Dini |
Senin, 16 April 2012 | 10:58 WIB
Sungguh beda hasil yang didapat bila kita merencanakan perubahan, atau bila salah melakukan pendekatan.
KOMPAS.com
- Dalam lingkungan kerja, di lingkungan keluarga atau kehidupan
sehari-hari, kita kerap menuntut dan mengharapkan individu melakukan
perubahan perilaku. Tidak terlihatnya perubahan, sangat potensial
menjadi sumber konflik dan masalah, baik dalam organisasi maupun antar
individu.
Seorang remaja berjanji dan membuat kesepakatan dengan orang tuanya, untuk segera mengabarkan keberadaannya, bila ia pulang terlambat atau terlalu larut. Remaja ini paham kekhawatiran orangtuanya, ia pun merasa tidak ingin membangkang, bahkan berjanji dalam hati untuk memperbaiki kebiasaannya. Kenyataannya, satu dua kali ia memang menjalankan kebiasaan barunya, namun sesudah itu ia kembali lagi pada kebiasaan lamanya. Orang tuanya tentu sangat kecewa.
”Ada apa dengan anakku ini? Apakah ia memang pembangkang? Diberitahu tidak bisa?" Padahal, kalau kita mencari "something wrong" pada anak ini, kita tak bisa menemukannya. Hanya saja, dia gagal berubah.
Kegagalan berubah begitu sering kita saksikan, atau bahkan kita alami sendiri. Perubahan dipandang sebagai proyek rumit, dan imajinasi mengenai perubahan dirasakan sebagai sesuatu yang besar, merusak kenyamanan dan tidak menyenangkan. Padahal, tuntutan perubahan sebenarnya juga tidak selalu “besar-besaran”. Dari yang “tidak melaporkan”, menjadi “melaporkan”. Dari yang melanggar lampu merah menjadi berhenti saat lampu lalu lintas berubah kuning. Dari yang tidak senyum pada pelanggan, menjadi senyum dan menyapa pelanggan. Dari yang tidak menyegerakan follow up, menjadi bergegas untuk menuntaskan setiap tugas yang diterima. Kita sadar perubahan kebiasaan ditentukan adanya konsistensi dan “constant change”. Namun, banyak orang menerjemahkan kalimat “constant change” seolah-olah gubrag ke kiri gubrag ke kanan.
Perubahan konstan yang ideal adalah bila seseorang atau sebuah lembaga, terus bergerak maju, terus-menerus beradaptasi dengan perubahan lingkungan, terus menyesuaikan sistem-prosedur dan kebijakan sesuai tuntutan jaman, tetap tumbuh dan tidak jalan di tempat. Banyak orang mengerang dan mengeluh mengapa ada proyek perubahan. Padahal perubahan itu ada di dalam diri kita semua.
Manusia menikah, punya anak, pindah kerja, pindah kota, ganti HP, belajar teknologi baru, mencoba resep makanan baru dan pakai baju baru. Ini berarti bahwa kita perlu punya keyakinan bahwa kapasitas untuk berubah itu ada dalam diri kita masing-masing, dan bukan kapasitas yang istimewa.
Menghitung dan merencanakan perubahan
Banyak pimpinan perusahaan tidak segan untuk mengeluarkan banyak uang untuk membuat “Change Program”. Harapannya tentu saja segera bisa terjadi perubahan perilaku, suasana kerja dan budaya kerja, dari yang statis menjadi dinamis, dari yang lamban menjadi gesit, atau bahkan dari perusahaan lokal menjadi global.
Ketika seorang ahli ditanya mengenai persentase keberhasilan program perubahan yang "heboh" seperti ini, beliau menjawab tingkat keberhasilannya hanya 20 persen. Kita tentu jadi berpikir keras, bila 20 persen perubahan terjadi dengan upaya sebanyak ini, apakah program semacam ini “worth”? Namun, ahli tersebut menekankan juga bahwa bila program perubahan terus dikawal dan berhasil membangun suasana kondusif, perubahan bisa terjadi sampai 80 persen!
Kita lihat bahwa program perubahan memang perlu serius dan tidak bisa setengah hati. Sungguh beda hasil yang didapat bila kita merencanakan perubahan, atau bila salah melakukan pendekatan.
Bila dalam proses perubahan kita takut pada kontradiksi maka sebenarnya yang kita perlu lakukan adalah kesiapan terhadap kontradiksi. Kontradiksi antara semangat untuk berubah dan mengatasi perasaan yang menggandoli kebiasaan lama. Pimpinan tidak lagi bisa mengandalkan pendekatan yang analitis, tetapi justru perlu memikirkan secara metafora. Fokus pada future saja tidak cukup karena kita juga perlu secara jangka pendek berfokus pada suasana, langkah-langkah pendek dan kecil yang memang perlu dirancang untuk memudahkan perubahan.
Sikap dan emosi positif terhadap perubahan
Bagaikan kegembiraan memakai baju baru atau menempati rumah baru, sebetulnya hampir semua individu menyambut gembira perubahan. Demikian pula, pembaharuan atau inovasi di dalam tim dan organisasi. Kita pasti ingat antusiasme ketika pertama kalinya kita menggunakan ponsel. Kita pun pasti pernah juga mengalami ketika kita di tempat kerja tiba-tiba bisa melakukan komunikasi intranet. Perubahan memang positif, sehingga tidak ada alasan untuk melihatnya sebagai monster dan menghindarinya. Hanya saja, sikap positif dan keinginan untuk berubah saja memang tidak cukup. Proses komunikasi, kesiapan individu dan tim untuk menyerap informasi baru adalah hal yang kritikal.
Saat isu perubahan dicanangkan, sering kita lihat banyak orang membombardir individu dalam organisasi dengan presentasi-presentasi yang canggih, namun seolah tidak memikirkan daya tangkap audiens-nya. Padahal, individu tentunya lebih mudah menyerap informasi dalam bahasa yang lebih sederhana, dengan situasi yang lebih dekat dengan dirinya, sehingga ia bisa merasakannya dan kemudian membantunya melihat arah dan gambaran perubahan yang sangat jelas.
Kalau perusahaan mau berubah, akan berbentuk apa perusahaan itu? Kalau kita jelas-jelas mengatakan bahwa perusahaan yang tadinya perusahaan dagang, sekarang ingin dibentuk menjadi perusahaan yang berfokus pada “supply chain”, karyawan tentunya jadi bisa lebih punya bayangan tentang bentuk perusahaan di masa mendatang. Bila rumah sakit yang tadinya sangat mengagung-agungkan dokter kemudian berubah berorientasi pada kebutuhan pasien, alias pelanggan, maka karyawan tentu harus sadar bahwa prosedur pemeriksaan pasien harus dibuat lebih mudah, bahkan cepat, lancar, dan terpecaya.
Hal yang perlu kita ingat adalah, perasaanlah yang menghambat perubahan, tetapi sebaliknya perasaan jugalah yang mendorong perubahan. Individu dalam organisasi tidak sulit berubah bila perasaannya tergelitik. Ini berarti informasi yang disampaikan untuk perubahan perlu sampai membentuk perasaan positif, sehingga memotivasi, membangun antusiasme, dan membuat individu lebih enteng untuk berpartisipasi dalam perubahan.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Sumber: Kompas Cetak
Seorang remaja berjanji dan membuat kesepakatan dengan orang tuanya, untuk segera mengabarkan keberadaannya, bila ia pulang terlambat atau terlalu larut. Remaja ini paham kekhawatiran orangtuanya, ia pun merasa tidak ingin membangkang, bahkan berjanji dalam hati untuk memperbaiki kebiasaannya. Kenyataannya, satu dua kali ia memang menjalankan kebiasaan barunya, namun sesudah itu ia kembali lagi pada kebiasaan lamanya. Orang tuanya tentu sangat kecewa.
”Ada apa dengan anakku ini? Apakah ia memang pembangkang? Diberitahu tidak bisa?" Padahal, kalau kita mencari "something wrong" pada anak ini, kita tak bisa menemukannya. Hanya saja, dia gagal berubah.
Kegagalan berubah begitu sering kita saksikan, atau bahkan kita alami sendiri. Perubahan dipandang sebagai proyek rumit, dan imajinasi mengenai perubahan dirasakan sebagai sesuatu yang besar, merusak kenyamanan dan tidak menyenangkan. Padahal, tuntutan perubahan sebenarnya juga tidak selalu “besar-besaran”. Dari yang “tidak melaporkan”, menjadi “melaporkan”. Dari yang melanggar lampu merah menjadi berhenti saat lampu lalu lintas berubah kuning. Dari yang tidak senyum pada pelanggan, menjadi senyum dan menyapa pelanggan. Dari yang tidak menyegerakan follow up, menjadi bergegas untuk menuntaskan setiap tugas yang diterima. Kita sadar perubahan kebiasaan ditentukan adanya konsistensi dan “constant change”. Namun, banyak orang menerjemahkan kalimat “constant change” seolah-olah gubrag ke kiri gubrag ke kanan.
Perubahan konstan yang ideal adalah bila seseorang atau sebuah lembaga, terus bergerak maju, terus-menerus beradaptasi dengan perubahan lingkungan, terus menyesuaikan sistem-prosedur dan kebijakan sesuai tuntutan jaman, tetap tumbuh dan tidak jalan di tempat. Banyak orang mengerang dan mengeluh mengapa ada proyek perubahan. Padahal perubahan itu ada di dalam diri kita semua.
Manusia menikah, punya anak, pindah kerja, pindah kota, ganti HP, belajar teknologi baru, mencoba resep makanan baru dan pakai baju baru. Ini berarti bahwa kita perlu punya keyakinan bahwa kapasitas untuk berubah itu ada dalam diri kita masing-masing, dan bukan kapasitas yang istimewa.
Menghitung dan merencanakan perubahan
Banyak pimpinan perusahaan tidak segan untuk mengeluarkan banyak uang untuk membuat “Change Program”. Harapannya tentu saja segera bisa terjadi perubahan perilaku, suasana kerja dan budaya kerja, dari yang statis menjadi dinamis, dari yang lamban menjadi gesit, atau bahkan dari perusahaan lokal menjadi global.
Ketika seorang ahli ditanya mengenai persentase keberhasilan program perubahan yang "heboh" seperti ini, beliau menjawab tingkat keberhasilannya hanya 20 persen. Kita tentu jadi berpikir keras, bila 20 persen perubahan terjadi dengan upaya sebanyak ini, apakah program semacam ini “worth”? Namun, ahli tersebut menekankan juga bahwa bila program perubahan terus dikawal dan berhasil membangun suasana kondusif, perubahan bisa terjadi sampai 80 persen!
Kita lihat bahwa program perubahan memang perlu serius dan tidak bisa setengah hati. Sungguh beda hasil yang didapat bila kita merencanakan perubahan, atau bila salah melakukan pendekatan.
Bila dalam proses perubahan kita takut pada kontradiksi maka sebenarnya yang kita perlu lakukan adalah kesiapan terhadap kontradiksi. Kontradiksi antara semangat untuk berubah dan mengatasi perasaan yang menggandoli kebiasaan lama. Pimpinan tidak lagi bisa mengandalkan pendekatan yang analitis, tetapi justru perlu memikirkan secara metafora. Fokus pada future saja tidak cukup karena kita juga perlu secara jangka pendek berfokus pada suasana, langkah-langkah pendek dan kecil yang memang perlu dirancang untuk memudahkan perubahan.
Sikap dan emosi positif terhadap perubahan
Bagaikan kegembiraan memakai baju baru atau menempati rumah baru, sebetulnya hampir semua individu menyambut gembira perubahan. Demikian pula, pembaharuan atau inovasi di dalam tim dan organisasi. Kita pasti ingat antusiasme ketika pertama kalinya kita menggunakan ponsel. Kita pun pasti pernah juga mengalami ketika kita di tempat kerja tiba-tiba bisa melakukan komunikasi intranet. Perubahan memang positif, sehingga tidak ada alasan untuk melihatnya sebagai monster dan menghindarinya. Hanya saja, sikap positif dan keinginan untuk berubah saja memang tidak cukup. Proses komunikasi, kesiapan individu dan tim untuk menyerap informasi baru adalah hal yang kritikal.
Saat isu perubahan dicanangkan, sering kita lihat banyak orang membombardir individu dalam organisasi dengan presentasi-presentasi yang canggih, namun seolah tidak memikirkan daya tangkap audiens-nya. Padahal, individu tentunya lebih mudah menyerap informasi dalam bahasa yang lebih sederhana, dengan situasi yang lebih dekat dengan dirinya, sehingga ia bisa merasakannya dan kemudian membantunya melihat arah dan gambaran perubahan yang sangat jelas.
Kalau perusahaan mau berubah, akan berbentuk apa perusahaan itu? Kalau kita jelas-jelas mengatakan bahwa perusahaan yang tadinya perusahaan dagang, sekarang ingin dibentuk menjadi perusahaan yang berfokus pada “supply chain”, karyawan tentunya jadi bisa lebih punya bayangan tentang bentuk perusahaan di masa mendatang. Bila rumah sakit yang tadinya sangat mengagung-agungkan dokter kemudian berubah berorientasi pada kebutuhan pasien, alias pelanggan, maka karyawan tentu harus sadar bahwa prosedur pemeriksaan pasien harus dibuat lebih mudah, bahkan cepat, lancar, dan terpecaya.
Hal yang perlu kita ingat adalah, perasaanlah yang menghambat perubahan, tetapi sebaliknya perasaan jugalah yang mendorong perubahan. Individu dalam organisasi tidak sulit berubah bila perasaannya tergelitik. Ini berarti informasi yang disampaikan untuk perubahan perlu sampai membentuk perasaan positif, sehingga memotivasi, membangun antusiasme, dan membuat individu lebih enteng untuk berpartisipasi dalam perubahan.
(Eileen Rachman/Sylvina Savitri, EXPERD Consultant)
Sumber: Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar