Ditulis
Oleh: Indrasari Tjandraningsih
|
Peneliti
Perburuhan AKATIGA, Pusat Analisis Sosial,Bandung
Disampaikan dalam acara In Memoriam Prof. Sajogyo “Belajar dari
Keteladanan dan Pemikiran Pof. Dr. Sajogyo”
Bogor 26 Mei 2012
Persoalan kemiskinan adalah “prestasi” pemerintah Indonesia
karena telah mampu bertahan dan dengan kecenderungan yang menguat. Daya jangkau
kemiskinan amat luas dan melintasi wilayah pedesaan maupun perkotaan.
Seluruh persoalan agraria dan kemiskinan di pedesaan yang
disebabkannya memiliki implikasi langsung terhadap dan erat kaitannya
dengan persoalan perburuhan di perkotaan. Kemiskinan dan kelangkaan
kesempatan kerja mendorong orang desa pergi menjadi buruh di pabrik-pabrik di
kota untuk melepaskan baju kemiskinannya, akan tetapi dalam kenyataannya
baju kemiskinan jua yang kembali harus dikenakan.
Saat ini di Indonesia dan di berbagai tempat di penjuru dunia –
terutama di Negara-negara Selatan – persoalan agraria dalam bentuk
konflik dan perebutan hak milik, konversi lahan, intensifikasi dan
modernisasi pertanian, penetrasi dan ekspansi usaha-usaha agribisnis
multinasional raksasa, eksploitasi sumber daya alam tambang, secara pasti
menuju pada muara yang sama : pemiskinan dan kemiskinan yang berkelanjutan.
Pada saat yang sama proses industrialisasi dalam rangka kompetisi
global dan upaya meningkatkan daya saing internasional – yang terjadi di
Indonesia dan Negara-negara Selatan - terus berlangsung dengan datangnya
investasi-investasi asing raksasa yang menawarkan kesempatan kerja di sektor
formal modern dan menarik orang-orang desa bergabung dalam barisan tenaga kerja
penggerak mesin-mesin kapitalisme global. Asumsi bahwa bekerja di sector
formal akan memberikan kondisi kerja dan kesejahteraan yang lebih baik harus
dikoreksi sebab yang terjadi juga adalah pemiskinan dan kemiskinan yang
berkelanjutan.
Bagaimana wajah kemiskinan yang terjadi di kota yang menyertai
proses industrialisasi di tengah persaingan global dan kaitannya dengan
kemiskinan di desa adalah pokok yang hendak disampaikan.
Kondisi kemiskinan di pedesaan dan proses industrialisasi di
perkotaan hampir seperti dua sisi mata uang. Kondisi kemiskinan di pedesaan
mendorong penduduk untuk pergi ke kota dengan impian akan dapat keluar
dari kemiskinan dan sedapat mungkin membawa pulang uang ke desa untuk
pemenuhan kebutuhan hidup. Bahkan bila mungkin untuk melakukan
investasi atau untuk akumulasi asset. Impian itu dilandaskan
pada sebuah asumsi bahwa industrialisasi di kota dengan sektor formal modern
lebih terlindungi, lebih terjamin dan lebih menyejahterakan karena diatur
oleh pemerintah.
Meskipun pada satu masa - periode 80an hingga separuh 90an -
bekerja di pabrik untuk sebagian berhasil mewujudkan sebagian mimpi
mengangkat tingkat kehidupan yang lebih baiks, akan tetapi seiring dengan
kebijakan pembangunan dan investasi yang dilengkapi dengan politik perburuhan
yang lebih mengutamakan dukungan dan pelayanan terhadap modal, impian tersebut
semakin sirna.
Modal besar dan asing adalah mantra bagi pembangunan ekonomi
Indonesia. Kedatangannya amat dirindukan dan untuk itu karpet merah
dibentangkan menyambut kedatangannya. Kerinduan yang dalam terhadap
modal asing telah membuat pemerintah tega menjual murah warganegaranya. Saat
ini upah buruh di Indonesia adalah yang paling murah dibandingkan 10 negara
ASEAN. Secara resmi pemerintah Indonesia melalui BKPM (Badan Koordinasi
Penanaman Modal) menjual upah buruh hanya US$0.6 per jam (=Rp.5,400). Buruh
di Filipina menerima upah 2 kali lipat (US$ 1.04), buruh Thailand dibayar
hampir 3 kali lipat (US$1.63) dan buruh Malaysia menerima hampir 5 kali
lipat (US$2.88).
Rendahnya upah menjelaskan mengapa keinginan kaum buruh
industri – terutama di sektor manufaktur padat karya untuk pasar ekspor - untuk
memperbaiki kehidupan dan menyumbang ekonomi desa, tak banyak terwujud karena
alih-alih membawa pulang uang ke desa, yang terjadi justru warga desa
mensubsidi industri melalui sumbangan pemenuhan kebutuhan hidup buruhnya yang
tak dapat dipenuhi oleh upah yang diterima. Kisah-kisah buruh di kota
yang bersandar pada pengiriman beras dan bahan makanan dari keluarga di desa
dan menitipkan anak untuk diasuh nenek-kakek di desa adalah contoh dari subsidi
desa terhadap roda industrialisasi.
Upah minimum di Indonesia saat ini berada dalam kisaran Rp. 700,000
hingga Rp. 1,800,000 per bulan. Upah ini hanya dapat membayar sekitar 60% dari
pengeluaran riil buruh. Bagaimana memenuhi kekurangannya? Mengandalkan bantuan
keluarga, masuk dalam lingkaran hutang (dengan menjaminkan status sebagai
buruh tetap dan THR) dan melakukan penghematan pengeluaran adalah beberapa cara
yang umum dilakukan.
Gelombang neoliberalisme tidak ketinggalan menelan buruh pabrik dan
mengantarkan mereka ke kondisi kerja yang semakin tidak pasti dan tidak
terlindungi. Melalui kebijakan pasar kerja fleksibel – yang memudahkan merekrut
dan memecat buruh - keamanan dan kepastian kerja di sektor formal diubah
menjadi kekhawatiran dan ketidakpastian kerja. Kebijakan ini sebanyak mungkin
mengurangi buruh tetap dan menggantinya sebanyak mungkin dengan buruh kontrak,
buruh lepas, buruh harian dan buruh outsourcing (buruh yang
direkrut dengan perantaraan agen tenaga kerja).
Status-status hubungan kerja nontetap menjadi ciri baru hubungan
kerja di pabrik dan menciptakan angkatan kerja yang galau dan gelisah serta
harap-harap cemas terhadap kelangsungan kerjanya. Mereka pula siap
bersaing dengan sesamanya dalam sebuah perlombaan menuju ke dasar : bersedia
bekerja di pabrik dengan upah yang paling murah demi tetap dapat bekerja.
Status-status buruh nontetap berimplikasi langsung terhadap penerimaan upah.
Penelitian AKATIGA dua tahun lalu menemukan bahwa buruh outsourcing menerima
upah 26% lebih rendah dibandingkan buruh tetap.
Status-status hubungan kerja nontetap di pabrik menunjukkan sebuah
adopsi pola hubungan kerja di sektor informal dan di sektor pertanian yang
diterapkan di sektor formal. Kondisi ini menunjukkan bagaimana sektor
formal tidak lagi dapat diandalkan ciri keterlindungan dan kepastian kerjanya.
Lebih dari itu kebijakan pasar kerja fleksibel juga menerapkan system kerja
bergiliran dan dalam jangka waktu pendek yang menyebabkan buruh semakin tidak
jelas kesempatan kerja dan berpenghasilannya.
Dalam kondisi semacam ini sektor industri tidak dapat lagi
dijadikan jalan keluar kemiskinan di desa tetapi hanya menyediakan kemiskinan
dalam bentuk lain. Jika dalam kebijakan pembangunan desa dan kebijakan
pertanian yang berorientasi pada skala besar dan padat modal petani kehilangan
hak kepemilikan dan akses terhadap tanah, di sektor industri dengan
orientasi skala besar dan padat karya buruh kehilangan hak terhadap
pekerjaan yang layak dan jaminan kepastian kerja. Akibatnya jelas: ibarat
munculnya jalan bebas hambatan yang menghubungkan kemiskinan di desa
dengan kemiskinan di kota – kemiskinan agraria dan kemiskinan buruh.
Berbagai studi agraria dan perburuhan menunjukkan bahwa situasi
kemiskinan ini semakin merisaukan. Karena itu kita perlu memperkuat barisan untuk
mampu mengaitkan dua wajah kemiskinan tersebut dan membangun kerangka analisis
yang komprehensif dalam rangka menyumbang gagasan kritis dan konstruktif
terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan, demi menyelamatkan Indonesia.
Terimakasih.
|
Kamis, 28 Juni 2012
KEMISKINAN YANG BERKELANJUTAN : MISKIN DI DESA, MISKIN DI KOTA
Bandung (kembali) diguyur hujan
Bandung kembali diguyur hujan, siang ini dari lantai 5 gedung kantor,...... menikmati hujan yang derasnya luar biasa... kilat, petir, gel...
-
Menulis, salah satu aktivitas untuk mencurahkan isi hati dengan bebas😋 media mencurahkan isi pikiran, media tempat berlabuhnya ide dan gag...
-
Allah SWT Berfirman,"Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus h...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar