Jumat, 10 Agustus 2012

Belajar Menyelesaikan Masalah dari Aisyah



 
Belajar Menyelesaikan Masalah dari Aisyah
aisyah
Eramuslim.com | Media Islam Rujukan,
 

Ummul Mukninin 'Aisyah tumbuh besar di rumah Rasulullah nan suci. Hal ini sungguh merupakan anugerah yang sangat besar, karena setiap orang yang dididik langsung oleh Rasulullah pada dasarnya akan menjadi guru dan sekolah yang fenomenal.
Inilah yang benar-benar terjadi pada diri ibunda kita, 'Aisyah. Nalar dan pemikirannya dipenuhi dengan konsepsi-konsepsi Islam. Tingkah laku dan sikap 'Aisyah merupakan bentuk praktis dan implementasi dari konsep-konsep Islam. Maka tidak masuk akal jika 'Aisyah melakukan suatu perbuatan yang menyalahi pemikiran, konsepsi dan tingkah laku yang sudah mendarah daging pada diri dan akalnya.
Sikap seperti ini bukan hanya ada pada diri 'Aisyah saja, melainkan adalah corak tingkah laku yang ada pada diri sahabat Rasul secara umum. Di situ ditemukan adanya keharmonisan luar biasa antara pikiran dan tingkah laku, yang jarang sekali bertolak belakang dengan Al Quran.
'Aisyah yang suci -putri dari sahabat Nabi yang jujur- ditimpa musibah paling besar yang mungkin menimpa perempuan bermartabat sepertinya. Ia dituduh berbuat zina. Alangkah berat ujian yang ia terima. Tuduhan itu tidak hanya beredar di kalangan terbatas keluarga dan sahabat dekat, tetapi beredar ke masyarakat dan dibumbui dengan sejumlah propaganda yang licik.
Istri seorang Rasul yang sangat disegani sekaligus dicinta oleh ummat dituduh telah melakukan zina. Zina yang dipandang sebagai aib dan dosa besar bagi setiap perempuan, terlebih jika dilakukan oleh istri Nabi, maka hal tersebut sungguh menjadi suatu masalah dan ujian yang berat bagi 'Aisyah. Hanya orang dengan kepribadian matang, tangguh dan cerdas seperti 'Aisyah yang dapat menanggung ujian tersebut dan mampu menemukan solusi sehingga dapat melewati cobaan dengan baik.
Apa yang dilakukan 'Aisyah menghadapi persoalan rumit ini? Bagaimana dia menghadapi, melawan, dan mengalahkannya?
Tentu wanita muslimah di jaman sekarang pun dapat mengambil hikmah, meneladani sikap dan tindakan 'Aisyah ketika menghadapi masalah dan ujian yang dihadapinya.
Masalah dan Cara Menghadapinya
Sebelum membahas lebih lanjut tentang sikap dan cara-cara 'Aisyah dalam menyelesaikan masalah, ada baiknya mengulas sedikit mengenai definisi masalah.
Manusia hidup tentu akan bertemu dengan masalah. Hal tersebut seperti bagian dari skenario yang ditentukan ‎​اَللّهُ baik untuk pembelajaran maupun untuk menunjukkan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan-Nya.
Masalah dapat didefinisikan sebagai perasaan atau kesadaran tentang adanya suatu kesulitan yang harus dilewati untuk mencapai tujuan. Masalah juga dapat diartikan sebagai kondisi disaat kita berbenturan dengan realitas yang tidak diinginkan.
Tanpa sadar kadang masalah yang datang dapat menyita pikiran kita. Disinilah diperlukan sikap dan pengetahuan agar dapat menghadapi masalah dan menemukan solusi yang tepat dan tentunya tidak semakin menjerumuskan kepada masalah lain. Dan yang lebih utama, bagaimana bersikap dan bertindak menghadapi masalah sesuai dengan petunjuk yang diberikan Allah.
Terkadang untuk menyelesaikan masalah butuh waktu, namun terkadang masalah dapat selesai dengan cepat. Bagaimanakah ibunda ‘Aisyah menghadapi persoalannya kala itu?
Persoalan yang dihadapi ‘Aisyah adalah berita bohong. Para kaum munafik menyebarluaskan isu tentang kasus perzinaan ‘Aisyah dengan Shafwan bin Mu’aththal. Ketika pulang dari sebuah peperangan, ‘Aisyah terlambat dari rombongan. Ia pulang diantar Shafwan dan menaiki untanya. Setelah itu isu tentang perzinaan ini pun menyebar luas, laksana api yang dengan cepat membakar rerumputan kering.
Persoalan ‘Aisyah kala itu ada dua hal, pertama, ‘Aisyah mendapati dirinya sendirian karena sudah ditinggal rombongan pasukan. Kedua, ketika isu ini beredar di luar, ia tidak mengetahui bahkan tidak terlintas di dalam pikirannya sama sekali. Lantas apakah yang dilakukan ‘Aisyah untuk menghadapi dua persoalan tersebut?
Sadar Bahwa Tengah Menghadapi Masalah
Harus diketahui bahwa sebuah persoalan tidak akan berarti jika orang yang tertimpa atau memiliki hubungan dengan persoalan tersebut tidak menyadarinya. Begitu pun dengan ‘Aisyah, ia sadar betul akan adanya masalah yang sedang dihadapi. Ketika kembali dari mencari kalung yang hilang dan mendapati rombongan pasukan sudah pergi meninggalkannya, ‘Aisyah sadar kalau ia sedang dalam masalah. Ini persoalan pertama.
Sedangkan terhadap persoalan kedua, dimana ia dituduh melakukan zina, ‘Aisyah segera merasa kalau sedang ada masalah ketika diberitahu Ummu Misthah tentang isu yang sedang beredar di masyarakat. Pada awalnya ‘Aisyah tidak merasakan hal itu. Maka ia heran atas celaan Ummu Misthah terhadap anaknya, dan ia pun membelanya karena Misthah termasuk salah satu sahabat yang ikut dalam perang badar.
Menjaga Emosi dan Tetap Tegar
Ibunda kita ‘Aisyah mampu menahan emosinya di saat menghadapi persoalan yang menimpanya. Padahal situasi yang ia alami kala itu sangat mencekam. Tertinggal sendirian oleh rombongan pasukan di medan perang. Dan ia pun tetap dapat mengontrol dirinya ketika mendengar isu yang sesungguhnya dapat membuatnya tertekan. Tentu saja ‘Aisyah kaget dan limbung atas isu-isu yang tersebar luas menyangkut dirinya. Namun meskipun begitu, ‘Aisyah tetap sabar karena mengingat firman Allah,
“Maka hanya bersabar itulah yang terbaik (buatku). Dan kepada Allah saja memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan. (Yusuf [12]:18)
Ketegaran hati yang dimiliki ‘Aisyah tercermin dengan selalu memohon perlindungan Allah melalui doa, shalat, zikir, berbaik sangka kepada Allah dan umat muslim yang terkait dengan isu tentang dirinya, serta mengharap datangnya kebaikan. Sisi keimanan secara umum juga sangat berpengaruh dalam hal ini, sehingga keimanan harus tetap dijaga pada setiap fase penyelesaian masalah.
Semua inilah yang dilakukan oleh ‘Aisyah. Meskipun isu-isu itu mampu membuat ‘Aisyah terpukul, tapi ia tetap tidak kehilangan akal sehat.
Terhadap persoalan pertama, ‘Aisyah menyimpulkan kalau rombongan pasukan memang sudah meninggalkannya, dan ia tertinggal sendirian. Hal ini membuat ‘Aisyah mengkhawatirkan diri sendiri kalau sampai meninggal dunia, mendapat musibah, atau mengalami tindak kekerasan. Sedangkan terhadap persoalan kedua, ‘Aisyah sudah menyimpulkan dan mengetahuinya. Isu yang beredar saat itu adalah ia dituduh berbuat zina. ‘Aisyah sudah memikirkan tuduhan tersebut dan konsekuensi yang mungkin timbul karenanya.
Memikirkan Solusi
‘Aisyah memikirkan solusi yang mungkin berguna untuk menyelesaikan persoalannya. Yang terbersit dalam benak ‘Aisyah waktu itu adalah sejumlah hal berikut:
1.    Menyusul rombongan pasukan. Tapi ia tidak memiliki kendaraan, sedang malam sudah gelap dan ia pun rasanya tidak mungkin berjalan sendirian
2.    Tetap berada di tempat semula sambil bersembunyi
3.    Pergi ke tempat lain
4.    Menunggu di tempat semula dengan harapan rombongan pasukan atau sebagian mereka akan kembali lagi ke tempat itu. Sebab apabila rombongan tahu kalau ia tidak ada, tentu mereka akan segera kembali ke tempat semula untuk mencari.
5.    Mencari seseorang yang mungkin tertinggal dari rombongan seperti yang ia alami, atau menunggu seseorang yang mengikuti rombongan pasukan dari jauh.
Sedangkan terhadap persoalan kedua, yang terbersit pada benak ‘Aisyah adalah;
1.    Membela diri
2.    Menyerahkan hal itu kepada Rasul, sementara ia tetap berada di rumahnya. Namun sepertinya ‘Aisyah melihat kalau Rasulullah terpengaruh dengan isu tersebut, di samping isunya sudah menyebar luas di masyarakat
3.    Pulang ke rumah bapak ibunya, bersabar dan menyerahkan semuanya kepada Allah
4.    Menerapkan solusi paling tepat di antara solusi-solusi yang ada
Solusi
‘Aisyah memilih untuk tetap berada di tempat semula dengan harapan rombongan pasukan atau sebagian dari mereka kembali lagi untuk menjemput. Benar saja, Shafwan datang. Waktu itu, ‘Aisyah menyangka kalau Shafwan memang diutus rombongan untuk menjemputnya. Oleh karena itu, ‘Aisyah langsung menaiki unta Shafwan tanpa berbicara sedikit pun.  Dan karena anggapan seperti ini juga, ‘Aisyah tidak pernah terbetik dalam pikirannya bakal ada isu-isu miring tentang dirinya. Sebab ia menyangka bahwa Shafwan memang diutus rombongan untuk mencari dan membawanya menyusul rombongan.
Sedangkan mengenai masalah tuduhan zina, ‘Aisyah meminta izin kepada Rasulullah untuk pulang ke rumah keluarganya. Sebab persoalan ini butuh kejelasan lebih lanjut selagi belum turun wahyu yang menjelaskannya. Selain itu, menghadapi persoalan semacam ini juga butuh kepala dingin agar bisa berpikir tenang. Kepulangan ‘Aisyah ke rumah orangtuanya mengandung banyak himah dan kecerdikan. Oleh karena itu, Rasul pun segera memenuhi keinginan ‘Aisyah tersebut.

Kamis, 02 Agustus 2012

Diskriminasi Wanita

  dari http://annajiyah.or.id/berita-161-diskriminasi-wanita.html
 Kamis, 03 Februari 2011 - 19:04:20 WIB


Oleh: Beni Sarbeni Abu Sumayyah

Ada suara mengatakan, bahwa Islam mendiskriminasikan kaum wanita. Sungguh jika muslim yang mengatakannya, maka ia wajib bertaubat lagi beristigfar, karena disengaja atau tidak, ia telah menuduh Islam berbuat tidak adil. Padahal Islam memerintahkan kita untuk berbuat adil, Allah swt berfirman (yang artinya):
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Maidah [5]: 8).
Sekali pun kita benci kepada seseorang, maka Allah swt melarang hal itu menjadi pemicu untuk tidak berbuat adil kepadanya.
Syekh as-Sa’di rh berkata tentang firman Allah di atas: “…..tidak sebagaimana dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keadilan, akan tetapi berlakulah adil ketika menjadi saksi bagi wali kalian walaupun kenyataannya pahit baginya, berlakulah adil ketika menjadi saksi untuk musuh kalian walaupun kenyataannya manis baginya, bahkan sekali pun dia seorang kafir atau ahli bid’ah. Karena keadilan itu adalah wajib, demikian pula menerima kebenaran yang datang darinya. Bukan karena dia yang mengatakannya, akan tetapi karena benar yang dikatakannya”.[1]
Sudah menjadi kewajiban seorang muslim untuk mendahulukan ilmu sebelum berucap dan beramal, karena setiap ucapan dan amalan ada perhitungannya. Demikianlah sehingga imam al-Bukhari mencantumkan dalam kitab shahihnya Bab ilmu terlebih dahulu sebelum berucap dan beramal.
Mudah-mudahan tulisan ini memberikan pencerahan sehingga tidak tertipu dengan indahnya perkataan walaupun sebenarnya kebusukan, perkataan mereka yang pandai bersilat lidah lagi menghiasinya dengan bunga-bunga berduri.
 
Kedudukan wanita dalam pandangan Jahiliyyah
            Islam datang pada masa Jahiliyyah, dimana manusia berada dalam kegelapan; kebenaran seolah kebaikan, sementara kebaikan dijadikan sebagai keburukan. Patokan hidup kala itu sebatas hawa nafsu, juga taklid yang menjadikan mereka buta.
      Sungguh kaum wanita, kala itu diyakini sebagai kehinaan, muram wajah seorang bapak juga ibu ketika anak yang dilahirkannya adalah wanita, sang ibu pun tidak sadar bahwa dirinya seorang wanita. Allah swt menggambarkan keadaan itu dalam al-Qur’an. Dia berfirman (yang artinya):
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl [16]: 58).
Juga cerita Umar pada masa jahiliyyahnya yang membunuh hidup-hidup anak putrinya, karena merasa terhinakan dengan kelahirannya.
Kaum Jahiliyyah memandang bahwa wanita seumpama harta dan binatang ternak.
Kaum Jahiliyyah menetapkan, bahwa kaum wanita tidak berhak mendapatkan hak waris, mereka berkata: “Tidak ada yang bisa mewarisi kami kecuali orang yang membawa pedang dan bisa menjaga harta kami”.
Bahkan kaum Jahiliyyah memandang, bahwa kaum wanita bisa dijadikan harta warisan, ketika istri seseorang meninggal, maka wali dari orang tersebut bisa memilikinya sebagai harta warisan. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau berkata:
كَانَ الرَّجُلُ إِذَا مَاتَ كَانَ أَوْلِيَاؤُهُ أَحَقَّ بِامْرَأَتِهِ مِنْ وَلِيِّ نَفْسِهَا إِنْ شَاءَ بَعْضُهُمْ زَوَّجَهَا أَوْ زَوَّجُوهَا وَإِنْ شَاءُوا لَمْ يُزَوِّجُوهَا
            “Dahulu apabila seorang laki-laki meninggal, maka para walinya lebih berhak terhadap istrinya daripada wali wanita tersebut, apabila sebagian mereka berkehendak maka mereka akan menikahkannya dan apabila mereka berkehendak maka mereka tidak menikahkannya”.[2]
Demikianlah keadaan kaum Jahiliyyah ketika itu, lalu datanglah Islam membawa kemuliaan, Islam merubah paradigma yang ada dengan kemuliaan seorang wanita.
Sejarah pun membuktikan bagaimana peradaban lainnya memandang wanita, sehingga ada di antara mereka yang memperdebatan, apakah wanita tergolong manusia atau tidak?
Teriris hati ketika kita menghayati keadaan wanita yang seperti itu, padahal ialah ibu kita? Padahal ialah istri kita? Dan beribu-ribu alasan. Sehingga datanglah Islam merubah wajah wanita dan paradigma manusia. Maka pantaskah ia dituduh sebagai agama yang menyudutkan kaum wanita? tidaklah seseorang memojokan Islam dengan tuduhan seperti itu, kecuali dialah orang yang tidak mengenal sejarah, atau orang yang tidak mengetahui sejatinya kemuliaan, atau orang yang tahu tapi pura-pura tidak tahu karena kedengkian yang mendalam. Wallahu a’lam.
 
Kedudukan wanita dalam pandangan sekuler
      Orang sekuler yang memisahkan agama dengan kehidupan, hanya menjadikan harta materi sebagai panduan dan tujuan, sehingga seluruhnya ditimbang dengan takaran materi dan perasaan. Termasuk hal yang berkaitan dengan wanita, mereka memandang bahwa wanita adalah bagian dari kehidupan, yang tentunya ditimbang dengan perasaan dan asas menguntungkan diri pribadi, tanpa melihat hakikat seorang wanita sebagai mahluk Allah, tanpa melihat aturan Allah yang maha tahu tentang mahlukNya. Tentunya…timbangan seperti itu pun tetap menjadikan wanita sebagai kaum terzhalimi, mereka hanya dijadikan bahan ekploitasi, pajangan, dan daya tarik agar barang dagangannya laku. Apakah ini yang disebut kemuliaan??
      Sehingga, di lapangan mereka mempropagandakan wanita agar sejajar dengan kaum pria dalam segala hal, dan menganggap hal itu sebagai kemuliaan bagi kaum wanita. Sungguh sejatinya, ini penghinaan bagi mereka, penghinaan bagi kaum wanita. Karena segala sesuatu ada tempatnya, sehingga tidak mungkin kita menyamakan antara dua perkara yang pada kenyataannya berbeda.
Allah swt telah menciptakannya keduanya berbeda, maka bagaimana bisa kita menyamakannya dalam segala hal, sungguh inilah kezhaliman. Kemudian, di antara perbedaan yang sangat nampak antara keduanya, adalah tugas keduanya dalam kehidupan ini, seorang lelaki memiliki peran yang sama sekali tidak bisa digantikan oleh seorang wanita, demikian pula seorang wanita memiliki peran yang tidak bisa digantikan oleh kaum pria.
 
Kedudukan wanita dalam pandangan Islam
            Islam mendudukan wanita secara adil pada tempatnya, ditempatkan menjadi seorang ibu yang dimuliakan, ditempatkan menjadi seorang istri yang dilindungi, ditempatkan menjadi seorang putri yang disayangi dan yang lainnya:
            Rasululullah saw pernah ditanya tentang siapakah orang yang paling utama untuk diperlakukan dengan baik, maka beliau menjawab: “Ibumu”, orang itu kembali bertanya: “Siapa lagi ?”, jawab beliau: “Ibumu”, dia bertanya lagi: “Kemudian siapa?” jawab Rasul: “Ibumu”, beliau kembali bertanya: “Kemudian Siapa lagi?” jawab beliau: “Bapakmu”.[3]
            Dalam hadits yang lain Rasulullah saw mewasiatkan kaum wanita, beliau bersabda:
وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
          "Terimalah nasihatku berkaitan dengan wanita secara baik, karena wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah pangkalnya, jika kamu mencoba untuk meluruskannya maka dia akan patah namun bila kamu biarkan maka dia akan tetap bengkok. Untuk itu nasehatilah para wanita".[4]
            Al-Munawi berkata[5], ungkapan وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا , maksudnya: “Terimalah wasiatku berkaitan dengan wanita, berbuat lembutlah kepadanya dan perlakukanlah mereka dengan baik”.
            Pada kesempatan lain anak wanita adalah pelindung dari api neraka, Rasulullah saw menegaskan:
مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْراً مِنَ النَّارِ
          "Barangsiapa yang diuji sesuatu karena anak-anak perempuannya lalu ia berlaku baik terhadap mereka maka mereka akan melindunginya dari api neraka."[6]
            Dan masih banyak dalil lain yang memuliakan kaum wanita.
 
Bagaimana memuliakan mereka ??
  • Allah swt yang maha tahu tentang mahlukNya:
Ini adalah kaidah yang sangat penting dalam banyak perkara, tentunya juga dalam masalah yang sedang kita bicarakan. Kita mesti meyakini, bahwa hanya Allah swt yang paling tahu tentang keadaan mahlukNya. Walhasil, jika kita ingin memuliakan wanita maka hendaklah kita mengikuti apa yang diajarkan olehNya.
Seorang mukmin yang ridha kepada Allah swt dan meyakini hikmah, juga kasih sayangNya, akan senantiasa menerima apa yang Allah swt tentukan, dia pun meyakini bahwa hanya Allah swt yang maha tahu tentang perkara yang paling baik untuk dirinya.
Kemudian, kewajiban kita adalah senantiasa berbaik sangka kepada Allah swt, tentang hukum dan apa saja yang ditentukanNya, demikian pula tentang aturan yang berkaitan dengan masalah wanita, bahwa semuanya diberikan untuk memberikan kemudahan kepada hambaNya, Allah swt berfirman (yang artinya):
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-Baqarah [2]: 185).
Secara rinci, bahasan tentang bagaimana memuliakan wanita, adalah pembicaraan khusus yang lumayan panjang, sehingga tidak mungkin dipaparkan pada kesempatan ini, maka……
  • Ikuti ! jika kita ingin memberikan dan mendapatkan kemuliaan.
 
Antara Diskriminasi dan Diferensiasi
Sebagai penutup saya katakan:
Mesti difahami, bahwa diskriminasi adalah pembedaan antara dua bagian yang setara, tentunya ini merupakan ketidak adilan. Sementara kita tahu, bahwa secara fakta wanita tidak akan sama dengan kaum pria, maka sungguh tidak adil jika kita menyamakan kaum wanita dengan kaum pria, padahal keduanya berbeda, sehingga mesti adanya diferensiasi, yaitu pembedaan antara dua bagian yang tidak setara.
catatan kaki:
[1] Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan – cetakan Maktabah al-Ma’arif (hal: 212).
[2] Diriwayatkan oleh imam al-Bukhari (4579), Abu Dawud (2089) dan yang lainnya.
[3] Hadits riwayat al-Imam al-Bukhari.
[4] Muttafaq ‘alaihi.
[5] At-Taisir bi Syarhil Jami ash-Shagir – Maktabah al-Imam asy-Syafii Riyadh.
[6] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya.

Berkat Doa Seorang Ibu

dari :  http://anakshalih.wordpress.com/2011/12/20/berkat-doa-seorang-ibu/

Do’a orang tua pada anak adalah do’a yang amat ampuh dan manjur. Baik do’a ortu tersebut adalah do’a kebaikan atau do’a kejelekan, keduanya sama-sama manjur. Di antara buktinya adalah kisah ulama besar hadits yang sudah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin, Imam Bukhari rahimahullah.
Imam Abu ‘Abdillah, Muhammad bin Isma’il al-Bukhary dinilai sebagai Amirul Mukminin dalam hadits, tidak ada seorang ulama pun yang menentang pendapat ini.
Lalu apa nikmat Allah atas sejak ia masih kecil?
Imam al-Lalika`iy meriwayatkan di dalam kitabnya Syarh as-Sunnah dan Ghanjar di dalam kitabnya Taariikh Bukhaara mengisahkan sebagai berikut:
”Sejak kecil Imam al-Bukhary kehilangan penglihatan pada kedua matanya alis buta. Suatu malam di dalam mimpi, ibunya melihat Nabi Allah, al-Khalil, Ibrahim ‘alaihis salam yang berkata kepadanya, ‘Wahai wanita, Allah telah mengembalikan penglihatan anakmu karena begitu banyaknya kamu berdoa.”
Pada pagi harinya, ia melihat anaknya dan ternyata benar, Allah telah mengembalikan penglihatannya.  (Asy-Syifa` Ba’da Al-Maradh karya Ibrahim bin ‘Abdullah al-Hazimy sebagai yang dinukilnya dari kitab Hadyu as-Saary Fi Muqaddimah Shahih al-Buukhary karya al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalany, www.alsofwah.or.id)
Hal di atas menunjukkan benarnya sabda Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam akan manjurnya do’a orang tua pada anaknya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi yaitu doa orang tua, doa orang yang bepergian (safar) dan doa orang yang dizholimi.” (HR. Abu Daud no. 1536. Syaikh Al Albani katakan bahwa hadits ini hasan).
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لاَ تُرَدُّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ ، وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
Tiga doa yang tidak tertolak yaitu doa orang tua, doa orang yang berpuasa dan doa seorang musafir.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 1797). Dalam dua hadits ini disebutkan umum, artinya mencakup doa orang tua yang berisi kebaikan atau kejelekan pada anaknya.
Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ
Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi yaitu doa orang yang dizholimi, doa orang yang bepergian (safar) dan doa baik orang tua pada anaknya.” (HR. Ibnu Majah no. 3862. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Riwayat ini menyebutkan bahwa doa baik orang tua pada anaknya termasuk doa yang mustajab.
Semoga setiap orang tua tidak melupakan doa untuk anaknya dalam kebaikan. Semoga Allah pun memperkenankan do’a kebaikan kita pada anak-anak kita. Moga mereka menjadi anak yang sholeh nantinya dan berbakti pada ortu serta bermanfaat untuk Islam.
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Ummul Hamam Riyadh KSA, 21 Dzulqo’dah 1432 H (19/10/2011)

Bandung (kembali) diguyur hujan

Bandung kembali diguyur hujan, siang ini dari lantai 5 gedung kantor,...... menikmati hujan yang derasnya luar biasa... kilat, petir, gel...