Ditulis
Oleh: Indrasari Tjandraningsih
|
Peneliti
Perburuhan AKATIGA, Pusat Analisis Sosial,Bandung
Disampaikan dalam acara In Memoriam Prof. Sajogyo “Belajar dari
Keteladanan dan Pemikiran Pof. Dr. Sajogyo”
Bogor 26 Mei 2012
Persoalan kemiskinan adalah “prestasi” pemerintah Indonesia
karena telah mampu bertahan dan dengan kecenderungan yang menguat. Daya jangkau
kemiskinan amat luas dan melintasi wilayah pedesaan maupun perkotaan.
Seluruh persoalan agraria dan kemiskinan di pedesaan yang
disebabkannya memiliki implikasi langsung terhadap dan erat kaitannya
dengan persoalan perburuhan di perkotaan. Kemiskinan dan kelangkaan
kesempatan kerja mendorong orang desa pergi menjadi buruh di pabrik-pabrik di
kota untuk melepaskan baju kemiskinannya, akan tetapi dalam kenyataannya
baju kemiskinan jua yang kembali harus dikenakan.
Saat ini di Indonesia dan di berbagai tempat di penjuru dunia –
terutama di Negara-negara Selatan – persoalan agraria dalam bentuk
konflik dan perebutan hak milik, konversi lahan, intensifikasi dan
modernisasi pertanian, penetrasi dan ekspansi usaha-usaha agribisnis
multinasional raksasa, eksploitasi sumber daya alam tambang, secara pasti
menuju pada muara yang sama : pemiskinan dan kemiskinan yang berkelanjutan.
Pada saat yang sama proses industrialisasi dalam rangka kompetisi
global dan upaya meningkatkan daya saing internasional – yang terjadi di
Indonesia dan Negara-negara Selatan - terus berlangsung dengan datangnya
investasi-investasi asing raksasa yang menawarkan kesempatan kerja di sektor
formal modern dan menarik orang-orang desa bergabung dalam barisan tenaga kerja
penggerak mesin-mesin kapitalisme global. Asumsi bahwa bekerja di sector
formal akan memberikan kondisi kerja dan kesejahteraan yang lebih baik harus
dikoreksi sebab yang terjadi juga adalah pemiskinan dan kemiskinan yang
berkelanjutan.
Bagaimana wajah kemiskinan yang terjadi di kota yang menyertai
proses industrialisasi di tengah persaingan global dan kaitannya dengan
kemiskinan di desa adalah pokok yang hendak disampaikan.
Kondisi kemiskinan di pedesaan dan proses industrialisasi di
perkotaan hampir seperti dua sisi mata uang. Kondisi kemiskinan di pedesaan
mendorong penduduk untuk pergi ke kota dengan impian akan dapat keluar
dari kemiskinan dan sedapat mungkin membawa pulang uang ke desa untuk
pemenuhan kebutuhan hidup. Bahkan bila mungkin untuk melakukan
investasi atau untuk akumulasi asset. Impian itu dilandaskan
pada sebuah asumsi bahwa industrialisasi di kota dengan sektor formal modern
lebih terlindungi, lebih terjamin dan lebih menyejahterakan karena diatur
oleh pemerintah.
Meskipun pada satu masa - periode 80an hingga separuh 90an -
bekerja di pabrik untuk sebagian berhasil mewujudkan sebagian mimpi
mengangkat tingkat kehidupan yang lebih baiks, akan tetapi seiring dengan
kebijakan pembangunan dan investasi yang dilengkapi dengan politik perburuhan
yang lebih mengutamakan dukungan dan pelayanan terhadap modal, impian tersebut
semakin sirna.
Modal besar dan asing adalah mantra bagi pembangunan ekonomi
Indonesia. Kedatangannya amat dirindukan dan untuk itu karpet merah
dibentangkan menyambut kedatangannya. Kerinduan yang dalam terhadap
modal asing telah membuat pemerintah tega menjual murah warganegaranya. Saat
ini upah buruh di Indonesia adalah yang paling murah dibandingkan 10 negara
ASEAN. Secara resmi pemerintah Indonesia melalui BKPM (Badan Koordinasi
Penanaman Modal) menjual upah buruh hanya US$0.6 per jam (=Rp.5,400). Buruh
di Filipina menerima upah 2 kali lipat (US$ 1.04), buruh Thailand dibayar
hampir 3 kali lipat (US$1.63) dan buruh Malaysia menerima hampir 5 kali
lipat (US$2.88).
Rendahnya upah menjelaskan mengapa keinginan kaum buruh
industri – terutama di sektor manufaktur padat karya untuk pasar ekspor - untuk
memperbaiki kehidupan dan menyumbang ekonomi desa, tak banyak terwujud karena
alih-alih membawa pulang uang ke desa, yang terjadi justru warga desa
mensubsidi industri melalui sumbangan pemenuhan kebutuhan hidup buruhnya yang
tak dapat dipenuhi oleh upah yang diterima. Kisah-kisah buruh di kota
yang bersandar pada pengiriman beras dan bahan makanan dari keluarga di desa
dan menitipkan anak untuk diasuh nenek-kakek di desa adalah contoh dari subsidi
desa terhadap roda industrialisasi.
Upah minimum di Indonesia saat ini berada dalam kisaran Rp. 700,000
hingga Rp. 1,800,000 per bulan. Upah ini hanya dapat membayar sekitar 60% dari
pengeluaran riil buruh. Bagaimana memenuhi kekurangannya? Mengandalkan bantuan
keluarga, masuk dalam lingkaran hutang (dengan menjaminkan status sebagai
buruh tetap dan THR) dan melakukan penghematan pengeluaran adalah beberapa cara
yang umum dilakukan.
Gelombang neoliberalisme tidak ketinggalan menelan buruh pabrik dan
mengantarkan mereka ke kondisi kerja yang semakin tidak pasti dan tidak
terlindungi. Melalui kebijakan pasar kerja fleksibel – yang memudahkan merekrut
dan memecat buruh - keamanan dan kepastian kerja di sektor formal diubah
menjadi kekhawatiran dan ketidakpastian kerja. Kebijakan ini sebanyak mungkin
mengurangi buruh tetap dan menggantinya sebanyak mungkin dengan buruh kontrak,
buruh lepas, buruh harian dan buruh outsourcing (buruh yang
direkrut dengan perantaraan agen tenaga kerja).
Status-status hubungan kerja nontetap menjadi ciri baru hubungan
kerja di pabrik dan menciptakan angkatan kerja yang galau dan gelisah serta
harap-harap cemas terhadap kelangsungan kerjanya. Mereka pula siap
bersaing dengan sesamanya dalam sebuah perlombaan menuju ke dasar : bersedia
bekerja di pabrik dengan upah yang paling murah demi tetap dapat bekerja.
Status-status buruh nontetap berimplikasi langsung terhadap penerimaan upah.
Penelitian AKATIGA dua tahun lalu menemukan bahwa buruh outsourcing menerima
upah 26% lebih rendah dibandingkan buruh tetap.
Status-status hubungan kerja nontetap di pabrik menunjukkan sebuah
adopsi pola hubungan kerja di sektor informal dan di sektor pertanian yang
diterapkan di sektor formal. Kondisi ini menunjukkan bagaimana sektor
formal tidak lagi dapat diandalkan ciri keterlindungan dan kepastian kerjanya.
Lebih dari itu kebijakan pasar kerja fleksibel juga menerapkan system kerja
bergiliran dan dalam jangka waktu pendek yang menyebabkan buruh semakin tidak
jelas kesempatan kerja dan berpenghasilannya.
Dalam kondisi semacam ini sektor industri tidak dapat lagi
dijadikan jalan keluar kemiskinan di desa tetapi hanya menyediakan kemiskinan
dalam bentuk lain. Jika dalam kebijakan pembangunan desa dan kebijakan
pertanian yang berorientasi pada skala besar dan padat modal petani kehilangan
hak kepemilikan dan akses terhadap tanah, di sektor industri dengan
orientasi skala besar dan padat karya buruh kehilangan hak terhadap
pekerjaan yang layak dan jaminan kepastian kerja. Akibatnya jelas: ibarat
munculnya jalan bebas hambatan yang menghubungkan kemiskinan di desa
dengan kemiskinan di kota – kemiskinan agraria dan kemiskinan buruh.
Berbagai studi agraria dan perburuhan menunjukkan bahwa situasi
kemiskinan ini semakin merisaukan. Karena itu kita perlu memperkuat barisan untuk
mampu mengaitkan dua wajah kemiskinan tersebut dan membangun kerangka analisis
yang komprehensif dalam rangka menyumbang gagasan kritis dan konstruktif
terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan, demi menyelamatkan Indonesia.
Terimakasih.
|
Kamis, 28 Juni 2012
KEMISKINAN YANG BERKELANJUTAN : MISKIN DI DESA, MISKIN DI KOTA
Selasa, 19 Juni 2012
Seperti Apakah Wajah Malaikat Itu
Vemale.com - Saat sedang duduk di pangkuan ibu dan dipeluknya, aku bertanya, "seperti apa sih wajah malaikat itu, bu?"
Dan, beginilah jawaban ibuku...
Wajah malaikat itu seperti...
Seseorang asing yang tiba-tiba menolongmu di jalan
Seseorang yang berbagi makanan denganmu, sekalipun ia juga sedang kelaparan
Seseorang yang memberikanmu segelas susu, saat kau meminta air putih
Seseorang yang tak melihat warna kulitmu, juga berapa uang di sakumu saat mengajakmu bermain
Seseorang yang mungkin tubuhnya gemuk, kurus, rambutnya panjang atau pendek, atau bahkan tak memiliki rambut sebatang pun
Seseorang yang selalu memberikan senyuman manisnya, di saat kau marah dan berteriak padanya
Seseorang yang memberikan jaketnya saat melihat kau kedinginan, dan menyelimutimu agar kau tetap hangat
Seseorang yang memberikan separuh tempat duduknya, agar kau bisa duduk bersamanya
Seseorang yang terkadang hadir di hidupmu, melalui sosok seorang musuh, teman, kekasih, keluarga, bahkan orang yang membuatmu kecewa
Sulit sekali melihat mereka dengan mata tertutup. Tetapi percayalah mereka ada di tempat di mana kau ingin melihatnya (vem/bee)
Dan, beginilah jawaban ibuku...
Wajah malaikat itu seperti...
Seseorang asing yang tiba-tiba menolongmu di jalan
Seseorang yang berbagi makanan denganmu, sekalipun ia juga sedang kelaparan
Seseorang yang memberikanmu segelas susu, saat kau meminta air putih
Seseorang yang tak melihat warna kulitmu, juga berapa uang di sakumu saat mengajakmu bermain
Seseorang yang mungkin tubuhnya gemuk, kurus, rambutnya panjang atau pendek, atau bahkan tak memiliki rambut sebatang pun
Seseorang yang selalu memberikan senyuman manisnya, di saat kau marah dan berteriak padanya
Seseorang yang memberikan jaketnya saat melihat kau kedinginan, dan menyelimutimu agar kau tetap hangat
Seseorang yang memberikan separuh tempat duduknya, agar kau bisa duduk bersamanya
Seseorang yang terkadang hadir di hidupmu, melalui sosok seorang musuh, teman, kekasih, keluarga, bahkan orang yang membuatmu kecewa
Sulit sekali melihat mereka dengan mata tertutup. Tetapi percayalah mereka ada di tempat di mana kau ingin melihatnya (vem/bee)
Jumat, 01 Juni 2012
Hikmah Isra' Mi'raj (1): Bukti Cinta
Hikmah Isra' Mi'raj (1): Bukti Cinta
- Ada tiga peristiwa penting yang terjadi sebelum Isra' Mi'raj. Tiga
peristiwa itulah yang dipandang oleh para ulama' menjadi latar belakang
untuk mendudukkan Isra' Mi'raj sebagai tasliyah (pelipur lara) bagi Rasulullah SAW. Diantaranya adalah wafatnya Khadijah r.a.
Kematian Khadijah adalah duka bagi Rasulullah. Duka yang mendalam. Bahkan kalaupun tidak ada dua peristiwa lainnya, wafatnya ummul mukminin ini saja sudah cukup menjadi alasan untuk menamakan tahun kesepuluh kenabian itu sebagai amul huzni (tahun kesedihan, tahun duka cita).
Sebagian ulama mencatat 7 predikat pertama yang dihimpun Khadijah; orang pertama yang beriman kepada Nabi, orang pertama yang shalat bersama Nabi, orang pertama yang mendapat salam Ilahi, wanita pertama yang memberi keturunan kepada Nabi, wanita pertama yang masuk kategori shiddiq, wanita pertama yang mengorbankan hartanya di jalan Ilahi, dan orang pertama yang kuburannya disiapkan Nabi.
Kecintaan Rasulullah yang begitu besar kepada Khadijah bahkan digambarkan Aisyah sebagai hal yang paling dicemburuinya. "Aku tidak pernah cemburu kepada istri-istri Nabi SAW sebesar kecemburuanku pada Khadijah," kata Aisyah sebagaimana direkam Imam Bukhari dan Muslim,"padahal aku tidak pernah berjumpa dengannya."
Ketika Rasulullah menyembelih jambing dan menghadiahkan kepada teman-teman Khadijah, Aisyah protes; "Lagi-lagi Khadijah!" Rasulullah pun menjawab: "Sesungguhnya aku sangat mencintainya."
Sebesar itulah kecintaan Rasulullah kepada Khadijah. Maka sebesar itu pula kehilangan beliau atas kepergiannya. Betapa duka itu semakin membuncah karena Khadijah merangkap semuanya; istri, pembenar, dan pembela. Bisa kau bayangkan betapa gelapnya Makkah dengan segala keangkuhannya menjadi bertambah muram dengan hilangnya cinta yang selama ini menyinari hari-hari dakwahnya. Bisa kau bayangkan betapa dinginnya perlakuan kafir Quraisy menjadi semakin beku dakwah Islam karena Sang Dai kehilangan selimutnya.
Sebelumnya, tak pernah Rasulullah bersedih seperti ini. Terbayanglah bagaimana Khadijah yang memotivasi dan meyakinkan, bahwa makhluk yang datang seraya menyuruh membaca takkan mungkin mencelakainya. Terbayanglah bagaimana Khadijah mengingatkan kebaikan-kebaikan Nabi di saat yang paling tepat. Terbayanglah bagaimana Khadijah menyelimutinya ketika hawa dingin menyergap tubuhnya usai Jibril datang lagi padanya. Terbayanglah bagaimana Khadijah dengan tanpa mudah mengeluarkan seluruh hartanya untuk dakwah. Terbayanglah bagaimana Khadijah dengan kedudukannya yang mulia melindungi Rasulullah dari paman dan saudaranya...
Dan kini... wanita tercinta itu tiada...
Mari kini mengangkat telunjuk kita dan mengarahkannya ke dada. Bagaimana kecintaan kita pada istri yang selama ini juga setia menemani kita. Meski tak semulia Khadijah, istri kitalah yang memotivasi untuk melangkah... mengarungi medan dakwah. Istri yang telah bangun terlebih dulu lalu dengan mesra mengajak "sayang, shalatlah....". Istri yang menyiapkan sarapan pagi bahkan ketika kita belum sempat mandi. Istri yang mencium tangan kita saat hendak berangkat kerja. Istri yang mendoakan kita saat kita tengah bekerja. Bahkan mungkin kita tidak tahu bahwa rezeki-rezeki yang mengalir itu adalah buah dari doa-doa yang dimunajatkannya. Lalu ketika pulang rumah kita tampak rapi, kita tak pernah tahu bahwa sepanjang siang rumah itu berantakan oleh tangan-tangan mungil anak-anak kita. Tapi istri tak pernah mengeluh menyulapnya kembali menjadi serapi ketika kita pergi.
Istri yang mengandung dengan susah payah... bahkan tak pernah keluar kata-kata bahwa ia lelah. Kita pun masih tega mengatakan badan pegal, banyak masalah, bahkan segala yang tak enak kita bawa ke rumah. Lalu istri yang membuatnya menjadi tawar. Istri yang melahirkan... buah hati yang kini kita sayangi. Kita tak pernah tahu rasanya sakit melahirkan bayi, tetapi kita kadang menggurui: "Harusnya begini merawat bayi!" Saat malam tiba, kita bisa istirahat secukupnya, namun banyak yang tidak tahu, para istri sering terjaga; asal bayinya nyenyak dan cukup asupan gizinya.
Istri kita memang tak semulia Khadijah –sebagaimana kita pasti jauh dibandingkan Rasulullah- namun sekali-kali cobalah kita bayangkan, saat ia yang tercinta pergi. Apakah kita lelaki mulia dengan hadirnya kesedihan dalam jiwa. Atau justru seulas senyum tersungging di sudut bibir kita; kesempatan menikah dengan gadis yang lebih muda.
Jika yang kau bayangkan seperti amul huzni, jika yang kau rasakan adalah desir kesedihan seperti Rasulullah rasakan; sebelum saat itu tiba (dan semoga masih lama sampai kita benar-benar tua), katakan segera pada istri tercinta: Aku mencintaimu, sayang... [Muchlisin]
Kematian Khadijah adalah duka bagi Rasulullah. Duka yang mendalam. Bahkan kalaupun tidak ada dua peristiwa lainnya, wafatnya ummul mukminin ini saja sudah cukup menjadi alasan untuk menamakan tahun kesepuluh kenabian itu sebagai amul huzni (tahun kesedihan, tahun duka cita).
Sebagian ulama mencatat 7 predikat pertama yang dihimpun Khadijah; orang pertama yang beriman kepada Nabi, orang pertama yang shalat bersama Nabi, orang pertama yang mendapat salam Ilahi, wanita pertama yang memberi keturunan kepada Nabi, wanita pertama yang masuk kategori shiddiq, wanita pertama yang mengorbankan hartanya di jalan Ilahi, dan orang pertama yang kuburannya disiapkan Nabi.
Kecintaan Rasulullah yang begitu besar kepada Khadijah bahkan digambarkan Aisyah sebagai hal yang paling dicemburuinya. "Aku tidak pernah cemburu kepada istri-istri Nabi SAW sebesar kecemburuanku pada Khadijah," kata Aisyah sebagaimana direkam Imam Bukhari dan Muslim,"padahal aku tidak pernah berjumpa dengannya."
Ketika Rasulullah menyembelih jambing dan menghadiahkan kepada teman-teman Khadijah, Aisyah protes; "Lagi-lagi Khadijah!" Rasulullah pun menjawab: "Sesungguhnya aku sangat mencintainya."
Sebesar itulah kecintaan Rasulullah kepada Khadijah. Maka sebesar itu pula kehilangan beliau atas kepergiannya. Betapa duka itu semakin membuncah karena Khadijah merangkap semuanya; istri, pembenar, dan pembela. Bisa kau bayangkan betapa gelapnya Makkah dengan segala keangkuhannya menjadi bertambah muram dengan hilangnya cinta yang selama ini menyinari hari-hari dakwahnya. Bisa kau bayangkan betapa dinginnya perlakuan kafir Quraisy menjadi semakin beku dakwah Islam karena Sang Dai kehilangan selimutnya.
Sebelumnya, tak pernah Rasulullah bersedih seperti ini. Terbayanglah bagaimana Khadijah yang memotivasi dan meyakinkan, bahwa makhluk yang datang seraya menyuruh membaca takkan mungkin mencelakainya. Terbayanglah bagaimana Khadijah mengingatkan kebaikan-kebaikan Nabi di saat yang paling tepat. Terbayanglah bagaimana Khadijah menyelimutinya ketika hawa dingin menyergap tubuhnya usai Jibril datang lagi padanya. Terbayanglah bagaimana Khadijah dengan tanpa mudah mengeluarkan seluruh hartanya untuk dakwah. Terbayanglah bagaimana Khadijah dengan kedudukannya yang mulia melindungi Rasulullah dari paman dan saudaranya...
Dan kini... wanita tercinta itu tiada...
Mari kini mengangkat telunjuk kita dan mengarahkannya ke dada. Bagaimana kecintaan kita pada istri yang selama ini juga setia menemani kita. Meski tak semulia Khadijah, istri kitalah yang memotivasi untuk melangkah... mengarungi medan dakwah. Istri yang telah bangun terlebih dulu lalu dengan mesra mengajak "sayang, shalatlah....". Istri yang menyiapkan sarapan pagi bahkan ketika kita belum sempat mandi. Istri yang mencium tangan kita saat hendak berangkat kerja. Istri yang mendoakan kita saat kita tengah bekerja. Bahkan mungkin kita tidak tahu bahwa rezeki-rezeki yang mengalir itu adalah buah dari doa-doa yang dimunajatkannya. Lalu ketika pulang rumah kita tampak rapi, kita tak pernah tahu bahwa sepanjang siang rumah itu berantakan oleh tangan-tangan mungil anak-anak kita. Tapi istri tak pernah mengeluh menyulapnya kembali menjadi serapi ketika kita pergi.
Istri yang mengandung dengan susah payah... bahkan tak pernah keluar kata-kata bahwa ia lelah. Kita pun masih tega mengatakan badan pegal, banyak masalah, bahkan segala yang tak enak kita bawa ke rumah. Lalu istri yang membuatnya menjadi tawar. Istri yang melahirkan... buah hati yang kini kita sayangi. Kita tak pernah tahu rasanya sakit melahirkan bayi, tetapi kita kadang menggurui: "Harusnya begini merawat bayi!" Saat malam tiba, kita bisa istirahat secukupnya, namun banyak yang tidak tahu, para istri sering terjaga; asal bayinya nyenyak dan cukup asupan gizinya.
Istri kita memang tak semulia Khadijah –sebagaimana kita pasti jauh dibandingkan Rasulullah- namun sekali-kali cobalah kita bayangkan, saat ia yang tercinta pergi. Apakah kita lelaki mulia dengan hadirnya kesedihan dalam jiwa. Atau justru seulas senyum tersungging di sudut bibir kita; kesempatan menikah dengan gadis yang lebih muda.
Jika yang kau bayangkan seperti amul huzni, jika yang kau rasakan adalah desir kesedihan seperti Rasulullah rasakan; sebelum saat itu tiba (dan semoga masih lama sampai kita benar-benar tua), katakan segera pada istri tercinta: Aku mencintaimu, sayang... [Muchlisin]
http://www.bersamadakwah.com/2011/06/hikmah-isra-miraj-1-bukti-cinta.html
Rumah yang Menyejukkan
Dua laki-laki itu bekerja di sebuah kantor yang sama. Namun keduanya berbeda dalam memandang keluarga.
Laki-laki pertama sangat mencintai keluarga. Saat-saat pulang kerja dan berkumpul keluarga di rumah adalah saat-saat yang dirindukannya. Hingga suatu hari ketika ia jatuh sakit, ia lebih memilih bed rest di rumah daripada dirawat di rumah sakit. "Di rumahku ada cinta yang membuat sakitku insya Allah lebih cepat sembuhnya."
Dan benar. Atas kehendak Allah, ia sembuh dengan cepat. Sakit memang memaksanya beberapa hari tidak masuk kerja. Namun sakit itu juga mengokohkan cintanya. Dalam pandangannya, istri yang merawatnya adalah perawat terbaik sedunia. Bubur yang dibuatnya adalah bubur cinta. Dan sapaan buah hati kecilnya adalah motivasi pemulihan fisik dan jiwa.
Laki-laki kedua tak suka berlama-lama di rumah. Rasanya bikin bete, katanya. Saat ia telah keluar dari rumah sakit karena suatu penyakit yang dideritanya, ia memaksa masuk kerja. "Di rumah malah stres," alasannya saat ditanya seorang teman mengapa tak istirahat di rumah saja. Mengapa sampai berkata seperti itu? Ternyata ia tak suka dengan istrinya yang "cerewet" dan terkesan kurang perhatian. Entah siapa yang mendahului, kabarnya mereka tak lagi saling cinta.
Kini kita hidup di sebuah masa yang kaya kesibukan. Kebutuhan hidup yang makin berkembang, perubahan zaman, hingga arus informasi "menuntut" kita menggeluti kesibukan demi kesibukan. Seringkali kita menjadi seperti mesin; semakin banyak beraktifitas semakin panas. Panas jiwa kita, gersang ruhiyah kita. Jika pada kondisi demikian kita memposisikan keluarga sebagai sahara lain yang menguras tetes-tetes ketenangan, betapa hidup akan menjadi sangat runyam.
Berbahagialah jika keluarga kita adalah rumah yang menyejukkan. Jika kita memandang keluarga sebagai surga dunia. Dan begitulah mestinya keluarga Muslim mencontoh keluarga Nabi. "Baiti jannati." Rumahku adalah surgaku. Betapapun cadasnya kehidupan di luar sana, saat keluarga menjadi surga dunia, tak masalah seorang Muslim menghadapinya. Betapapun panasnya medan perjuangan, keluarga adalah penetralisir dan penyejuknya.
Ketika Rasulullah "ketakutan" dengan Jibril yang baru saja menyampaikan wahyu, sang istri Bunda Khadijah menyelimuti, menenangkan dan memotivasinya. Ketika Rasulullah dihadapkan pada perjuangan besar menyebarkan Islam, lagi-lagi sang istrilah yang menghamparkan seluruh hartanya untuk mendukung dakwah. Saat Rasulullah menghadapi ancaman, bunda Khadijah dengan kedudukannya yang mulia menjadi "pelindung" yang memperkuat posisi kemananannya. Pendek kata, Khadijah selalu ada untuk Rasulullah, demikian pula cinta Rasulullah selalu hadir untuk Khadijah; bahkan meskipun setelah beliau tiada.
Rumah tangga Rasulullah dengan istri-istrinya yang lain juga begitu; indah dan menyejukkan selalu. Kadang ada cemburu, namun ia adalah bumbu yang membuat cinta semakin mesra. Baiti jannati kemudian diucapkan oleh lisan suci Nabi, menggambarkan betapa rumah tangga idealnya adalah sumur kebahagiaan di tengah keringnya kemarau kehidupan, taman yang menyejukkan di tengah penatnya perhelatan sejarah, oase di tengah gurun.
Keluarga akan menjadi surga atau neraka, semuanya berawal dari kita. Dari persepsi kita, dari cara pandang kita, dari pemahaman dan bagaimana kita memposisikan. Bukan dari menyalahkan pasangan. Maka mari kita menumbuhkan komitmen, bahwa kita akan memberikan yang terbaik untuk pasangan kita, untuk keluarga kita. Kita berkomitmen menjadi yang terbaik bagi mereka. Kita berkomitmen mempersembahkan cinta buat mereka. Dan biarlah doa-doa kita naik kepada Allah, meminta ijabahnya untuk juga memperbaiki pasangan dan keluarga kita. [Muchlisin]
Laki-laki pertama sangat mencintai keluarga. Saat-saat pulang kerja dan berkumpul keluarga di rumah adalah saat-saat yang dirindukannya. Hingga suatu hari ketika ia jatuh sakit, ia lebih memilih bed rest di rumah daripada dirawat di rumah sakit. "Di rumahku ada cinta yang membuat sakitku insya Allah lebih cepat sembuhnya."
Dan benar. Atas kehendak Allah, ia sembuh dengan cepat. Sakit memang memaksanya beberapa hari tidak masuk kerja. Namun sakit itu juga mengokohkan cintanya. Dalam pandangannya, istri yang merawatnya adalah perawat terbaik sedunia. Bubur yang dibuatnya adalah bubur cinta. Dan sapaan buah hati kecilnya adalah motivasi pemulihan fisik dan jiwa.
Laki-laki kedua tak suka berlama-lama di rumah. Rasanya bikin bete, katanya. Saat ia telah keluar dari rumah sakit karena suatu penyakit yang dideritanya, ia memaksa masuk kerja. "Di rumah malah stres," alasannya saat ditanya seorang teman mengapa tak istirahat di rumah saja. Mengapa sampai berkata seperti itu? Ternyata ia tak suka dengan istrinya yang "cerewet" dan terkesan kurang perhatian. Entah siapa yang mendahului, kabarnya mereka tak lagi saling cinta.
Kini kita hidup di sebuah masa yang kaya kesibukan. Kebutuhan hidup yang makin berkembang, perubahan zaman, hingga arus informasi "menuntut" kita menggeluti kesibukan demi kesibukan. Seringkali kita menjadi seperti mesin; semakin banyak beraktifitas semakin panas. Panas jiwa kita, gersang ruhiyah kita. Jika pada kondisi demikian kita memposisikan keluarga sebagai sahara lain yang menguras tetes-tetes ketenangan, betapa hidup akan menjadi sangat runyam.
Berbahagialah jika keluarga kita adalah rumah yang menyejukkan. Jika kita memandang keluarga sebagai surga dunia. Dan begitulah mestinya keluarga Muslim mencontoh keluarga Nabi. "Baiti jannati." Rumahku adalah surgaku. Betapapun cadasnya kehidupan di luar sana, saat keluarga menjadi surga dunia, tak masalah seorang Muslim menghadapinya. Betapapun panasnya medan perjuangan, keluarga adalah penetralisir dan penyejuknya.
Ketika Rasulullah "ketakutan" dengan Jibril yang baru saja menyampaikan wahyu, sang istri Bunda Khadijah menyelimuti, menenangkan dan memotivasinya. Ketika Rasulullah dihadapkan pada perjuangan besar menyebarkan Islam, lagi-lagi sang istrilah yang menghamparkan seluruh hartanya untuk mendukung dakwah. Saat Rasulullah menghadapi ancaman, bunda Khadijah dengan kedudukannya yang mulia menjadi "pelindung" yang memperkuat posisi kemananannya. Pendek kata, Khadijah selalu ada untuk Rasulullah, demikian pula cinta Rasulullah selalu hadir untuk Khadijah; bahkan meskipun setelah beliau tiada.
Rumah tangga Rasulullah dengan istri-istrinya yang lain juga begitu; indah dan menyejukkan selalu. Kadang ada cemburu, namun ia adalah bumbu yang membuat cinta semakin mesra. Baiti jannati kemudian diucapkan oleh lisan suci Nabi, menggambarkan betapa rumah tangga idealnya adalah sumur kebahagiaan di tengah keringnya kemarau kehidupan, taman yang menyejukkan di tengah penatnya perhelatan sejarah, oase di tengah gurun.
Keluarga akan menjadi surga atau neraka, semuanya berawal dari kita. Dari persepsi kita, dari cara pandang kita, dari pemahaman dan bagaimana kita memposisikan. Bukan dari menyalahkan pasangan. Maka mari kita menumbuhkan komitmen, bahwa kita akan memberikan yang terbaik untuk pasangan kita, untuk keluarga kita. Kita berkomitmen menjadi yang terbaik bagi mereka. Kita berkomitmen mempersembahkan cinta buat mereka. Dan biarlah doa-doa kita naik kepada Allah, meminta ijabahnya untuk juga memperbaiki pasangan dan keluarga kita. [Muchlisin]
http://www.bersamadakwah.com/2012/05/rumah-yang-menyejukkan.html
Jika Suatu Saat Nanti Kau Jadi Ibu
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu,
ketahuilah bahwa telah lama umat menantikan ibu yang mampu melahirkan
pahlawan seperti Khalid bin Walid. Agar kaulah yang mampu menjawab
pertanyaan Anis Matta dalam Mencari Pahlawan Indonesia: "Ataukah
tak lagi ada wanita di negeri ini yang mampu melahirkan pahlawan?
Seperti wanita-wanita Arab yang tak lagi mampu melahirkan lelaki seperti
Khalid bin Walid?"
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, jadilah seperti Asma' binti Abu Bakar yang menjadi inspirasi dan mengobarkan motivasi anaknya untuk terus berjuang melawan kezaliman. "Isy kariman au mut syahiidan! (Hiduplah mulia, atau mati syahid!)," kata Asma' kepada Abdullah bin Zubair. Maka Ibnu Zubair pun terus bertahan dari gempuran Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi, ia kokoh mempertahankan keimanan dan kemuliaan tanpa mau tunduk kepada kezaliman. Hingga akhirnya Ibnu Zubair syahid. Namanya abadi dalam sejarah syuhada' dan kata-kata Asma' abadi hingga kini.
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, jadilah seperti Nuwair binti Malik yang berhasil menumbuhkan kepercayaan diri dan mengembangkan potensi anaknya. Saat itu sang anak masih remaja. Usianya baru 13 tahun. Ia datang membawa pedang yang panjangnya melebihi panjang tubuhnya, untuk ikut perang badar. Rasulullah tidak mengabulkan keinginan remaja itu. Ia kembali kepada ibunya dengan hati sedih. Namun sang ibu mampu meyakinkannya untuk bisa berbakti kepada Islam dan melayani Rasulullah dengan potensinya yang lain. Tak lama kemudian ia diterima Rasulullah karena kecerdasannya, kepandaiannya menulis dan menghafal Qur'an. Beberapa tahun berikutnya, ia terkenal sebagai sekretaris wahyu. Karena ibu, namanya akrab di telinga kita hingga kini: Zaid bin Tsabit.
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, jadilah seperti Shafiyyah binti Maimunah yang rela menggendong anaknya yang masih balita ke masjid untuk shalat Subuh berjamaah. Keteladanan dan kesungguhan Shafiyyah mampu membentuk karakter anaknya untuk taat beribadah, gemar ke masjid dan mencintai ilmu. Kelak, ia tumbuh menjadi ulama hadits dan imam Madzhab. Ia tidak lain adalah Imam Ahmad.
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, jadilah ibu yang terus mendoakan anaknya. Seperti Ummu Habibah. Sejak anaknya kecil, ibu ini terus mendoakan anaknya. Ketika sang anak berusia 14 tahun dan berpamitan untuk merantau mencari ilmu, ia berdoa di depan anaknya: "Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh alam! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keridhaanMu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut ilmu peninggalan Rasul-Mu. Oleh karena itu aku bermohon kepada-Mu ya Allah, permudahlah urusannya. Peliharalah keselamatannya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan ilmu yang berguna, amin!". Doa-doa itu tidak sia-sia. Muhammad bin Idris, nama anak itu, tumbuh menjadi ulama besar. Kita mungkin tak akrab dengan nama aslinya, tapi kita pasti mengenal nama besarnya: Imam Syafi'i.
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, jadilah ibu yang menyemangati anaknya untuk menggapai cita-cita. Seperti ibunya Abdurrahman. Sejak kecil ia menanamkan cita-cita ke dalam dada anaknya untuk menjadi imam masjidil haram, dan ia pula yang menyemangati anaknya untuk mencapai cita-cita itu. "Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah menghafal Kitabullah, kamu adalah Imam Masjidil Haram...", katanya memotivasi sang anak. "Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah, kamu adalah imam masjidil haram...", sang ibu tak bosan-bosannya mengingatkan. Hingga akhirnya Abdurrahman benar-benar menjadi imam masjidil Haram dan ulama dunia yang disegani. Kita pasti sering mendengar murattalnya diputar di Indonesia, karena setelah menjadi ulama, anak itu terkenal dengan nama Abdurrahman As-Sudais.
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, jadilah orang yang pertama kali yakin bahwa anakmu pasti sukses. Dan kau menanamkan keyakinan yang sama pada anakmu. Seperti ibunya Zewail yang sejak anaknya kecil telah menuliskan "Kamar DR. Zewail" di pintu kamar anak itu. Ia menanamkan kesadaran sekaligus kepercayaan diri. Diikuti keterampilan mendidik dan membesarkan buah hati, jadilah Ahmad Zewail seorang doktor. Bukan hanya doktor, bahkan doktor terkemuka di dunia. Dialah doktor Muslim penerima Nobel bidang Kimia tahun 1999.
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, sebelum itu aku kini mengucapkan padamu -dan pada seluruh ibu- "selamat hari ibu". [Muchlisin]
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, jadilah seperti Asma' binti Abu Bakar yang menjadi inspirasi dan mengobarkan motivasi anaknya untuk terus berjuang melawan kezaliman. "Isy kariman au mut syahiidan! (Hiduplah mulia, atau mati syahid!)," kata Asma' kepada Abdullah bin Zubair. Maka Ibnu Zubair pun terus bertahan dari gempuran Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi, ia kokoh mempertahankan keimanan dan kemuliaan tanpa mau tunduk kepada kezaliman. Hingga akhirnya Ibnu Zubair syahid. Namanya abadi dalam sejarah syuhada' dan kata-kata Asma' abadi hingga kini.
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, jadilah seperti Nuwair binti Malik yang berhasil menumbuhkan kepercayaan diri dan mengembangkan potensi anaknya. Saat itu sang anak masih remaja. Usianya baru 13 tahun. Ia datang membawa pedang yang panjangnya melebihi panjang tubuhnya, untuk ikut perang badar. Rasulullah tidak mengabulkan keinginan remaja itu. Ia kembali kepada ibunya dengan hati sedih. Namun sang ibu mampu meyakinkannya untuk bisa berbakti kepada Islam dan melayani Rasulullah dengan potensinya yang lain. Tak lama kemudian ia diterima Rasulullah karena kecerdasannya, kepandaiannya menulis dan menghafal Qur'an. Beberapa tahun berikutnya, ia terkenal sebagai sekretaris wahyu. Karena ibu, namanya akrab di telinga kita hingga kini: Zaid bin Tsabit.
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, jadilah seperti Shafiyyah binti Maimunah yang rela menggendong anaknya yang masih balita ke masjid untuk shalat Subuh berjamaah. Keteladanan dan kesungguhan Shafiyyah mampu membentuk karakter anaknya untuk taat beribadah, gemar ke masjid dan mencintai ilmu. Kelak, ia tumbuh menjadi ulama hadits dan imam Madzhab. Ia tidak lain adalah Imam Ahmad.
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, jadilah ibu yang terus mendoakan anaknya. Seperti Ummu Habibah. Sejak anaknya kecil, ibu ini terus mendoakan anaknya. Ketika sang anak berusia 14 tahun dan berpamitan untuk merantau mencari ilmu, ia berdoa di depan anaknya: "Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh alam! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keridhaanMu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut ilmu peninggalan Rasul-Mu. Oleh karena itu aku bermohon kepada-Mu ya Allah, permudahlah urusannya. Peliharalah keselamatannya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan ilmu yang berguna, amin!". Doa-doa itu tidak sia-sia. Muhammad bin Idris, nama anak itu, tumbuh menjadi ulama besar. Kita mungkin tak akrab dengan nama aslinya, tapi kita pasti mengenal nama besarnya: Imam Syafi'i.
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, jadilah ibu yang menyemangati anaknya untuk menggapai cita-cita. Seperti ibunya Abdurrahman. Sejak kecil ia menanamkan cita-cita ke dalam dada anaknya untuk menjadi imam masjidil haram, dan ia pula yang menyemangati anaknya untuk mencapai cita-cita itu. "Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah menghafal Kitabullah, kamu adalah Imam Masjidil Haram...", katanya memotivasi sang anak. "Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah, kamu adalah imam masjidil haram...", sang ibu tak bosan-bosannya mengingatkan. Hingga akhirnya Abdurrahman benar-benar menjadi imam masjidil Haram dan ulama dunia yang disegani. Kita pasti sering mendengar murattalnya diputar di Indonesia, karena setelah menjadi ulama, anak itu terkenal dengan nama Abdurrahman As-Sudais.
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, jadilah orang yang pertama kali yakin bahwa anakmu pasti sukses. Dan kau menanamkan keyakinan yang sama pada anakmu. Seperti ibunya Zewail yang sejak anaknya kecil telah menuliskan "Kamar DR. Zewail" di pintu kamar anak itu. Ia menanamkan kesadaran sekaligus kepercayaan diri. Diikuti keterampilan mendidik dan membesarkan buah hati, jadilah Ahmad Zewail seorang doktor. Bukan hanya doktor, bahkan doktor terkemuka di dunia. Dialah doktor Muslim penerima Nobel bidang Kimia tahun 1999.
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu, sebelum itu aku kini mengucapkan padamu -dan pada seluruh ibu- "selamat hari ibu". [Muchlisin]
http://www.bersamadakwah.com/2011/12/jika-suatu-saat-nanti-kau-jadi-ibu.html
Wanita-wanita Luar Biasa
Namanya Ummu Haritsah. Ia mendengar
anaknya meninggal dalam perang Badar terkena panah liar. Sebagai seorang
ibu, tentu masih ada rasa kehilangan dalam dirinya. Namun ini adalah
sosok ibu yang berbeda. Ibu dan wanita yang luar biasa.
Ummu Haritsah tak puas dengan hanya berita itu. Ia pun datang menghadap Rasulullah. Bukan untuk memastikan anaknya benar-benar telah mati. Tetapi untuk mendapatkan jawaban, apakah kematian anaknya itu tergolong syahid hingga membawanya ke surga, atau justru kematian yang mengantarkan ke neraka.
"Wahai Rasulullah," tanya Ummu Haritsah begitu berhasil menghadap Nabi, "di manakah posisi Haritsah? Jika di surga, maka saya ridha atas kematiannya. Namun jika di neraka saya akan meratapinya agar siksanya diringankan."
"Wahai Ummu Haritsah," jawab sang Nabi penuh wibawa, "Sesungguhnya Haritsah anakmu berada di surga Firdaus."
Subhaanallah. Bukan hanya surga, tetapi surga Firdaus, surga tertinggi, surga terindah. Mendengar itu tenanglah Ummu Haritsah. Kini ia pulang ke rumah dengan senyum merekah dan kebahagiaan yang membuncah.
***
Wanita lainnya bernama Khansa. Khansa binti Amru. Meski wanita, ia ikut dalam barisan jihad melawan pasukan Persia dalam perang Qadisiah. Bersamanya, empat putranya juga turut serta dalam perang yang terkenal itu.
Khansa membakar semangat putra-putranya. Ia memeperingatkan mereka agar tak gentar, apapun yang terjadi.
"Kalian telah beragama Islam dengan tulus," katanya dengan nada orasi, "kalian mengikuti kaum Muslimin tanpa ada yang memaksa. Kalian berasal dari satu ibu dan satu ayah. Demi Allah, ayah kalian bukanlah orang yang lemah. Paman-paman kalian juga bukan orang yang lemah."
Semangat bertempur empat putra perindu surga demikian menggebu. Tanpa rasa takut mereka menyerbu. Pasukan Persia menyambut dengan perlawanan seru. Pedang beradu. Denting suara senjata memenuhi telinga. Lalu satu per satu empat putra Khansa gugur hingga tak tersisa.
Bukannya sedih atau meratap, dari lisan Khansa terdengar syukur terucap. "Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan kesyahidan mereka. Semoga kelak Allah mengumpulkan aku dengan mereka di surga."
***
Wanita-wanita luar biasa. Merekalah yang mampu mendidik putra-putrinya untuk berjihad membela agama. Merekalah yang menanamkan semangat berislam dan memperjuangkannya ke dalam jiwa buah hatinya.
Wanita-wanita luar biasa. Merekalah madrasah pertama yang mampu mengukir iman dalam hati anak-anaknya yang masih belia. Mencurahkan kasih sayang dan menumbuhkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka juga ikhlas melepas kepergian anak-anak tercinta ke medan juang, lahan jihad dan lapangan kehidupan.
Masihkah ada wanita-wanita luar biasa seperti Ummu Haritsah dan Khansa? Jawabnya, ada. Setiap zaman masih memungkinkan untuk melahirkan wanita-wanita seperti mereka. Asal kita tahu caranya dan mau mengadopsinya. Dan cara itu telah gamblang dibentangkan Allah dalam Al-Quran dan Rasulullah dalam sunnahnya. Manhaj Qur'ani dan manhaj Nabawi adalah jawabannya. Tarbiyah adalah kuncinya. Insya Allah. []
Ummu Haritsah tak puas dengan hanya berita itu. Ia pun datang menghadap Rasulullah. Bukan untuk memastikan anaknya benar-benar telah mati. Tetapi untuk mendapatkan jawaban, apakah kematian anaknya itu tergolong syahid hingga membawanya ke surga, atau justru kematian yang mengantarkan ke neraka.
"Wahai Rasulullah," tanya Ummu Haritsah begitu berhasil menghadap Nabi, "di manakah posisi Haritsah? Jika di surga, maka saya ridha atas kematiannya. Namun jika di neraka saya akan meratapinya agar siksanya diringankan."
"Wahai Ummu Haritsah," jawab sang Nabi penuh wibawa, "Sesungguhnya Haritsah anakmu berada di surga Firdaus."
Subhaanallah. Bukan hanya surga, tetapi surga Firdaus, surga tertinggi, surga terindah. Mendengar itu tenanglah Ummu Haritsah. Kini ia pulang ke rumah dengan senyum merekah dan kebahagiaan yang membuncah.
***
Wanita lainnya bernama Khansa. Khansa binti Amru. Meski wanita, ia ikut dalam barisan jihad melawan pasukan Persia dalam perang Qadisiah. Bersamanya, empat putranya juga turut serta dalam perang yang terkenal itu.
Khansa membakar semangat putra-putranya. Ia memeperingatkan mereka agar tak gentar, apapun yang terjadi.
"Kalian telah beragama Islam dengan tulus," katanya dengan nada orasi, "kalian mengikuti kaum Muslimin tanpa ada yang memaksa. Kalian berasal dari satu ibu dan satu ayah. Demi Allah, ayah kalian bukanlah orang yang lemah. Paman-paman kalian juga bukan orang yang lemah."
Semangat bertempur empat putra perindu surga demikian menggebu. Tanpa rasa takut mereka menyerbu. Pasukan Persia menyambut dengan perlawanan seru. Pedang beradu. Denting suara senjata memenuhi telinga. Lalu satu per satu empat putra Khansa gugur hingga tak tersisa.
Bukannya sedih atau meratap, dari lisan Khansa terdengar syukur terucap. "Segala puji bagi Allah yang telah memuliakanku dengan kesyahidan mereka. Semoga kelak Allah mengumpulkan aku dengan mereka di surga."
***
Wanita-wanita luar biasa. Merekalah yang mampu mendidik putra-putrinya untuk berjihad membela agama. Merekalah yang menanamkan semangat berislam dan memperjuangkannya ke dalam jiwa buah hatinya.
Wanita-wanita luar biasa. Merekalah madrasah pertama yang mampu mengukir iman dalam hati anak-anaknya yang masih belia. Mencurahkan kasih sayang dan menumbuhkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka juga ikhlas melepas kepergian anak-anak tercinta ke medan juang, lahan jihad dan lapangan kehidupan.
Masihkah ada wanita-wanita luar biasa seperti Ummu Haritsah dan Khansa? Jawabnya, ada. Setiap zaman masih memungkinkan untuk melahirkan wanita-wanita seperti mereka. Asal kita tahu caranya dan mau mengadopsinya. Dan cara itu telah gamblang dibentangkan Allah dalam Al-Quran dan Rasulullah dalam sunnahnya. Manhaj Qur'ani dan manhaj Nabawi adalah jawabannya. Tarbiyah adalah kuncinya. Insya Allah. []
http://www.bersamadakwah.com/2012/03/wanita-wanita-luar-biasa.html
Bandung (kembali) diguyur hujan
Bandung kembali diguyur hujan, siang ini dari lantai 5 gedung kantor,...... menikmati hujan yang derasnya luar biasa... kilat, petir, gel...
-
Menulis, salah satu aktivitas untuk mencurahkan isi hati dengan bebas😋 media mencurahkan isi pikiran, media tempat berlabuhnya ide dan gag...
-
Allah SWT Berfirman,"Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus h...