Rabu, 30 Januari 2013

Pengembangan Kapasitas Perempuan Pengusaha Melalui Keadilan Gender (Studi Kasus pada Sentra Rajutan Binongjati Kota Bandung)

Pengembangan Kapasitas Perempuan Pengusaha Melalui Keadilan Gender (Studi Kasus pada Sentra Rajutan Binongjati Kota Bandung)


Title: Pengembangan Kapasitas Perempuan Pengusaha Melalui Keadilan Gender (Studi Kasus pada Sentra Rajutan Binongjati Kota Bandung)
Author: Widiastuty, Isti Larasati
Abstract: Industri di Kota Bandung merupakan salah satu potensi wilayah, mampu menyumbang sebesar 26,52 persen terhadap PDRB Kota Bandung tahun 2007. Kegiatan industri yang merupakan salah satu unggulan Kota Bandung adalah industri rajutan. Wilayah Binongjati merupakan kawasan sentra rajutan yang terdiri dari sekitar 400 pengusaha dan mampu menyerap sekitar 8.000 tenaga kerja. Pada tahun 2006 kawasan sentra rajutan Binongjati menjadi salah satu Kawasan Sentra Industri dan Perdagangan (KSIP) di Kota Bandung. Usaha rajutan di Binongjati banyak digerakkan oleh perempuan, baik sebagai pengusaha,tenaga kerja, maupun sebagai pekerja keluarga tidak dibayar.
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/4581
Date: 2009

Selasa, 15 Januari 2013

Fenomena Inflasi Kota Bandung 2011 - 2012

Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999 :108). Todaro (dalam Arsyad, 1999 : 5) mengemukakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukan oleh tiga nilai pokok, yaitu ; (1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), (2) meningkatnya rasa harga diri (self-esteem) masyarakat sebagai manusia, dan (3) meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia. Maka harus disadari bahwa pengertian pembangunan ekonomi sangat luas, tidak terbatas pada bagaimana meningkatkan angka PDRB saja, namun lebih pada bagaimana mengembangkan kegiatan-kegiatan ekonomi serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat tidak hanya dengan memperhatikan peningkatan pendapatan masyarakat, dimana biasanya pendekatan untuk menghitung hal ini melalui peningkatan pendapatan (PDRB) perkapita masyarakat. Namun perlu memperhatikan sinergitas berbagai sektor dan institusi, terutama dalam upaya peningkatan daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat merupakan salah satu indikator yang menunjukkan kemampuan ekonomi masyarakat atau menunjukkan kualitas hidup masyarakat secara ekonomi.      
Berbagai strategi dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Pemantauan beberapa indikator dini pun perlu dilakukan agar strategi dan kegiatan yang dilakukan bisa lebih tepat sasaran. Beberapa indikator yang biasa digunakan untuk memantau daya beli masyarakat diantaranya adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),  Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE), Inflasi, dan sebagainya.  


Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau yang lebih dikenal dengan istilah Pendapatan Regional (Regional Income) merupakan data statistik yang merangkum perolehan nilai tambah dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu wilayah. 
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku pada tahun 2011 mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, yaitu dari Rp 82,00 trilyun pada tahun 2010  menjadi Rp 95,61 trilyun, atau meningkat sebesar 16,60 persen. Persentase peningkatan ini disebabkan oleh bertambahnya  Nilai Tambah Bruto (NTB) atas dasar harga berlaku seluruh sektor ekonomi pada tahun 2011.
Adapun PDRB atas dasar harga konstan pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 8,73 persen dari tahun 2010. PDRB atas dasar harga konstan tahun 2010 sebesar Rp 31,70 trilyun dan meningkat menjadi Rp 34,46 trilyun pada tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pertumbuhan ekonomi di Kota Bandung sebesar 8,73 persen pada tahun 2011.
 Jika diperhatikan menurut sektor ekonomi pendukung PDRB, maka akan terlihat struktur ekonomi Kota Bandung. Struktur ekonomi Kota Bandung dari era 1990-an sampai dengan saat ini mengalami pergeseran struktur ekonomi. Pergeseran struktur ekonomi semakin jelas terlihat seiring dengan perkembangan Kota Bandung. Pergeseran struktur ekonomi dari kota industri menjadi kota jasa dan perdagangan semakin jelas terlihat dari struktur ekonomi tahun 2011. Hal ini dapat dimaklumi dengan semakin sempitnya lahan untuk kegiatan industri, sehingga kegiatan industri di perkotaan pindah ke daerah pinggiran kota sebagai daerah penyangga ibukota provinsi. Namun demikian sektor industri di Kota Bandung masih dapat dikembangkan untuk mendukung perekonomian Kota Bandung, yaitu industri yang tidak terlalu membutuhkan lahan relatif  luas terutama industri kreatif yang semakin banyak tumbuh di Kota Bandung.
Jika dirinci menurut sembilan sektor ekonomi maka terlihat bahwa sektor perdagangan, hotel, dan restoran (sektor 6) merupakan sektor yang memiliki kontribusi terbesar terhadap perekonomian Kota Bandung. Kemudian sektor industri pengolahan dan sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa-jasa.Pada tahun 2011 sektor perdagangan, hotel, dan restoran (sektor 6) memberikan kontribusi sebesar 41,25 persen. Adapun sektor industri pengolahan (sektor 3) memberikan kontribusi sebesar 23,51 persen pada perkonomian tahun 2011 dan merupakan kontributor kedua terhadap pembentukan PDRB Kota Bandung. Jika dilihat berdasarkan tahapan industrialisasi yang ditetapkan oleh UNIDO atau Bank Dunia maka pada tahun 2011 ini Kota Bandung berada pada tahapan semi industrialisasi, dimana konstribusi NTB sektor industri terhadap PDRB berada pada kisaran 20 – 30 persen. Kondisi ini menunjukkan telah terjadi pergeseran, dimana pada era 1990-an hingga awal tahun 2000-an Kota Bandung berada pada tahapan industri penuh (kontribusi NTB industri > 30 persen)   dan saat ini sudah beralih pada tahapan semi industrialisasi.
 Sektor  yang juga memberikan kontribusi relatif tinggi  adalah sektor pengangkutan dan komunikasi (sektor 7) dengan peranan sebesar 12,38 persen terhadap total PDRB Kota Bandung tahun 2011. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, sektor pengangkutan dan komunikasi mengalami peningkatan peran, dimana pada tahun sebelumnya berkontribusi sekitar 11,97 persen, atau meningkat sekitra 0,41 persen. Kemudian sektor jasa-jasa (sektor 9) memberikan kontribusi sebesar 9,35 persen pada pembentukan PDRB tahun 2011. Sektor keuangan, usaha persewaan dan jasa perusahaan pada tahun 2011 memberikan kontribusi sekitar 6,37 persen terhadap pembentukan PDRB Kota Bandung tahun 2011, mengalami peningkatan sebesar 0,14 persen dari tahun sebelumnya. Sektor listrik, gas, dan air bersih memberikan kontribusi sebesar 2,30 persen.   Adapun NTB sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 0,20 persen terhadap pembentukan PDRB Kota Bandung tahun 2010 maupun 2011.


Laju Pertumbuhan Ekonomi

Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) merupakan suatu kenaikan PDRB tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Namun pada intinya pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan suatu perkembangan dari berbagai kegiatan ekonomi.  Terdapat berbagai teori tentang pembangunan ekonomi yang pada intinya adalah metode tentang menganalisis perekonomian suatu daerah dan teori-teori yang membahas tentang faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah tertentu.
Beberapa teori pertumbuhan tersebut adalah sebagai berikut : (1) Teori basis ekonomi (economic base theory) menyatakan bahwa penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu darah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah.  (2) Teori lokasi yang menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi pertumbuhan daerah yaitu lokasi, lokasi, dan lokasi.  (3) Teori tempat sentral yang menganggap ada hirarki tempat, yaitu perlu adanya pembedaan fungsi antara daerah-daerah yang bertetangga dalam hal penyediaan barang dan jasa. (4) Teori kausasi kumulatif dimana kekuatan-kekuatan pasar cenderung memperoleh kesenjangan antara daerah-daerah tersebut sehingga daerah maju cenderung mengalami akumulasi keunggulan kompetitif dibandingkan daerah lainnya. Dalam hal ini Myrdal (1957) menyebutnya sebagai backwash effects.
  Terlepas dari faktor dominan apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Kota Bandung, sejak tahun 1998 lalu pertumbuhan ekonomi Kota Bandung cenderung menunjukkan perbaikan ke arah yang positif. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya LPE di Kota Bandung. Angka LPE ini merupakan salah satu indikator dalam menunjukkan kinerja perekonomian Kota Bandung secara umum, dimana terjadinya peningkatan faktor produksi tanpa adanya pengaruh inflasi. 

Perekonomian Kota Bandung pada tahun 2011 tumbuh sebesar 8,73 persen.  Angka pertumbuhan ekonomi 2011 jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya mengalami peningkatan sekitar 0,28 persen. Jika dibandingkan angka LPE dari tahun 2008, maka terlihat adanya upaya pemulihan kondisi ekonomi pasca krisis global yang terjadi pada medio 2008, dimana pada tahun 2008 angka LPE Kota Bandung sempat mengalami perlambatan akibat menurunnya kinerja beberapa sektor ekonomi. Krisis global tersebut berimbas  pada beberapa sektor ekonomi yang dampaknya masih terasa pada sektor ekonomi yang bahan baku produksinya berbasis impor seperti industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki. Sektor industri pengolahan masih mengalami peningkatan pertumbuhan jika dibandingkan dengan pertumbuhan tahun lalu. Kegiatan industri pengolahan yang berbasis bahan baku impor dan berpangsa pasar ekspor masih mengalami kendala terkait dengan krisis tahun 2008, terutama dengan ketersediaan bahan baku impor dan masalah pemasaran. Dengan pangsa pasar ekspor beberapa industri besar sedang cukup terkendala ketika negara tujuan ekspor masih berada pada kondisi krisis sehingga membatasi impor dari negara lain, termasuk impor dari Kota Bandung. Selain itu yang menjadi salah satu sebab melambatnya produktivitas sektor industri pengolahan adalah faktor daya saing dengan industri sejenis dari barang impor, baik impor dari luar negeri maupun impor dari luar wilayah Kota Bandung.
Sektor yang mencapai LPE tertinggi pada tahun 2011 adalah sektor konstruksi yaitu sekitar 11,94 persen. Sektor konstruksi mengalami peningkatan LPE cukup signifikan yaitu sekitar 0,74 persen. Peningkatan LPE sektor konstruksi sebagai indikasi dari meningkatnya kinerja sektor ini pada tahun 2011, hal ini dikarenakan beberapa proyek pembangunan infrastruktur yang relatif besar mulai dilakukan pada tahun 2011, seperti pembangunan Stasion Utama Sepakbola Gedebage (SUS Gedebage) dan perbaikan beberapa ruas jalan raya di Kota Bandung, seperti ruas Jalan Soekarno Hatta.
Sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang memiliki kontribusi paling besar dalam penciptaan PDRB Kota Bandung pada tahun 2011 tumbuh sekitar 11,23 persen. Sektor ini mengalami peningkatan LPE sekitar 0,26 persen dibandingkan tahun 2010. Walaupun peningkatannya cukup kecil, namun sedikit saja perubahan sektor ini akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap PDRB Kota Bandung, dikarenakan sektor ini memberikan kontribusi yang besar. 
Sektor pengangkutan dan komunikasi pada tahun 2011 mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan LPE tahun 2010, yaitu tumbuh sekitar  10,97 persen. Kinerja produksi sektor pengangkutan dan komunikasi pada tahun 2011 ini melambat sebagai dampak dari turunnya LPE sub sektor angkutan udara. Pada tahun 2011 kinerja produksi angkutan udara yang ditunjukkan dengan jumlah penumpang yang berangkat dari Bandara Husein Sastranegara mengalami penurunan, sehingga LPE sub sektor angkutan udara tahun 2011 berada pada level 7,32 persen atau menurun sekitar 2, 92 persen. Adapun sub sektor angkutan jalan, angkutan rel, jasa penunjang angkutan, serta sub sektor komunikasi mengalami peningkatan angka LPE. Sub sektor angkutan jalan mengalami pertumbuhan sekitar 13,91 persen. Sebagai dampak dari aktifnya jalur tol Cipularang beberapa tahun lalu, yang memperpendek jarak dan waktu tempuh Jakarta Bandung mengakibatkan bertambahnya penumpang yang memilih moda transportasi jalan raya yang juga semakin tumbuh berkembang di Kota Bandung, seperti jasa angkutan travel atau angkutan pemandu moda lainnya
Adapun sub sektor komunikasi tumbuh sekitar 10,93 persen pada tahun 2011. Sub sektor komunikasi mengalami peningkatan angka pertumbuhan sekitar 0,19 persen jika dibandingkan dengan angka pertumbuhan pada tahun sebelumnya. Peningkatan ini sebagai dampak dari semakin peningkatnya penggunaan jasa komunikasi seluler yaitu penggunaan pulsa telepon seluler serta pelayanan komunikasi lainnya seperti layanan Blackberry dan internet.
Demikian halnya dengan jasa penunjang angkutan, pada tahun 2011 mengalami peningkatan LPE sekitar 0,31 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. LPE sub sektor jasa penunjang angkutan pada tahun 2011 sekitar 6,18 persen. Peningkatan ini sebagai dampak dari meningkatnya kinerja produksi sub sektor jasa penunjang angkutan seperti jasa parkir serta jasa tol.
Selanjutnya sektor keuangan, usaha persewaan dan jasa perusahaan sebagai salah satu penopang aktivitas kegiatan ekonomi juga mengalami peningkatan LPE pada tahun 2011. Pada tahun ini LPE sektor keuangan, usaha persewaan dan jasa perusahaan mencapai 8,56 persen atau meningkat sekitar 0,03 persen dari tahun sebelumnya. Peningkatan LPE tertinggi terjadi pada sub sektor jasa perusahaan yaitu sekitar 1,00 persen. Adapun sub sektor bank sebagai sub sektor yang memberikan kontribusi terbesar dalam pembentukan NTB sektor keuangan, usaha persewaan dan jasa perusahaan mengalami peningkatan LPE sekitar 0,17 persen, sedangkan LPE sub sektor lembaga keuangan bukan bank mengalami peningkatan sekitar 0,07 persen yaitu dari 10,89 persen pada tahun 2010 menjadi 10,97 persen pada tahun 2011. Adapun sub sektor usaha persewaan mengalami perlambatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu tumbuh sekitar 10,46 persen sedangkan tahun 2010 mampu tumbuh sekitar 11,24 persen. Walaupun Kota Bandung sebagai daerah tujuan migran dari luar Kota Bandung untuk menuntut ilmu dan mencari nafkah di Kota Bandung mengakibatkan usaha persewaan bangunan seperti kontrakan rumah dan kos-kosan terus tumbuh menjamur, daya dukungnya menjadi jenuh sehingga pertumbuhannya pun relatif melambat. Pertumbuhan usaha persewaan bangunan tahun 2011 jika dinilai atas dasar harga konstan mengalami perlambatan, akan tetapi jika dinilai atas dasar harga berlaku mengalami peningkatan dikarenakan angka inflasinya cukup tinggi. Perlu dipahami bahwa di satu sisi kondisi ini mendukung pada tumbuhnya perekonomian Kota Bandung, namun satu hal yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana daya dukung dan daya tampung (carrying cappacity) dari lingkungan Kota Bandung itu sendiri.   
Apabila LPE Kota Bandung dijadikan sebagai dasar (base line) dalam evaluasi kinerja sektor-sektor ekonomi, maka kinerja sektoral dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, adalah sektor yang berhasil mencapai pertumbuhan di atas rata-rata (8,73 persen). Kelompok kedua, adalah sektor yang berhasil mencapai pertumbuhan positif namun masih berada di bawah LPE rata-rata. Kelompok ketiga, adalah sektor yang mengalami pertumbuhan negatif.
Pada tahun 2010 terdapat lima sektor ekonomi yang berada pada kelompok pertama, yaitu sektor yang memiliki kinerja lebih tinggi dari kinerja rata-rata. Kelima sektor yang berada pada kelompok pertama adalah sektor listrik, gas dan air bersih; sektor konstruksi; sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor pengangkutan dan komunikasi; serta sektor keuangan, usaha persewaan dan jasa perusahaan. Adapun sektor industri pengolahan dan sektor jasa-jasa termasuk kelompok kedua yang memiliki LPE positif namun amsih lebih rendah dari LPE rata-rata, sedangkan pada tahun 2010 sektor pertanian termasuk apda kelompok ketiga, yaitu mengalami pertumbuhan negatif.

Pada tahun 2011 terjadi pergeseran kelompok, yaitu sektor keuangan, usaha persewaan dan jasa perusahaan menjadi kelompok kedua dimana sebelumnya berada pada kelompok pertama. Maka pada tahun 2011 ini terdapat empat sektor ekonomi yang termasuk kelompok pertama, yaitu sektor listrik, gas dan air bersih; sektor konstruksi; sektor perdagangan, hotel dan restoran; serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Adapun keempat sektor lainnya yaitu sektor pertanian; sektor industri pengolahan; sektor keuangan, usaha persewaan dan jasa perusahaan; serta sektor jasa-jasa termasuk pada kelompok kedua, yatiu LPE sektor (kinerja sektor) lebih rendah dari LPE rata-rata (kinerja Kota Bandung) walaupun masih tumbuh positif.
Terdapat satu hal yang perlu disadari terkait dengan angka LPE. Tingginya LPE Kota Bandung menunjukkan tingginya kinerja ekonomi dari sektor-sektor ekonomi yang ada di Kota Bandung, yaitu terjadi peningkatan kinerja produksi dari berbagai kegiatan ekonomi yang ada. Namun ada kalanya tingginya LPE ini tidak sejalan dengan tingginya tingkat daya beli masyarakat atau pendapatan masyarakat. Perlu dipahami bahwa sebagian besar usaha-usaha besar di Kota Bandung kepemilikannya adalah penduduk luar Kota Bandung sehingga tingginya pertumbuhan tersebut seringkali hanya dinikmati oleh beberapa lapisan masyarakat saja. Adapun sebagian besar masyarakat yang juga ikut berpartisipasi dalam proses ekonomi khususnya yang berstatus sebagai buruh atau karyawan, hanya menikmati sebagian kecil saja dari pertumbuhan tersebut. Walaupun secara ilmu ekonomi akan terjadi transfer in and transfer out ketika ada usaha di luar Kota Bandung yang dimiliki oleh penduduk Kota Bandung dan usaha di Kota Bandung yang dimiliki oleh penduduk luar Kota Bandung. Walaupun seringkali hal ini menjadi perdebatan, LPE tinggi tetapi daya beli masyarakat masih rendah. LPE dihitung berdasarkan perkembangan PDRB suatu wilayah, yaitu perkembangan dari aktivitas ekonomi yang terjadi di suatu wilayah. Adapun daya beli masyarakat adalah tingkat kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, dan belum tentu mereka menikmati pertumbuhan yang tinggi. Oleh karena itu upaya percepatan pertumbuhan saja tidak cukup, yang lebih penting adalah bagaimana angka pertumbuhan tersebut bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Yang  perlu dicapai adalah adanya pemerataan pendapatan masyarakat sehingga pendapatan per kapita adalah riil bisa dinikmati.  Disamping itu, upaya peningkatan daya beli masyarakat juga perlu memperhatikan stabilitas inflasi di Kota Bandung, dimana inflasi merupakan salah satu indikator perekonomian yang memiliki manfaat untuk formulasi kebijakan ekonomi dalam menjaga stabilitas harga/upah, mengevaluasi usulan pajak, menyesuaikan perhitungan pendapatan nasional (sebagai deflator) serta sebagai tolak ukur penyesuaian upah dan gaji juga pensiun agar selalu bisa mengikuti perkembangan harga.

Inflasi
Yang dimaksud dengan inflasi adalah kenaikan tingkat harga rata-rata barang dan jasa secara umum. Jadi kenaikan harga relatif dari satu jenis barang dan jasa belum tentu menunjukkan kenaikan inflasi. Tetapi, kenaikan harga relatif dari suatu barang/jasa yang penting bagi masyarakat, seperti sembilan bahan pokok dan bahan bakar sering menimbulkan kenaikan inflasi. Ada juga yang mendefinisikan inflasi sebagai kenaikan persediaan uang yang beredar. Venieris dan Sebold (1977, Macroeconomic Models and Policy) mendefinisikan inflasi sebagai kecenderungan peningkatan tingkat harga umum secara terus menerus, yang mencakup tiga aspek, yaitu : Pertama, adanya kecenderungan harga-harga untuk meningkat, yang berarti mungkin saja tingkat harga yang terjadi pada waktu tertentu turun atau naik dibandingkan dengan sebelumnya, tetapi tetap menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Kedua, peningkatan harga tersebut berlangsung terus menerus, yang  berarti bukan terjadi pada suatu waktu saja. Ketiga, mencakup pengertian tingkat harga umum, yang berarti yang meningkat itu bukan hanya pada satu atau beberapa komoditi saja.
Mengatasi persoalan peningkatan harga-harga secara umum dan terus menerus kadang tidak semudah  membalik telapak tangan. Hal ini dikarenakan persoalan inflasi merupakan suatu persoalan yang begitu kompleks. Inflasi terkait dengan berbagai sebab dan akibat yang kompleks, dan kadangkala upaya penyelesaian permasalahan ini cukup sulit. Upaya penanggulangan masalah inflasi yaitu menekan laju inflasi kadang tidak menyentuh akar persoalan diakibatkan kompleksnya permasalahan inflasi. Kompleksitas inflasi disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah : Pertama, inflasi merupakan dampak dari beberapa sebab yang bervariasi dari waktu ke waktu, misalnya inflasi terkait dengan pertumbuhan penduduk, pengangguran, selera, serta distribusi barang. Kedua, karena suatu permintaan atau keinginan yang kuat melawan suatu batasan, misalnya menginginkan sesuatu yang lebih banyak, yang lebih besar, dan yang lebih baik. Ketiga, karena adanya kebijakan atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah, seperti meningkatkan harga BBM.
Dilihat dari ciri atau tipenya, inflasi terdiri dari tiga jenis, yaitu : Pertama, demand-side inflation (demand pull inflation), yaitu inflasi yang terjadi akibat peningkatan permintaan agregat sedangkan persediaan tetap. Meningkatnya permintaan agregat mendorong kenaikan pada tingkat harga rata-rata. Kedua, supply-side inflation (cost push inflation)¸yaitu inflasi yang terjadi akibat supply berkurang sementara permintaan tetap, atau harga-harga komoditas yang diperlukan masyarakat meningkat diakibatkan oleh meningkatnya biaya produksi. Peningkatan biaya produksi terjadi karena kenaikan biaya-biaya input produksi, seperti kenaikan upah tenaga kerja, kenaikan bunga bank, dan kenaikan harga bahan baku. Kenaikan biaya produksi sudah barang tentu menyebabkan harga barang-barang naik, dan pada akhirnya akan menyebabkan inflasi. Ketiga, imported inflation, yaitu inflasi yang terjadi karena harga barang impor yang biasa dikonsumsi masyarakat meningkat, sebagai akibat menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika.
Pada tahun 2011 ketika perekonomian Kota Bandung mampu tumbuh sebesar 8,73 persen, Kota Bandung mengalami inflasi sebesar 2,75 persen. Jika dirinci menurut kelompok komoditi maka inflasi tertinggi terjadi pada kelompok komoditi pendidikan  yang mencapai 4,60 persen. Kenaikan harga-harga kelompok komoditi pendidikan yang tertinggi terjadi pada komoditi jasa pendidikan, kemudian komoditi kursus-kursus/pelatihan. Komoditi jasa pendidikan pada tahun 2011 mengalami inflasi sebesar 7,01 persen, sedangkan komoditi kursus-kursus/pelatihan mengalami inflasi sebesar 4,18 persen. Berdasarkan angka ini terlihat bahwa walaupun pemerintah telah “menggratiskan” biaya jasa pendidikan, namun terjadi kenaikan harga komoditi ini yang cukup tinggi. Inflasi tertinggi kedua pada tahun 2011 terjadi pada kelompok komoditi bahan makanan yang mencapai 3,60 persen. Kenaikan harga-harga bahan makanan yang meningkat cukup tinggi adalah harga ikan segar (10,77%), sayur-sayuran (9,68%), ikan diawetkan (7,49%), buah-buahan (7,06%), serta padi-padian, umbi-umbian dan hasil-hasilnya (6,86%).
Pada tahun 2012, sampai dengan Bulan Oktober 2012 terjadi inflasi sebesar 3,93 persen (year to date). Jika dirinci menurut bulan, maka akan terlihat variasi inflasi maupun deflasi (penurunan harga) yang terjadi. Berdasarkan inflasi bulanan di Kota Bandung tahun 2012.  terlihat bahwa terjadi inflasi yang cukup tinggi pada Bulan Januari dan Bulan Juli.

Pada Bulan Januari 2012 terjadi kenaikan harga-harga secara umum sebesar 1,24 persen jika dibandingkan dengan harga Bulan Desember 2011. Fenomena awal tahun yang lebih didukung oleh kondisi iklim dan cuaca mengakibatkan kelangkaan komoditi sehingga terjadi kenaikan harga-harga terutama komoditi bahan makanan dan makanan jadi. Kemudian pada Bulan Februari sampai dengan Bulan Mei kelompok bahan makanan mengalami deflasi atau penurunan harga jika dibandingkan bulan sebelumnya. Namun Bulan Juni dan menjelang Bulan Ramadhan di Bulan Juli, kembali mengalami inflasi cukup tinggi, yaitu mencapai 3,46 persen. 
Jika diperhatikan , kenaikan harga-harga kelompok komoditi bahan makanan ternyata terus berlanjut hingga Bulan Oktober Tahun 2012. Kelompok komoditi bahan makanan sampai dengan Bulan Oktober Tahun 2012 (year to date/ytd) mengalami inflasi sebesar 6,13 persen. Dari Bulan Januari sampai dengan  Bulan Oktober 2012 inflasi Kota Bandung mencapai 3,93 persen, lebih tinggi dari angka inflasi tahun 2011. Sampai dengan Bulan Oktober, inflasi tertinggi terjadi pada kelompok komoditi makanan jadi (7,74%) dan kelompok komoditi bahan makanan (6,13%). Tingginya inflasi kedua kelompok komoditi ini sebagai dampak dari meningkatnya permintaan masyarakat untuk pemenuhan konsumsi pada Bulan Ramadhan dan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Kondisi ini memang sudah terjadi berulang hampir setiap tahun, dimana ketika terdapat hari raya maka pada bulan tersebut akan terjadi inflasi khususnya untuk komoditi bahan makanan, makanan jadi, serta sandang. Jika dilihat penyebab terjadinya inflasi pada hari raya ternyata tidak semata-mata karena meningkatnya permintaan dan terbatasnya penyediaan, juga disebabkan adanya efek psikologis dari berbagai pihak pada bulan-bulan ini. Dari sisi pembeli, ada kecenderungan untuk meningkatkan permintaan komoditi, karena konsumsi pada Bulan Ramadhan biasanya lebih “diada-adakan” atau over konsumsi. Sedangkan dari sisi penjual (produsen) kecenderungannya karena permintaan masyarakat sudah dipastikan akan meningkat maka dilakukan peningkatan harga, karena biasanya walaupun harga naik pasti akan tetap dibeli oleh masyarakat.  

Terlepas dari penyebab inflasi karena meningkatnya permintaan atau efek psikologis tersebut, bagi Kota Bandung terjadi inflasi yang cukup tinggi untuk kelompok komoditi bahan makanan perlu menjadi perhatian serius. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil penelitian terdahulu (Pengawasan Distribusi Barang dan Jasa di Kota Bandung Tahun 2009) sebagian besar, bahkan lebih dari 90 persen komoditi bahan makanan untuk pemenuhan konsumsi masyarakat Kota Bandung berasal dari luar Kota Bandung.
Untuk memantau dan mengendalikan laju inflasi yang terjadi di Kota Bandung perlu diperhatikan juga andil inflasi dari masing-masing kelompok komoditi maupun komoditi. Andil inflasi merupakan besarnya sumbangan kenaikan harga dari komoditi tersebut dalam terjadinya inflasi. Inflasi Januari – Oktober Tahun 2012 sebagian besar disumbang oleh kelompok makanan jadi. Kelompok makanan jadi memberikan andil inflasi sebesar 0,31 persen.Adapun pada inflasi Oktober 2012 ini kelompok bahan makanan memberikan andil bagi terjadinya deflasi, dimana andil inflasinya minus 0,.01 persen. Kelompok bahan makanan memberikan andil inflasi yang cukup besar pada Bulan Juli, yaitu mencapai 0,81 persen. Kondisi ini sebagai dampak meningkatnya permintaan kelompok bahan makanan pada Bulan Ramadhan sehingga memberikan andil yang cukup besar dalam inflasi umum Buulan Januari – Juli 2012.

Jika dirinci menurut komoditi maka komoditi yang memberikan andil paling besar dalam inflasi Bulan Januari – Oktober 2012 adalah komoditi mie, yaitu mencapai 0,17 persen. Grafik 5 menunjukkan andil inflasi terbesar dari komoditi-komoditi penyumbang inflasi Bulan Januari – Oktober 2012.

Berdasarkan ulasan di atas, maka untuk Kota Bandung dalam upaya pengendalian inflasi yang perlu dilakukan adalah melakukan pemantauan dan pengawasan khususnya untuk kelompok bahan makanan dan makanan jadi. Sebagaimana diketahui kelompok bahan makanan untuk pemenuhan konsumsi masyarakat Kota Bandung sebagian besar berasal dari impor. Maka perlu pemantauan khusus terkait jalur distribusi komoditi dari produsen hingga ke konsumen sehingga ketersediannya aman di pasar.

Rabu, 09 Januari 2013

Urgensi Komunikasi dalam Mewujudkan PIA



PIA : Profesional, Integritas, Amanah

Reformasi Birokrasi (RB) pada Badan Pusat Statistik (BPS) yang semakin gencar disuarakan akhir-akhir ini menjadi tantangan tersendiri bagi seluruh insan BPS. Seluruh insan BPS “harus” memiliki kemauan untuk bekerja keras menciptakan sebuah perubahan tata kelola pemerintahan yang baik untuk terciptanya pelayanan publik yang lebih baik. Roh dari program reformasi birokrasi itu sendiri pada intinya adalah adanya perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perubahan tata kelola pemerintahan ini dapat terwujud jika seluruh Sumber Daya Manusia (SDM) BPS memiliki pola pikir, budaya kerja, dan perilaku yang profesional, berintegritas, dan amanah sesuai dengan nilai-nilai inti BPS.
Berdasarkan hal di atas, jelaslah bahwa pada intinya roh dari reformasi birokrasi itu sendiri adalah adaya perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Namun dalam kenyataannya, kondisi di BPS sendiri (berdasarkan pengamatan penulis di BPS daerah) suara yang lebih kencang terdengar dari reformasi birokrasi adalah remunerasi atau adanya tunjangan kinerja. Hal ini tentu saja menjadi salah satu  permasalahan tersendiri bagi BPS, dimana terjadi disorientasi dari SDM dalam melakukan pekerjaannya. Sebagian SDM yang ada lebih memperhatikan “berapa” tunjangan yang akan diterima, bukannya “perubahan” apa yang harus dilakukan. Walaupun mungkin, dalam suatu organisasi tidak salah ketika terdapat seseorang atau sekelompok orang yang berorientasi pada reward atau penghargaan, bukan pada prestasi dan kinerja. Disorientasi ini menjadi masalah karena biasanya ketika seseorang memiliki orientasi terhadap pekerjaannya “berbeda” dengan orientasi seharusnya (yaitu kinerja yang baik) cenderung tidak akan memperhatikan kinerja dan prestasi kerjanya. Masalah lainnya muncul ketika kenyataan dari reward yang diterima lebih rendah dari harapannya, yang akhirnya memunculkan kekecewaan, penurunan semangat kerja dan dengan sendirinya kinerja pun mengalami penurunan.
Selain fenomena disorientasi seperti di atas, dalam era reformasi birokrasi saat ini ternyata tantangan dan beban BPS semakin besar. Hal ini sangat dirasakan oleh BPS di daerah, dimana beban kerja dirasa semakin mengalami peningkatan. Pekerjaan datang seolah tanpa ada jeda, sehingga yang terjadi adalah penumpukan pekerjaan dalam suatu waktu, karena walaupun pekerjaan tersebut berasal dari seksi atau bidang yang berbeda, di lapangan yang mengerjakan adalah orang yang sama. Apalagi jika pekerjaan (jenis survei) dari seksi atau bidang yang berbeda tersebut ternyata isi (materi) pertanyaannya (kuesioner) sama atau sejenis, hal ini mengindikasikan tidak adanya koordinasi dan komunikasi diantara BPS sendiri. Bagi SDM di daerah sendiri hal ini kadangkala memunculkan perasaan lelah, bosan, malu (karena harus bolak balik ke perusahaan), bahkan yang lebih parah adalah adanya kemungkinan  terjadinya degradasi moral dari SDM seperti tidak mematuhi SOP (standar opersional prosedur) survei yang bersangkutan, tidak mendatangi responden, dan perilaku negatif lainnya yang tidak selayaknya dilakukan.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas ada satu hal yang penulis rasakan bisa menjadi jembatan atau sarana dalam mengatasi berbagai fenomena disorientasi dan degradasi moral dari SDM adalah adanya komunikasi yang intensif dan efektif dalam organisasi BPS, yaitu di antara SDM yang ada di BPS, baik level pimpinan, pejabat struktural, staf, maupun KSK (koordinator statistik kecamatan). Adanya komunikasi maka setiap permasalahan dapat segera dicari solusi pemecahan masalah, setiap hal yang berkaitan dengan tujuan BPS, perubahan apa yang harus dilakukan dalam era reformasi birokrasi ini, pola pikir dan perilaku tindak bagaimana yang harus dilakukan dapat senantiasa dikomunikasikan antar anggota organisasi BPS.
Price (1997) mendefinisikan komunikasi organisasi sebagai derajat atau tingkat informasi tentang pekerjaan yang dikirimkan organisasi untuk anggota dan diantara anggota organisasi. Tujuan komunikasi dalam organisasi adalah untuk membentuk saling pengertian (mutual  understanding)  sehingga terjadi kesetaraan kerangka referensi (frame  of references)  dan kesamaan pengalaman (field  of experience) diantara anggota organisasi. Sendjaya (1994) menyatakan fungsi komunikasi dalam organisasi adalah : (1) Fungsi informatif, organisasi dapat dipandang sebagai suatu sistem pemrosesan informasi. (2) Fungsi regulatif, fungsi ini berkaitan dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam suatu organisasi. (3) Fungsi persuasif, dimana  banyak pimpinan bisa mempersuasi bawahannya daripada memberi perintah. (4) Fungsi integratif, dimana setiap organisasi berusaha untuk menyediakan saluran yang memungkinkan SDM dapat berpartisipasi dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan dengan baik.
Membuka saluran komunikasi antara pimpinan (pejabat struktural) dengan bawahan (staf dan KSK) menjadi salah satu strategi efektif dalam mempercepat terjiwainya nilai-nilai inti BPS ini pada setiap insan BPS. Sarana rapat dinas atau diskusi antar SDM menjadi salah satu sarana untuk terus mengkomunikasikan setiap permasalahan yang ada, mengkomunikasikan pola pikir dan perilaku insan BPS untuk senantiasa Profesional, ber-Integritas, dan Amanah dalam melaksanakan setiap pekerjaan.  Hal ini perlu mendapat perhatian, karena selama ini rapat dinas hanyalah sebagai ajang penagihan pekerjaan, sangat jarang dijadikan ajang berbagi (sharing) informasi maupun wawasan pengetahuan ke-BPS an.
Menurut penulis, komunikasi merupakan bagian penting dalam mengatasi berbagai fenomena degradasi moral maupun disorientasi dari SDM. Mengkomunikasikan bagaimana kita seharusnya bersikap Profesional, ber-Integritas, dan senantiasa Amanah dalam setiap pekerjaan yang dilakukan. Tentu saja, disamping terus mengkomunikasikan nilai-nilai inti tersebur, perlu juga diberikan teladan,  yang menunjukkan pribadi yang sudah memiliki jiwa PIA kepada para staf dan KSK, hal ini dimulai dari level struktural (pemimpin). Memberi teladan dan contoh yang sesuai nilai PIA dalam kegiatan sehari-hari jauh lebih bernilai dibandingkan hanya mengintruksikan seluruh pegawai untuk berjiwa PIA.***

Bandung (kembali) diguyur hujan

Bandung kembali diguyur hujan, siang ini dari lantai 5 gedung kantor,...... menikmati hujan yang derasnya luar biasa... kilat, petir, gel...