yang sebenarnya. Mengapa? Karena bedasarkan kaidah Central Limit Theorem, misalkan di suatu negara ‘antah berantah’ ada 100 lembaga survei melakukan quick count, maka dapat dipastikan sekitar 5 dari 100 lembaga (5%) ini akan menghasilkan interval pendugaan yang tidak akan memuat hasil real count.
Jadi bukan saja quick count memiliki margin of error, tetapi bahkan 5% dari hasilnya pun bisa meleset dari real count, walaupun metode sampling dan pengacakan yang mereka gunakan sudah benar! Di dalam istilah ilmu statistika, melesetnya interval hasil quick count ini dinamakan type I error. Karena itu, saya menyarankan kalau ke depannya hasil quick count dinyatakan dalam interval yang lebarnya empat kali margin of error, bukan dua kali margin of error.
Dengan interval yang lebih lebar ini, masih dengan menggunakan Central Limit Theorem, hampir akan mustahil mendapati interval yang tidak memuat hasil real count.
Lalu bagaimana dengan variasi hasil antar lembaga survei? Kalau implementasi survei dilakukan dengan benar, seharusnya hampir mustahil menemukan dua lembaga survei yang hasilnya berbeda lebih dari empat kali margin of error. Kita ambil contoh, dengan margin of error 1%, maka hasil antarlembaga seyogianya tidak akan berbeda lebih dari 4%. Variasi ‘alami’ antarlembaga ini yang potensial menyebabkan kebingungan ketika selisih kemenangan (winning margin) lebih kecil dari empat kali margin of error.
Dalam contoh di atas, kalau salah satu kontestan (A) sesungguhnya meraih 51,5% suara berbanding 48,5% untuk calon lainnya (B) (3% winning margin), maka hasil-hasil quick count untuk kontestan A akan berada dalam interval selebar 4%, antara 49,5% (kontestan B unggul) dan 53,5% (kontestan A unggul). Sehingga, kalau winning margin lebih kecil dari empat kali margin of error, sangatlah tidak bijak kalau hasil quick count digunakan untuk memprediksi pemenang.
Penggunaan angka margin of error yang tepat sangatlah penting, karena margin of error mengukur tingkat ketelitian suatu survei. Sebagian besar lembagai survei di Indonesia, saya duga, menggunakan multi-stage atau cluster sampling dalam proses quick count, tetapi margin of error dihitung berdasarkan simple random sampling. Secara umum, simple random sampling (SRS) menghasilkan margin of error yang lebih kecil dari multi-stage atau cluster sampling.
Penggunakan margin of error yang tidak tepat ini potensial menimbulkan kebingungan di masyarakat dan kecurigaan akan manipulasi hasil quick count. Mengapa? Sebagai contoh misalkan margin of error yang sesungguhnya dengan menggunakan cluster sampling adalah 2,5%, tetapi sebuah lembaga survei memakai 1% yang berdasarkan SRS, maka kalau ada lembaga lain yang hasilnya berbeda 5%, sudah pasti hasil lembaga yang kedua ini akan dipertanyakan karena melebihi batas wajar antar lembaga yang 4%. Lain halnya kalau memakai margin of error yang sesungguhnya, maka perbedaan 5% masih dapat ditoleransi.
Sayangnya, untuk saat ini saat sulit untuk menghitung margin of error yang sebenarnya dari hasil-hasil quick count di Indonesia, dikarenakan minimnya informasi tentang desain dan implementasi survei tiap-tiap lembaga yang dapat diakses publik.
Agar hasil-hasil quick count tidak membingungkan masyarakat, saya menyarankan di masa mendatang, hasil quick count diberikan dalam bentuk interval yang lebarnya empat kali margin of error (+ 2 margin of error). Penghitungan margin of error harus juga dilakukan menggunakan formula yang mencerminkan desain survei yang digunakan, agar tidak terjadi overclaim terhadap tingkat ketelitian survei.
Audit secara independen terhadap lembaga-lembaga yang menyelenggarakan quick count juga diperlukan bukan hanya agar masyarakat yakin akan keabsahan metodologi dan implementasi yang digunakan, tetapi juga untuk memperkecil risiko non sampling error yang berpotensi melebarkan perbedaan hasil antarlembaga.
Bagi lembaga survei penyelenggara quick count, ke depannya mungkin perlu dipikirkan cara untuk memperkecil margin of error, jika diperkirakan winning margin akan relatif kecil. Dengan margin of error yang lebih kecil, maka akan terdapat peluang yang lebih besar untuk mengambil kesimpulan konklusif dari hasil quick count. Memperkecil margin of error biasanya dilakukan dengan penambahan jumlah TPS yang disurvei. Tetapi juga dapat dipikirkan terobosan baru, misalnya dengan menggabungkan data quick count beberapa lembaga dengan metodologi yang sama. Margin of error yang sangat kecil juga merupakan prasyarat jika quick count akan digunakan untuk memonitor potensi kesalahan pada hasil real count.
Akhirnya, saya percaya jika quick count dilakukan dengan metode yang benar dan memperhatikan prinsip-prinsip acak dan representatif sehinggan non sampling error dapat dihilangkan atau setidaknya diminimisasi, tidak ada alasan untuk tidak meyakini bahwa hasil real count akan berada dalam jarak +2 margin of error dari hasil quick count.
Agus Salim, Ph.D
Alumni Departemen Statistika, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan saat ini adalah Senior Lecturer di Department of Mathematics and Statistics, La Trobe University, Melbourne, Australia. (jri)
Rabu, 24 September 2014
Pemberdayaan Masyarakat Sadar Statistik
Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Kota
Bandung pada tahun 2012 mencapai 8,98 persen, artinya rata-rata kinerja sektor-sektor
ekonomi nasional pada tahun 2012 mengalami peningkatan sebesar 8,98 persen jika dibandingkan kinerja tahun 2011,
dengan laju inflasi mencapai 4,02 persen. Adapun pada tahun 2013 LPE Kota
Bandung mengalami perlambatan menjadi 8,87 persen dengan laju inflasi mencapai
7,97 persen. Ya, laju
pertumbuhan ekonomi dan inflasi adalah sebagian kecil dari indikator statistik
yang biasa digunakan masyarakat untuk memperoleh gambaran makro perekonomian.
Sebetulnya tanpa kita sadari dalam kehidupan
sehari-hari kita sudah terbiasa melakukan statistik, karena statistik merupakan
kumpulan data-data yang
diperoleh dari pencatatan kejadian sejenis dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita mencatat pengeluaran harian
misalnya, kita sudah melakukan statisik. Adapun konsep statistik menurut Undang-Undang Statistik (UU No 16 Tahun 1997), definisi dari statistik adalah
data yang diperoleh dengan cara pengumpulan, pengolahan, penyajian, dan
analisis serta sebagai sistem yang mengatur keterkaitan antar unsur dalam
penyelenggaraan statistik. Dengan demikian,
sebetulnya kegiatan statistik memang sudah sering kita lakukan atau kita
ketahui, kadang tanpa kita sadari.
Sejarah Kegiatan Statistik di Indonesia
Suwandi dalam “Sejarah Hari Statistik” (2004) menjelaskan
bahwa pada masa pemerintahan
Hindia Belanda sekitar bulan Februari 1920 Kantor Statistik untuk
pertama kali didirikan oleh Direktur
Pertanian dan Perdagangan (Directeur van Landbouw
Nijverheid en Handel) yang berkedudukan di Bogor. Kemudian pada bulan Maret
1923 dibentuk suatu komisi yang bernama Komisi untuk Statistik yang
anggotanya merupakan wakil-wakil
dari tiap-tiap departemen. Tugas dari komisi ini adalah merencanakan
kegiatan untuk pencapaian
kesatuan dalam kegiatan bidang statistik di Indonesia. Pada tanggal 24
September 1924 nama lembaga tersebut diganti dengan nama Centraal Kantoor
voor de Statistiek (CKS) atau Kantor
Pusat Statistik, dan lokasinya dipindahkan ke Jakarta. Bersamaan dengan itu
beralih pula pekerjaan mekanisasi
Statistik Perdagangan yang semula dilakukan oleh Kantor Invoer-Uitvoer en Accijsen (IUA) yang sekarang
disebut Kantor Bea
dan Cukai, diserahkan ke CKS.
Pasa masa penjajahan Jepang, Pemerintah Jepang mengaktifkan
kembali kegiatan statistik yang
difokuskan untuk memenuhi kebutuhan perang/militer
(Juni 1942). CKS diganti namanya menjadi
Shomubu Chosasitsu Gunseikanbu. Setelah
Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia tanggal
17 Agustus 1945 kegiatan
statistik tidak lagi ditangani oleh Chosasitsu
Gunseikanbu tetapi oleh lembaga/instansi baru sesuai dengan suasana
kemerdekaan yaitu Kantor
Penyelidikan Perangkaan Umum Republik
Indonesia (KAPPURI). Tahun 1946
kantor KAPPURI dipindahkan ke Yogyakarta
sebagai konsekuensi dari Perjanjian
Linggarjati. Sementara itu Pemerintah Belanda (NICA) di Jakarta
mengaktifkan kembali CKS.
Berdasarkan surat Edaran
Kementerian Kemakmuran tanggal 12 Juni 1950 Nomor 219/S.C, KAPPURI
dan CKS dilebur menjadi Kantor Pusat Statistik
(KPS), yang berada di bawah
dan bertanggung jawab kepada
Menteri Kemakmuran. Kemudian berdasarkan
surat Menteri Perekonomian tanggal 1 Mei 1952 nomor P/44,
lembaga KPS berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Perekonomian.
Selanjutnya dengan keputusan Menteri Perekonomian tanggal 24
Desember 1953 Nomor 18.099/M, KPS dibagi menjadi 2 (dua)
bagian, yaitu Bagian Riset yang disebut Afdeling A dan Bagian
Penyelenggaraan dan Tata Usaha yang disebut Afdeling B. Dengan Keputusan
Presiden RI Nomor 131 tahun 1957, Kementerian Perekonomian dipecah menjadi
Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Terhitung mulai 1 Juni
1957 KPS diubah menjadi Biro Pusat Statistik (BPS), urusan statistik yang semula menjadi tanggung
jawab dan wewenang Menteri Perekonomian dialihkan menjadi wewenang BPS dan
berada dibawah Perdana Menteri. Berdasarkan Keputusan Presiden ini pula secara
formal nama Biro Pusat Statistik dipergunakan.
Memenuhi anjuran PBB
agar setiap negara anggota
menyelenggarakan Sensus Penduduk
secara serentak, maka
pada tanggal 24 September 1960 diundangkan Undang-undang Nomor
6 tahun 1960 tentang
Sensus, sebagai pengganti Volkstelling Ordonantie 1930.
Pada tanggal 26 September 1960
diundangkan Undang-undang nomor 7 tahun 1960 tentang Statistik, mengingat
kebutuhan data bagi
Perencanaan Pembangunan
Semesta Berencana serta
Statistiek Ordonantie 1934 dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan
cepatnya kemajuan yang dicapai Indonesia. Berdasarkan keputusan
Presidium Kabinet Republik Indonesia Nomor Aa/C/9 tahun 1965, maka
setiap daerah tingkat I dan tingkat II dibentuk Kantor Cabang Biro Pusat
Statistik dengan nama Kantor Sensus dan
Statistik (KSS) yang
bertugas menjalankan kegiatan statistik di daerah. Di setiap daerah
administrasi kecamatan, dapat diangkat seorang atau lebih pegawai yang
merupakan pegawai KSS di tingkat II dan ditempatkan di bawah Camat.
Pada tanggal 28 Juni 1996 Kepala BPS kala itu Sugito,
menghadap Presiden Soeharto guna melaporkan berbagai
kegiatan statistik, termasuk permohonan
penetapan Hari Statistik. Berdasarkan
surat nomor B.259/M.Sesneg/1996
tanggal 12 Agustus 1996 disetujui tanggal 26 September sebagai Hari Statistik.
Pertama kali Hari Statistik diperingati pada 26 September 1996.
Hari Statistik
Mungkin hanya sebagian masyarakat yang mengetahui
bahwa setiap tanggal 26 September diperingati sebagai Hari Statistik Nasional.
Hari statistik bukan hanya milik insan statistik atau pegawai Badan Pusat
Statistik saja, melainkan milik seluruh rakyat Indonesia. Tidak hanya di Indonesia, namun di berbagai
negara berkembang dan negara maju. PBB pun sejak tahun 2010 telah menetapkan
tanggal 20 Oktober sebagai Hari Statistik Dunia.
Penetapan “Hari Statistik”
dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran statistik bagi para responden,
produsen dan konsumen data agar dapat
memberdayakan secara maksimal semua
pelaku menuju terwujudnya Sistem
Statistik Nasional. Pemberdayaan petugas statistik diantaranya adalah dengan
mempertajam cara pandang,
memperluas wawasan serta menanamkan budaya kerja yang paripurna, yaitu
professional, integritas, dan amanah. Pada akhirnya diharapkan mampu memacu kesatuan tekad dalam menyajikan
statistik yang andal, lengkap, tepat, akurat dan terpercaya.
Adapun pemberdayaan bagi
masyarakat selaku responden maupun konsumen data sebetulnya telah tersirat
dalam Undang-undang Statistik pasal 31 dan 32. Pada pasal 31 dijelaskan bahwa
“Badan bekerja sama dengan instansi pemerintah dan unsur masyarakat melakukan
pembinaan terhadap penyelenggara kegiatan statistik dan masyarakat, agar lebih
meningkatkan kontribusi dan apresiasi masyarakat terhadap statistik,
mengembangkan Sistem Statistik Nasional, dan mendukung pembangunan nasional”. Pemberdayaan masyarakat selaku
responden perlu dilakukan untuk meningkatkan kontribusi dan apresiasi
masyarakat terhadap statistik. Kontribusi dan apresiasi terhadap statistik
diantaranya ditunjukkan dengan memberikan respon positif ketika terpilih
menjadi responden, yaitu dengan memberikan data yang sebenarnya kepada petugas
statistik.
Sadar Statistik
Kadang kala, bahkan sering terjadi bagian
masyarakat yang terpilih menjadi responden belum memahami arti pentingnya
statistik bagi pembangunan atau merasa
tidak ada manfaat berarti (langsung dirasakan) yang diperoleh dari data yang
telah diberikannya kepada petugas
statistik, sehingga malas bahkan tidak mau menjadi responden, dampaknya respon rate menjadi rendah. Kondisi ini
tentu saja menjadi tugas bersama, baik BPS, pemerintah, maupun masyarakat itu
sendiri, untuk terus berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti dan
kegunaan statistik (pasal 32h, Undang-undang Statistik).
Meningkatkan kesadaran masyarakat akan
arti dan kegunaan statistik menjadi hal utama yang perlu dilakukan dalam upaya
pemberdayaan masyarakat untuk sadar statistik. Usaha pemberdayaan harus bertumpu
pada kesadaran akan “kebutuhan” atau timbal balik yang didapat jika suatu
komponen masyarakat menjadi responden. Memang tidak mudah. Perlu kerjasama, partisipasi dan
upaya dari berbagai pihak dalam proses pemberdayaan masyarakat sadar statistik.
Hal ini pun tidak bisa dilakukan secara instan, membutuhkan proses. Saraswati
(1997:79-80) seperti dikutip oleh Huraerah dalam bukunya “Pengorganisasian dan
Pengembangan masyarakat (2008 : 86)” menyebutkan bahwa secara konseptual
pemberdayaan merupakan suatu proses yang panjang agar masyarakat lebih berdaya
(dalam bidang apapun). Pemberdayaan harus mencakup enam hal, yaitu : (1) Learning by doing, artinya
pemberdayaan adalah proses belajar dan tindakan konkrit yang berlangsung
terus-menerus, (2) Problem solving, pemberdayaan
harus memmberikan arti pemecahan masalah dengan cara dan waktu yang tepat, (3) Self-evaluation, pemberdayaan harus mampu mendorong
seseorang atau kelompok untuk melakukan evaluasi secara mandiri, (4) Self-development and coordination, artinya
mendorong agar mampu melakukan pengembnagan diri dan melakukan koordinasi
dengan pihak lain secara luas, (5) Self-selection, pemberdayaan sebagai
upaya pemilihan dan penilaian secara mandiri dalam menetapkan langkah-langkah
ke depan, dan (6) Self-decism, dimana
dalam memilih tindakan yag tepat hendaknya dimiliki kepercayaan diri (self-confidence) dalam memutuskan
sesuatu secara mandiri (self-decism).
Sekali lagi, pemberdayaan masyarakat
sadar statistik membutuhkan proses dan perlu diupayakan terus oleh berbagai
pihak, mengingat pentingnya statistik
dalam pembangunan. Meningkatkan kesadaran akan pentingnya statistik dalam
kehidupan merupakan filosofi ditetapkannya Hari Statistik. Meningkatkan
kesadaran petugas statistik untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data
berkualitas dan terpercaya. Meningkatkan kesadaran pemerintah akan arti penting
statistik dalam pembangunan, yaitu membangun berbasis data statistik, tidak
asal proyek dan kebijakan, karena membangun tanpa data lebih mahal biayanya.
Kemudian yang terpenting adalah meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya
komponen masyarakat yang menjadi responden petugas statistik dalam kegiatan
sensus, survey, maupun kegiatan pencatatan lainnya, untuk lebih memahami
manfaat dari statistik yang dikumpulkan, sehingga semua mau menjawab pertanyaan dan memberikan data sebenarnya ketika
terpilih menjadi responden. Pada akhirnya ketika respon rate tinggi, kualitas data statistik berkualitas dan
terpercaya untuk semua pun dapat disajikan. Semoga ke depan dengan
diperingatinya Hari Statistik Nasional setiap tanggal 26 September tingkat
kesadaran masyarakat akan arti dan petingnya statistik semakin meningkat.
Sudahkah kita sadar statistik? ***
Bandung (kembali) diguyur hujan
Bandung kembali diguyur hujan, siang ini dari lantai 5 gedung kantor,...... menikmati hujan yang derasnya luar biasa... kilat, petir, gel...
-
Menulis, salah satu aktivitas untuk mencurahkan isi hati dengan bebas😋 media mencurahkan isi pikiran, media tempat berlabuhnya ide dan gag...
-
Allah SWT Berfirman,"Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus h...