Kamis, 03 Februari 2011 - 19:04:20 WIB
Oleh: Beni Sarbeni Abu Sumayyah
Ada suara mengatakan,
bahwa Islam mendiskriminasikan kaum wanita. Sungguh jika muslim yang
mengatakannya, maka ia wajib bertaubat lagi beristigfar, karena
disengaja atau tidak, ia telah menuduh Islam berbuat tidak adil. Padahal
Islam memerintahkan kita untuk berbuat adil, Allah swt berfirman (yang
artinya):
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi
saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah,
Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Maidah [5]: 8).
Sekali pun kita benci kepada seseorang, maka Allah swt melarang hal itu menjadi pemicu untuk tidak berbuat adil kepadanya.
Syekh
as-Sa’di rh berkata tentang firman Allah di atas: “…..tidak sebagaimana
dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keadilan, akan tetapi
berlakulah adil ketika menjadi saksi bagi wali kalian walaupun
kenyataannya pahit baginya, berlakulah adil ketika menjadi saksi untuk
musuh kalian walaupun kenyataannya manis baginya, bahkan sekali pun dia
seorang kafir atau ahli bid’ah. Karena keadilan itu adalah wajib,
demikian pula menerima kebenaran yang datang darinya. Bukan karena dia
yang mengatakannya, akan tetapi karena benar yang dikatakannya”.[1]
Sudah
menjadi kewajiban seorang muslim untuk mendahulukan ilmu sebelum
berucap dan beramal, karena setiap ucapan dan amalan ada perhitungannya.
Demikianlah sehingga imam al-Bukhari mencantumkan dalam kitab shahihnya
Bab ilmu terlebih dahulu sebelum berucap dan beramal.
Mudah-mudahan
tulisan ini memberikan pencerahan sehingga tidak tertipu dengan
indahnya perkataan walaupun sebenarnya kebusukan, perkataan mereka yang
pandai bersilat lidah lagi menghiasinya dengan bunga-bunga berduri.
Kedudukan wanita dalam pandangan Jahiliyyah
Islam datang pada masa Jahiliyyah, dimana manusia berada dalam
kegelapan; kebenaran seolah kebaikan, sementara kebaikan dijadikan
sebagai keburukan. Patokan hidup kala itu sebatas hawa nafsu, juga taklid yang menjadikan mereka buta.
Sungguh kaum wanita, kala itu diyakini sebagai kehinaan, muram wajah
seorang bapak juga ibu ketika anak yang dilahirkannya adalah wanita,
sang ibu pun tidak sadar bahwa dirinya seorang wanita. Allah swt
menggambarkan keadaan itu dalam al-Qur’an. Dia berfirman (yang artinya):
“Dan
apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak
perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita
yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan
menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah
(hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan
itu.” (QS. An-Nahl [16]: 58).
Juga cerita Umar pada masa jahiliyyahnya yang membunuh hidup-hidup anak putrinya, karena merasa terhinakan dengan kelahirannya.
Kaum Jahiliyyah memandang bahwa wanita seumpama harta dan binatang ternak.
Kaum
Jahiliyyah menetapkan, bahwa kaum wanita tidak berhak mendapatkan hak
waris, mereka berkata: “Tidak ada yang bisa mewarisi kami kecuali orang
yang membawa pedang dan bisa menjaga harta kami”.
Bahkan kaum
Jahiliyyah memandang, bahwa kaum wanita bisa dijadikan harta warisan,
ketika istri seseorang meninggal, maka wali dari orang tersebut bisa
memilikinya sebagai harta warisan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau
berkata:
كَانَ الرَّجُلُ إِذَا مَاتَ كَانَ أَوْلِيَاؤُهُ أَحَقَّ
بِامْرَأَتِهِ مِنْ وَلِيِّ نَفْسِهَا إِنْ شَاءَ بَعْضُهُمْ زَوَّجَهَا
أَوْ زَوَّجُوهَا وَإِنْ شَاءُوا لَمْ يُزَوِّجُوهَا
“Dahulu
apabila seorang laki-laki meninggal, maka para walinya lebih berhak
terhadap istrinya daripada wali wanita tersebut, apabila sebagian mereka
berkehendak maka mereka akan menikahkannya dan apabila mereka
berkehendak maka mereka tidak menikahkannya”.[2]
Demikianlah
keadaan kaum Jahiliyyah ketika itu, lalu datanglah Islam membawa
kemuliaan, Islam merubah paradigma yang ada dengan kemuliaan seorang
wanita.
Sejarah pun membuktikan bagaimana peradaban lainnya
memandang wanita, sehingga ada di antara mereka yang memperdebatan,
apakah wanita tergolong manusia atau tidak?
Teriris hati ketika
kita menghayati keadaan wanita yang seperti itu, padahal ialah ibu kita?
Padahal ialah istri kita? Dan beribu-ribu alasan. Sehingga datanglah
Islam merubah wajah wanita dan paradigma manusia. Maka pantaskah ia
dituduh sebagai agama yang menyudutkan kaum wanita? tidaklah seseorang
memojokan Islam dengan tuduhan seperti itu, kecuali dialah orang yang
tidak mengenal sejarah, atau orang yang tidak mengetahui sejatinya
kemuliaan, atau orang yang tahu tapi pura-pura tidak tahu karena
kedengkian yang mendalam. Wallahu a’lam.
Kedudukan wanita dalam pandangan sekuler
Orang
sekuler yang memisahkan agama dengan kehidupan, hanya menjadikan harta
materi sebagai panduan dan tujuan, sehingga seluruhnya ditimbang dengan
takaran materi dan perasaan. Termasuk hal yang berkaitan dengan wanita,
mereka memandang bahwa wanita adalah bagian dari kehidupan, yang
tentunya ditimbang dengan perasaan dan asas menguntungkan diri pribadi,
tanpa melihat hakikat seorang wanita sebagai mahluk Allah, tanpa melihat
aturan Allah yang maha tahu tentang mahlukNya. Tentunya…timbangan
seperti itu pun tetap menjadikan wanita sebagai kaum terzhalimi, mereka
hanya dijadikan bahan ekploitasi, pajangan, dan daya tarik agar barang
dagangannya laku. Apakah ini yang disebut kemuliaan??
Sehingga, di lapangan mereka mempropagandakan wanita agar sejajar dengan
kaum pria dalam segala hal, dan menganggap hal itu sebagai kemuliaan
bagi kaum wanita. Sungguh sejatinya, ini penghinaan bagi mereka,
penghinaan bagi kaum wanita. Karena segala sesuatu ada tempatnya,
sehingga tidak mungkin kita menyamakan antara dua perkara yang pada
kenyataannya berbeda.
Allah swt telah menciptakannya keduanya
berbeda, maka bagaimana bisa kita menyamakannya dalam segala hal,
sungguh inilah kezhaliman. Kemudian, di antara perbedaan yang sangat
nampak antara keduanya, adalah tugas keduanya dalam kehidupan ini,
seorang lelaki memiliki peran yang sama sekali tidak bisa digantikan
oleh seorang wanita, demikian pula seorang wanita memiliki peran yang
tidak bisa digantikan oleh kaum pria.
Kedudukan wanita dalam pandangan Islam
Islam mendudukan wanita secara adil pada tempatnya, ditempatkan menjadi
seorang ibu yang dimuliakan, ditempatkan menjadi seorang istri yang
dilindungi, ditempatkan menjadi seorang putri yang disayangi dan yang
lainnya:
Rasululullah saw pernah ditanya tentang
siapakah orang yang paling utama untuk diperlakukan dengan baik, maka
beliau menjawab: “Ibumu”, orang itu kembali bertanya: “Siapa lagi ?”,
jawab beliau: “Ibumu”, dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” jawab Rasul:
“Ibumu”, beliau kembali bertanya: “Kemudian Siapa lagi?” jawab beliau:
“Bapakmu”.[3]
Dalam hadits yang lain Rasulullah saw mewasiatkan kaum wanita, beliau bersabda:
وَاسْتَوْصُوا
بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ
شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ
وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
خَيْرًا
"Terimalah nasihatku berkaitan dengan wanita
secara baik, karena wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok
dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah pangkalnya, jika kamu
mencoba untuk meluruskannya maka dia akan patah namun bila kamu biarkan
maka dia akan tetap bengkok. Untuk itu nasehatilah para wanita".[4]
Al-Munawi berkata[5], ungkapan وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا ,
maksudnya: “Terimalah wasiatku berkaitan dengan wanita, berbuat
lembutlah kepadanya dan perlakukanlah mereka dengan baik”.
Pada kesempatan lain anak wanita adalah pelindung dari api neraka, Rasulullah saw menegaskan:
مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْراً مِنَ النَّارِ
"Barangsiapa
yang diuji sesuatu karena anak-anak perempuannya lalu ia berlaku baik
terhadap mereka maka mereka akan melindunginya dari api neraka."[6]
Dan masih banyak dalil lain yang memuliakan kaum wanita.
Bagaimana memuliakan mereka ??
- Allah swt yang maha tahu tentang mahlukNya:
Ini
adalah kaidah yang sangat penting dalam banyak perkara, tentunya juga
dalam masalah yang sedang kita bicarakan. Kita mesti meyakini, bahwa
hanya Allah swt yang paling tahu tentang keadaan mahlukNya. Walhasil,
jika kita ingin memuliakan wanita maka hendaklah kita mengikuti apa yang
diajarkan olehNya.
Seorang mukmin yang ridha kepada Allah swt dan
meyakini hikmah, juga kasih sayangNya, akan senantiasa menerima apa
yang Allah swt tentukan, dia pun meyakini bahwa hanya Allah swt yang
maha tahu tentang perkara yang paling baik untuk dirinya.
Kemudian,
kewajiban kita adalah senantiasa berbaik sangka kepada Allah swt,
tentang hukum dan apa saja yang ditentukanNya, demikian pula tentang
aturan yang berkaitan dengan masalah wanita, bahwa semuanya diberikan
untuk memberikan kemudahan kepada hambaNya, Allah swt berfirman (yang
artinya):
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-Baqarah [2]: 185).
Secara
rinci, bahasan tentang bagaimana memuliakan wanita, adalah pembicaraan
khusus yang lumayan panjang, sehingga tidak mungkin dipaparkan pada
kesempatan ini, maka……
- Ikuti ! jika kita ingin memberikan dan mendapatkan kemuliaan.
Antara Diskriminasi dan Diferensiasi
Sebagai penutup saya katakan:
Mesti
difahami, bahwa diskriminasi adalah pembedaan antara dua bagian yang
setara, tentunya ini merupakan ketidak adilan. Sementara kita tahu,
bahwa secara fakta wanita tidak akan sama dengan kaum pria, maka sungguh
tidak adil jika kita menyamakan kaum wanita dengan kaum pria, padahal
keduanya berbeda, sehingga mesti adanya diferensiasi, yaitu pembedaan
antara dua bagian yang tidak setara.
catatan kaki:
[1] Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan – cetakan Maktabah al-Ma’arif (hal: 212).
[2] Diriwayatkan oleh imam al-Bukhari (4579), Abu Dawud (2089) dan yang lainnya.
[3] Hadits riwayat al-Imam al-Bukhari.
[4] Muttafaq ‘alaihi.
[5] At-Taisir bi Syarhil Jami ash-Shagir – Maktabah al-Imam asy-Syafii Riyadh.
[6] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar